oleh : Kamila Maryam Kotta
Namun perlahan semua ambisi itu
hilang seperti hal nya gula yang diberi air, perlahan-lahan mulai menyatu dengannya,
begitu juga dengan ambisiku yang mulai berdamai dengan kenyataan. Merantau, kau
adalah pilihan terakhirku untuk melanjutkan pendidikan ini, dan mengabdi, kau
adalah hal nyata yang akan kuhadapi. Namun apakah perjuangan ku untuk mengemban
ilmu hanya sebatas perantauan? Aku malu untuk bertanya pada diriku sendiri. Lalu
megapa mengabdi adalah kewajibanku?
Di akhir tahun 2016
saya beserta teman-teman ditugaskan oleh pihak pondok untuk mengabdi dibumi
reflesia yakni bengkulu selama dua minggu. perasaan kaget dan senanglah yang
lebih dominan aku rasakan saat itu. Kaget karna sampai disanakah aku akan
mengabdi dan senang karna aku akan melihat bunga terbesar didunia secara
langsung. namun semuanya berbanding terbalik dengan titik nyatanya. Bahkan aku
sendiri pun masih belum menyangka bahwa semua itu sudah kulalui... bagaimana
tidak? Di mulai dengan perjalanan enam hari pulang pergi menggunakan bis, lokasi yang sangat terpencil bahkan tidak terlacak
keberadannya di beberapa peta, membuatku tak yakin untuk bisa sampai disana.
Namun dengan izin Allah SWT kami pun sampai di desa tersebut.
Rasa lega pun
muncul ketika bis berhenti di sebuah lesehan, namun semua kesenangan itu hilang
mendadak ketika diinfokan bahwasanya nanti kami akan dijemput oleh kepala desa
masing-masing untuk menuju lokasi pengabdian sesungguhnya yang kira-kira satu
jam dari lokasi tibanya bis. Masya Allah this is so far...! ketika sampai dan
melihat keadaan yang ada pada desa tersebut tak berbeda jauh dengan apa yang ada dalam fikiranku selama
perjalanan pergi. Rumah lama yang tak berpenghuni, aliran listrik yang tak
menentu, ketersediaan air bersih yang lumayan minim, sarana transportasi yang
tidak mendukung, serta jauhnya kantor desa serta masjid dari rumah kami, yang
nantinya tempat itu akan kami gunakan untuk berkumpul dengan warga sekitar. Sedih,
menangis dan rasa ingin pulang pun mulai bermunculan dalam benakku. Namun aku
pun mulai berfikir jika hanya dengan sedih, tangisan dan angan-angan untuk
kembali, tidak akan ada hasilnya. Sama halnya dengan pohon yang tumbuh tanpa
ada buahnya.
Hari demi hari aku
mulai menata niat yang awalnya hanya untuk bersenang-senang, menata hati untuk
lebih sabar dan ikhlas. Aku mencoba
melalui semuanya dengan sabar, kenapa harus bersabar? Karna semua ini tidak
akan mampu aku lalui kecuali dengan rasa sabar, ikhlas pun kujadikan landasan
dari pengabdianku ini.
Dan pada akhirnya
tibalah minggu terkahir dari masa pengabdian kami. Tak terasa dua minggu telah
kami lewati, banyak hal-hal kecil yang mengajarkan kami untuk bisa lebih
bersyukur lagi dengan keadaan yang ada. Banyak momen-momen yang mengajarkan
kami untuk lebih bersabar lagi dalam menghadapi segala hal. Semua kerikil-kerikil
yang kami lalui di awal masa pengabdian, tak terasa karena senyuman serta semangat
antusias warga sekitar. Ketika kami
mulai melangkah keluar dari rumah, ada adik-adik yang sudah siap dengan baju
koko sambil membawa iqro dan buku pelajarannya, belum lagi nanti di sore hari
ada ibu-ibu yang minta kita datang menghadiri pengajian di rumahnya, dan malam
hari kita diminta remaja aktivis masjid untuk
mengisi kegiatan ba’da maghrib serta masih banyak hal hal lain yang tidak
pernah kami bayangkan sebelumnya. Hal yang lebih membuat ku terharu lagi ketika
mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang adik-adik bacakan sudah mulai
fasih, serta pemahaman mereka akan beberapa ilmu pengetahuan yang sudah mulai
bertambah.
Dari pengabdian ini
aku belajar memahami banyak hal, bahwa tidak semua yang diawali dengan
kesulitan akan berkahir juga dengan kesulitan, jika kita mau menerimanya dengan
ikhlas dan menjalaninya dengan sabar. Serta ketika melihat kemajuan yang ada
pda adik-adik dan warga sekitar merupakan kebahagiaan tersendiri bagiku.
0 komentar:
Posting Komentar