Oleh : Cintia Dwi Afifa
“Untuk mengambil hati seseorang, mulailah
dengan membicarakan tentangnya” –Pak Prof. Imam Suprayogo
Kata-kata tersebut terngiang lagi sore ini,
di benakku. Entah keberapakalinya, aku membenarkan kata-kata itu. Masih
tertancap dengan jelas, gambaran suasana siang itu bersama beliau. Itu bukanlah
kali pertamanya ku mengikuti seminar-seminarnya. Dalam sesi tanya jawab, ada
seorang mahasiswa bertanya pada beliau, dia membuka pertanyaannya dengan
membahas tulisan pak prof. Terlebih dahulu, barulah diikuti dengan
pertanyaannya. Pak Imampun, tersenyum puas mendengar pertanyaannya. Tak
langsung menjawab beliau berkata “Nah..
Kembali ke cerita sore ini, hari ini adalah
hari kamis. Dimana aku harus bertemu dek puang, begitulah dia berkenalan
denganku di awal pertemuan kita. Tentunya, dia hanya bercanda akannya. Dan hari
ini adalah pertemuan kita kelima. Dia adalah gadis cilik, yang berusia 9 tahun.
Belajar bareng, iqra’ 1 (satu) denganku. Dia sudah ganti kurang lebih 6 kali,
pendamping belajar mengaji. Entah kenapa, dia hanya cerita sampai disitu. Hari
ini, ibunya menanyakan perkembangannya. Aku bingung, karena selama 4 pertemuan
ini, kita banyak bermainnya. Kenapa ? jangan tanya pertanyaan itu, sebelum kamu
mengenalnya. Aku bingung, dan bertanya-tanya. Apa jangan-jangan aku terlalu
menurutinnya ya.. tapi percayalah untuk menolaknya itu sangat sulit. Berhubung
aku hanya membadali (menggantikan) temanku untuk mendampinginya, ku coba
menanyakan karakternya. Temanku bilang, dia memang sedikit susah, dan bisa di
bilang dia malas. Ah... aku jadi ingat, aku di usianya. Segala
bentuk nasihat, itu tak mempan. Aku lupa, bahwa semua ada kuncinya, ada
caranya.
Sampai pada sore ini, seperti biasa dia
sangat lambat dalam membaca. Dia seakan bilang “aku sukanya cerita, bukan
belajar ngaji”. sampai pada topik pembicaraan, seorang artis. Dia sangat
mengaguminnya. Dia ingin sepertinya. Alih-alih ... aku yang buta dunia
selebritis. Aku mengarang sebuah cerita. Kukatakan, bahwa awalnya dia (si
artis) adalah bocah biasa sepertinya pun
sepertiku. Tapi karena dia pintar mengaji. Allah mengabulkan doanya, dan
melancarkan jalannya hingga ia bisa jadi seperti ini. Dan tak kusangka, dia
dengan girang bertanya “berarti aku bisa dong, jadi artis sepertinya?” langsung
kujawab, tentu saja dek. Yang penting ngajinya pinter, nan rajin. Tak perlu
waktu lama, ia pun sangat bersemangat untuk ngaji. kamu tau? Dia sangat lancar
bacanya dan tak ada cerita-pertanyaan-deelel yang menyela bacaannya seperti
sebelumnya. Dalam sekejap, ia pun melahap 6 halaman sekaligus sampai-sampai dia
tak mau berhenti membaca. kenapa aku biarkan? Soalnya aku tau dia sudah bisa
sebenarnya, hanya males aja. Terpaksa, aku menghentikannya karena estimasi
waktu. Dia tanya, “artisnya ngaji setiap hari nggak?” iya dong, kataku. “yaudah
aku ngajinya setiap hari ya... aku bilang bunda ! biar aku nanti besar, jadi
artis yang terbaik di seluruh Indonesia dan luar negeri”. Iya jangan lupa
Doa ya.. doanya jangan lupa di tambahin.. jadi artis yang Sholihah dek. Dengan sigap
dia jawab “iya nanti aku doa”. Dalalm hati, aku bergumam duh kenapa aku
nggak menggubris ceritanya yang tentang si artis dari dulu ya... tau gitu kan
enak.
Dari sini aku sadar, yang malas bukan dek
puangnya tapi akunya. Di akun ig ummu balqis pernah posting yang kalau pada
intinya “sebenarnya semua anak bisa jadi kreatif, asal ibunya tidak malas”. Ntah
kenapa ku rasa, inipun berlaku buat ku dan dek puang. Kenapa aku sibuk dengan
mencari masalah yang ada pada dirinya, bukan yang ada pada diriku. Harunya
aku yang lebih kreatif, dalam mendampingimu ya dek. Maafkan aku. Oh iya, satu
hal lagi yang harusnya aku minta maaf lagi, padamu dek. Soal riwayat si artis,
aku telah mengarangnya .. hehe. Tapi untuk sebuah Power of Doa nya aku
nggak bohong. Terimakasih untuk pelajaran yang berharga hari ini dek, sudah
mengingatkanku kembali akan nasihat Pak Prof. Imam juga telah menyadarkan aku
atas banyak hal.
0 komentar:
Posting Komentar