Oleh:
Nur Sholikhah
Sejatinya
kita semua adalah seorang dai yang wajib berdakwah. Kok bisa gitu? Karna kita
harus mengajak orang lain untuk senantiasa berbuat baik dan berada di jalan
yang benar. Ketika kita sangat mencintai Allah, maka ajaklah orang lain untuk mencintai-Nya
juga, ajaklah ia untuk merasakan ketenangan dan kenikmatan saat kita
menjalankan perintah-perintah-Nya. Berdakwah berarti mengajak, tanpa paksaan.
Karna sejatinya kita hanyalah sebagai perantara, bukan pemberi hidayah. Yang
berhak membukakan pintu hidayah hanyalah Allah, sang muara kasih.
Proses dalam berdakwah memiliki
tahapan-tahapan, tidak secara instan. Ada kalanya tahapan itu mengecewakan,
menyedihkan, memuaskan juga menggembirakan. Itulah warna dalam berdakwah. Kita
bisa berkaca pada kisah 25 nabi dan rosul yang sudah sering kita dengar. Setiap
nabi memiliki tantangan tersendiri ketika berdakwah, banyak umat yang menentang
saat itu, bahkan ada yang mengancam akan membunuhnya. Kita juga bisa melihat
betapa para wali songo harus berjuang dalam berdakwah menyebarkan islam di
nusantara, tahapan demi tahapan dilalui, rintangan demi rintangan dilewati.
Semua tidak instan bukan?
Dalam berdakwah pastinya tidak
menggunakan cara yang asal-asalan, yang penting mengajak tanpa mengindahkan
etika dan norma. Semua ada metodenya. Yang terpenting, kita harus memiliki
modal awal sebelum berdakwah yaitu kejujuran. Karena sesuatu yang dimulai
dengan kejujuran, maka selanjutnya kebaikan akan mengikutinya.
Nabi Ibrahim adalah sosok nabi yang
sangat pemberani dan mencintai kebenaran. Hal ini disebutkan dalam surat maryam
ayat 41 yang artinya:
“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah
Ibrahim di dalam kitab (quran), sesungguhnya dia seorang yang mencintai
kebenaran dan seorang nabi.”
Allah
memerintahkan nabi Muhammad untuk menceritakan kisah dan dialog yang
berlangsung antara nabi Ibrahim dengan ayahnya ketika nabi Ibrahim melarangnya
menyembah berhala. Dalam dialog ini kita dapat mengambil teladan dari sosok
nabi Ibrahim. Dalam ayat 42-47 surat maryam yang artinya:
“Ingatlah ketika dia (Ibrahim)
berkata kepada ayahnya, “wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang
tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak menolongmu sedikitpun?”
“Wahai ayahku! Sungguh, telah sampai
kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku,
niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.”
“Wahai ayahku! Janganlah engkau
menyembah setan. Sungguh, setan itu durhaka kepada tuhan yang maha pengasih.”
“Wahai ayahku! Aku sungguh khawatir
engkau akan ditimpa azab dari tuhan yang maha pengasih. Sehingga engkau menjadi
teman bagi setan.”
Dia (ayahnya) berkata, “Bencikah
engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti
engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.”
Dia (Ibrahim) berkata, Semoga
keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada
tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Nabi
Ibrahim mengajak ayahnya dimulai dengan cara yang halus, dia menggunakan
panggilan “wahai ayahku” yang menunjukkan betapa nabi Ibrahim sangat
menghormati dan mencintainya. Tanpa mengabaikan rasa khidmatnya, beliau
mengajak sang ayah untuk menyembah Allah. Dan sang ayahpun menolak bahkan
mengancam untuk merajamnya, mengusirnya untuk pergi ke tempat yang jauh dalam
waktu yang lama. Namun apa balasan nabi Ibrahim? Beliau tidak marah atau
membalas dengan kata-kata kasar. Namun beliau malah mendoakannya dan memohonkan
ampunan bagi sang ayah. Sungguh sebuah teladan yang luar biasa, bagaimana
pentingnya tetap menjaga kesopanan saat orang lain menolak ajakan baik kita dan
juga sebagai anak yang meskipun memiliki tujuan yang berbeda dengan orang tua, kita
tidak dianjurkan untuk mengurangi rasa khidmat kepada beliau.
Semoga
kita senantiasa dapat meneladani sifat-sifat nabi Ibrahim, selamat berdakwah!
Malang, 16 Muharram 1440 H
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar