picture by: artidarimimpi.com
Oleh :
Nur Sholikhah
Aku terlahir di sebuah
negeri yang terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya. Negeri yang
menyandang dua gelar sekaligus sebagai Negara agraris dan Negara maritim. Tidak
banyak Negeri yang sehebat negeriku bukan? Pulau-pulau tersebar di segala
penjuru, gunung-gunung menjulang gagah tanpa ragu, sungai-sungai mengalir penuh
arah dan tuju, ombak-ombak berdebur dengan suara merdu, hamparan sawah hijau
yang merindu dan masih banyak lagi kekayaan-kekayaan milik negeriku.
Setiap pagi aku melihat
matahari yang menyapa pagi di ufuk timur, warna kuning kemerah-merahan itu
selalu membuat aku malu. Bagaimana tidak? sinarnya masuk ke celah-celah jendela
dan pintu rumahku, mengintip aktivitas yang ku lakukan di rumah. Aku yang
setiap pagi memandangi benda kotak itu, benda yang dapat berbicara namun tak
dapat mendengar. Meski sudah sering aku meneriakinya dengan keras,
memaki-makinya karena ia memperlihatkan hal yang memalukan padaku.
Sinar itu menggelitiku,
memercikkan hangatnya di punggungku, lalu menjalarkan energi dan semangat
padaku. Ia juga sering berbisik tentang keadaan negeri ini. Negeri yang sungguh
sangat aku kagumi. Aku maklum, dia terbit setiap hari meski awan-awan kelam
sering memudarkan pandangannya. Dia menyaksikan apa saja yang terjadi dalam
setiap detik dan setiap tempat di penjuru dunia. Maka tak heran jika ia sering bercerita,
mengisahkan apa saja padaku. Tentang perang, bencana alam, kesibukan para
manusia, jalan-jalan yang macet, pohon-pohon yang tumbang, toko-toko kelontong
yang terbakar, tentang manusia yang berkepala emas dan tentang hilangnya sosok
yang dibutuhkan oleh negeri ini.
Iya, dia bercerita
dengan sinarnya yang meredup. Wajahnya terlihat sayu pagi itu, meski
kehangatannya masih sama seperti biasanya. Aku mendengar dengan seksama,
melupakan kegiatan rutinku untuk memandangi benda kotak ini. Angin-angin yang
sedari tadi ikut bergumam tak ia perbolehkan bersuara, burung-burung yang
bernyanyi riang ia bentak agar berhenti. Setelah sunyi menghinggapi, ia mulai
berkisah lirih.
“Kau harus tahu sesuatu,
ini tentang masa depan dirimu dan negerimu. Akhir-akhir ini sosok itu telah
hilang. Entah, aku tak tahu apa penyebabnya. Apakah ia sengaja menghilang atau
dibuang,” sepersekian detik ia terdiam. Aku berusaha memaknai setiap kata yang
diucapnya.
“Ketika ia menghilang,
hanya sedikit manusia yang tahu dan mengerti berita itu. Sedangkan yang lain
membungkam, acuh, dan tetap menjalani kehidupan dengan sewenang-wenang. Beberapa
manusia khawatir dan sudah berupaya mencari ke pelosok negeri. Sebagian lagi
seolah tak pernah merasakan kehilangan, bahkan menganggap ia sudah mati.” Ombak
itu mulai berbuih, pecah menghantam karang-karang.
“Mereka mengedepankan
hak ketimbang kewajiban. Padahal kau tahu, sosok yang hilang itu adalah sosok
yang wajib hadir di antara mereka. Kalau dia sampai hilang, bagaimana nasib
negeri ini? Yang lebih miris adalah mereka dengan begitu mudahnya merampas
hak-hak orang lain, bahkan hak-hak para penghuni negeri ini. Mereka sengaja
menyusun sandiwara untuk mengecohkan berita, menjadikan agama sebagai penutup
aibnya, menjadikan kekayaan sumber daya alam sebagai ladang eksploitasinya dan
sumber keserakahannya. Sementara kewajiban yang harus diemban tak lagi mereka
perdulikan. Dan pada akhirnya sosok itu mulai tersingkir, merasa tidak
dibutuhkan, lalu menghilang.” Suaranya yang terakhir begitu lirih, sinarnya
mulai menepi, tertutup awan yang hitam, pekat.
Sesudah ia pergi, hujan
deras mulai mengguyur. Tangisnya benar-benar telah pecah. Air mata dan
kesedihan itu tak lagi tertahankan, alam menangis tersedu-sedu mendengar sosok
itu menghilang. Guntur menggelegar, petir menyambar-nyambar, seolah berteriak
memanggilnya untuk hadir kembali di negeri pertiwi ini. Aku hanya bisa menatap,
tubuhku terasa kaku, aku tak sanggup berteriak, tanganku terikat, mulutku
terbungkam, nafasku tersengal, aku telah menjadi korban. Aku harus bangkit, aku
harus ikut mencari sosok yang hilang itu.
“Ibu amanaaaahhhhh……”
akhirnya aku mampu meneriakkan nama itu cukup di dalam hatiku.
Malang, 6 Maret 2018
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar