Oleh:
Nur Sholikhah
Malam
itu, ia berkeliaran tanpa sungkan. Keluar dari sarangnya yang bau dan gelap.
Merayap di lorong-lorong pengap, kemudian lari pontang-panting saat melihatku
memergokinya. Aishh, aku gemas dengan dia. Warnanya hitam pekat, berkumis,
berekor, dan pandai sekali memanjat dan meloloskan diri dari sergapanku. Setiap
hari, dia tak pernah malu menampakkan hidungnya, bahkan pada siang bolong.
Heran, apakah dia tak pernah merasa kenyang?
Kuakui dia punya beberapa
kelebihan, indra penciumannya, pendengarannya, dan perasanya sangat tajam. Ia
juga bisa meloloskan diri melewati lubang yang hanya selebar 12 mm. Hanya saja,
penglihatannya lemah dan dia buta warna. Entah, mungkin kelebihan dan
kekurangan tidak hanya ada pada setiap manusia, namun juga makhluk ciptaan
Tuhan lainnya.
Aku benci sekali tabiatnya,
sudah rakus tak sopan pula. Segala yang ada di depan matanya ia lahap. Tak
peduli apakah aku masih membutuhkannya atau tidak. Ia merangkak ke dapur,
mencari celah di antara barang-barang yang ada. Bahkan terkadang ia melempar
benda-benda yang menghalangi langkahnya, seperti gelas, sendok, dan toples.
Alhasil, suara gaduh terdengar bergema. Seketika aku berlari, ingin segera
menangkapnya. Tangan ini membawa sapu, berharap aku dapat membersihkan otaknya,
lalu memberikan beberapa pukulan untuk membuatnya jera. Tapi, lagi-lagi ia
lolos. Begitu gesit dan lincah.
Pernah suatu kali, aku
mendapati ia menyusup ke meja makan.
Dengan indra penciumannya yang tajam, ia segera mengambil makanan kesukaanku,
ayam goreng. Kami sempat saling pandang, aku melototinya. Ia gemetar, lalu
berbalik arah. Ayam itu ia tinggalkan begitu saja. Aku tertawa, lalu membuang
ayam itu ke wadah makan Peni, kucingku. Ia mungkin takut melihat otot mataku
yang meregang. Akhirnya dia kabur, bersembunyi di celah-celah almari. Aku
mengacuhkannya hingga hari berganti pagi.
Suaranya terdengar kembali.
Gaduh, ricuh. Aku menaruh curiga, jangan-jangan ia membawa temannya,
saudaranya, atau keluarganya. Suara itu semakin berisik, hingga aku tak tahan
mendengarnya. Mereka bersembunyi di bawah almari, sebuah kolong yang kotor dan
berdebu. Dengan membawa senter aku menengok ke dalam celah kecil itu. Tapi
astaga, mereka benar-benar sedang berpesta. Menggigit kaki-kaki almariku. Begitu
ganas, rakus sekali mereka. Apa-apa yang dilewatinya selalu jadi korban,
makanan, almari, pakaian, sandal. Gigitannya membekas, seperti sengaja untuk
meninggalkan jejak. Aku geram.
“Bagaimana caranya agar mereka
tidak lagi menggangguku? Aku sudah berusaha dengan berbagai macam cara. Membeli
racun tikus, namun yang terkena malah kucing tetangga. Membeli lem perekat,
namun korbannya adalah tokek cacat. Membeli alat perangkap, namun yang terjepit
adalah kakiku sendiri. Cara apa lagi yang harus kucoba?” tanyaku pada Peni.
“Aku akan memakannya setiap
hari.”
“Tidak mungkin, mereka begitu
gesit. Kau saja tak bisa masuk ke lubang yang diameternya hanya 12 mm. Bagaimana
kau bisa menangkapnya?”
“Tenang saja. Aku punya
perangkapnya.”
“Apa itu?” tanyaku dengan dahi
mengernyit.
“Pelumas.”
Sontak aku langsung tertawa dan menjewer
telinganya.
Malang, 9 Mei 2018
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar