Picture from: kerjanya.net
Oleh:
Nur Sholikhah
“ Mbak, sebentar lagi musim pemilu
ya?,” tanya seorang ibu yang ku tahu namanya bu Harto.
“
Iya bu, dengar-dengar suami ibu mencalonkan sebagai kades ya?"
“
Betul mbak, nanti jangan lupa pilih bapak ya!” ucapnya dengan senyum yang
melebar.
Percakapan
pagi di sebuah toko sayuran itu membuatku tersenyum geli. Bukan karena
perkataan istri calon kades itu, tapi karna ada hal lain yang sedang terjadi di
waktu yang bersamaan. Toko sayuran itu tidak hanya menjual berbagai macam
sayuran dan tetek bengeknya, melainkan juga kebutuhan pokok perdapuran seperti
beras, telur dan minyak goreng. Kalau bisa dibilang, toko ini lumayan lengkap.
Aku
melirik pada kebutuhan pokok yang kusebutkan tadi, si beras yang tergeletak di
karung-karung, para telur yang terlentang di peti-peti kayu randu dan minyak
goreng yang berbaris rapi di rak dekat pintu. Mereka bertiga sangat beruntung
karena ikut dijual di toko ini. Setidaknya mereka punya kesempatan untuk
memperebutkan suara keluarga para calon kades. Kusentuh mereka dengan lembut
untuk memastikan bahwa mereka baik-baik saja.
Matahari
mulai terasa terik di kepala, aku baru menyadari bahwa kerudung yang ku pakai
begitu tipis hingga angin-angin lembut itu membelai rambutku. Aku berjalan pulang
dengan menenteng sayuran di tangan, tak lupa kusapa setiap orang yang kukenal. Di
sebuah pertigaan gang kecil, kulihat 3 orang lelaki yang sedang asyik memasang
spanduk dengan foto dua orang yang tersenyum. Seorang bapak berkumis yang
tampak gagah dan seorang lelaki yang ku tahu masih jomblo itu adalah pasangan
calon kades dan wakades.
“
Bu Harto pasti sebentar lagi akan memborong minyak goreng,” gumamku dalam hati.
Aku hanya berani berbisik pada diriku sendiri, bukan pada orang lain. Aku tahu
mungkin sebagian dari kami, penduduk kampung ini, merasa senang saat pemilu
akan tiba. Mereka akan mendapatkan rejeki yang terduga dari orang-orang yang
mendadak dermawan. Uang, beras, kaos gratis yang bisa dipakai saat menggarap
sawah, dan minyak goreng yang tiba-tiba berharga murah.
“
Alhamdulillah nduk, ibu baru saja dapat uang dari pak Tono,” kata ibu pada
suatu sore.
“
Berapa bu?”
“
20 ribu, lumayan bisa buat beli beras 2 kg. Bapakmu juga dapat kaos,”
Aku
hanya mengangguk, tidak bisa menimpali perkataan ibu. Aku takut dibilang sok
tahu dan sok suci kalau aku menolak semua itu. Sementara wajah ibu terlihat
begitu senang, karna baginya uang sebanyak itu sudah mampu melegakan hatinya.
Maklum saja, keluarga kami adalah keluarga yang pas-pasan. Bapak hanya kuli
bangunan, penghasilannya tak seberapa.
Siang
hari, ketika pulang sekolah aku meletakkan tas di kamar. Lalu beranjak pergi ke
dapur mencari makanan. Saat itu lah aku melihat minyak goreng yang berdiri
tegak menyapaku, tampangnya begitu riang. Aku sentuh kulitnya, lalu kutenteng
minyak goreng itu menuju ruang tamu.
“
Minyak goreng ini dari siapa bu?”
“
Oh itu, dari pak Harto nduk. Alhamdulillah kita dapat rezeki lagi hari ini.”
Ya,
sekarang penduduk sedang dilanda dilema. Mereka menerima semua pemberian yang
tiba-tiba itu, pilih nomer 1 apa nomer 2. Uang telah lenyap, kaos sudah kotor
terkena lumpur dan semen, dan minyak goreng itu, ah dia sudah jadi jelantah
seketika.
Malang, April 2018
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar