Resensi Novel Parvana 3 (Kota Lumpur)
. Novel
parvana ini merupakan bagian ketiga dari sekuel trilogi Parvana yang merupakan
terjemahan dari novel yang berjudul Mud City karya Deborah Ellis yang
diterjemahkan oleh Adzimattinur siregar dan diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan
Populer Gramedia) tahun 2011. Novel ini menarik karena kental dengan keadaan
sosial dan budaya negara Afganistan yang digambarkan dalam novel tersebut.
Terutama pengaruhnya terhadap kondisi mental tokoh utama.
Dalam novel
ini pembaca dihadapkan dengan hal menarik dari sosok tokoh utama, seorang gadis
remaja yang begitu tangguh dalam menjalani kehidupan yang teramat sulit dan
tidak sewajarnya dapat dilakukan oleh gadis seusia dia pada umumnya. Refleksi
kehidupan di Negara Afghanistan yang telah terjadi perang sejak tahun 1978 oleh
perseteruan tentara dukungan Amerika dengan tentara dukungan Soviet. Hingga
setelah Soviet pergi pada tahun 1989, perang saudara pecah ketika berbagai
kelompok berusaha menjadi penguasa di negara tersebut. Novel yang kental dengan
sosial politik dan kebudayaan ini, membuat kesan menarik tersendiri.
Shauzia, seorang
anak perempuan berusia 14 tahun yang menyimpan mimpi dapat pergi menuju padang
Lavender. Melarikan diri meninggalkan kamp dinding lumpur yang panasnya sudah seperti
pemanggang roti. Dia bersama seekor anjing setianya -Jasper-, menyusuri jalanan
yang penuh dengan ancaman. Mereka berdua sangat dekat, saling melindungi satu sama lain. Dia nekat memangkas habis rambutnya demi menjadi
seorang anak laki-laki. Karena itu akan lebih aman baginya untuk dapat bertahan
hidup di luar pengungsian yang menyesakkan menurutnya.
Shauzia yang mulanya terjebak di tempat penampungan janda akibat rezim militer
Taliban itu,
diam-diam pergi dari kamp pengungsian ke Peshawar, Pakistan. Mengemis,
memulung, bekerja apapun walau keselamatannya terancam demi mewujudkan mimpi ke
padang Lavender di Prancis. Sempat kembali ke kamp dan menjalani hari-hari yang
sulit, Shauzia tetap yakin akan mimpinya itu.
Dengan bahasa yang ringan, menarik, dilengkapi
dengan dialog-dialog yang menakjubkan,
novel ini menggambarkan ketegaran dan keberanian tokoh utama menghadapi
kezaliman perang dan lingkungan yang kejam. Melalui kisah perjalanan atau
petualangan sosok Shauzia dengan Jasper, pembaca
diajak merasakan selarit harapan dari kehidupan kamp pengungsian yang getir dan
kelam. Begitu banyak pesan moral dan pelajaran yang akan kita temukan dalam novel tersebut melalui kacamata petualangan Shauzia.
Cahaya_Ma'rifaht
0 komentar:
Posting Komentar