taken from: http://storyblogthisweb.blogspot.co.id
By :
Nur Sholikhah
Tiba-tiba saja rasa itu
datang, menerkam sepi yang sedari tadi menghinggapi. Aku duduk di ruang tamu
sambil memandang apa saja yang terlihat di luar jendela rumah. Jalanan sepi,
panas yang meninggi, dan angin yang berlalu lalang tanpa permisi. Suasana ini kurasa sangatlah berbeda sejak
beberapa tahun terakhir. Anak-anak yang berlari mengejar layang-layang, mengayuh sepeda kesana kemari, berteriak
memanggil kawan yang lain, kini sudah jarang kutemui. Entah apakah aku yang
sangat jarang pulang ke kampung ini, atau memang semua sudah berubah tanpa kusadari.
Kuingat
dulu, saat usiaku masih anak-anak. Aku punya teman banyak, yang setiap hari
bermain bersama di bawah teriknya sinar sang mentari. Bermain gobak sodor, pantek, pasaran, petak umpet,
dan masih banyak macamnya lagi. Tanah-tanah
terbentang luas hingga dapat dijadikan lapangan buat kami, minimnya kendaraan
bermotor membuat kami bebas
bermain di jalan depan sawah, ah semua kini telah tiada, dan rindu itu semakin
mendurja.
Kini
kudapati anak-anak di kampung ini berdiam diri, bersama kawan yang sudah
orangtua belikan. Kawan yang menjeratnya tanpa ampun, membuatnya candu hingga
lupa pada perintah-perintah Tuhan.
Kau tahu siapa yang mengumandangkan alunan
adzan itu? Itu adalah suara yang sama, terseok-seok, pelan dan
terkadang serak. Mereka kebanyakan adalah kaum sepuh. Padahal
dulu anak-anak berebut untuk melantunkannya,
bahkan secara bergantian memegang mikrofon
saat pujian-pujian kepada Tuhan dilantunkan.
Tapi kini, kemana mereka pergi? Sudah jarang ku dapati lagi suara adzan yang
lucu itu.
Surau
di kampung ini masih berdiri kokoh, bahkan setiap tahunnya sebelum bulan suci
ramadhan selalu diadakan kerja bakti
membersihkan musholla. Karpet-karpet
dicuci, tembok-tembok dicat, tumpukan al-qur’an dibersihkan, debu-debu diusir.
Tapi surau itu tetap sepi, hanya segelintir
orang yang mau datang dan menyerahkan diri sebagai hamba yang lemah. Kemana
para penduduk kampung ini? Atau mereka telah memiliki surau di rumahnya
sendiri-sendiri?
Dan
anak-anak, mereka lebih memilih diam di depan kawannya yang selalu setia
menemaninya. Orangtua tak lagi peduli, yang penting dia tidak berulah dan
menimbulkan suasana gaduh di rumah. Namun justru itulah malapetaka, generasi
bangsa dibiarkan kecanduan benda-benda yang mirip narkoba. Sejak kecil, sejak
tangannya sudah bisa menyentuh benda-benda mungil.
Saat
adzan maghrib dikumandangkan, anak-anak tetap saja berdiam diri di dalam rumah.
Khusyuk menghadap benda ciptaan manusia, sungguh miris bukan? Mereka seharusnya
digiring menuju rumah Allah, menanggapi panggilan yang merdu itu atau mengikuti
lantunan pujian-pujian berbahasa jawa agar kelak dapat mewarisinya. Surau
menjadi ramai, syiar agama dapat terasa. Dan penduduk kampung akan semakin
sejahtera jiwanya.
Namun
ironi, suasana yang dulu kudapati mulai terkikis seiring berjalannya waktu.
Kerinduan terasa semakin menghujam, menapaki setiap kejadian yang terekam.
Lihatlah anak yang masih kelas 5 SD itu, dia sudah jarang mengayuh sepeda
kecilnya karna motor kesayangannya jauh lebih menarik. Lihatlah anak yang masih
TK itu, mainannya bukan lagi bola, boneka, bunga, atau tetek bengek lainnya,
melainkan benda yang sungguh tak dapat berbicara. Aku hanya mampu mengusap dada
dan menggeleng-nggelengkan kepala. Berharap kelak Tuhan tidak marah pada saya.
Malang, 5 April 2018
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Izin copas
BalasHapus