Oleh:
Nur Sholikhah
Hari masih
sangat pagi saat aku berangkat menuju sebuah tempat di Surabaya. Matahari belum
berani menampakkan sinarnya sehingga sisa-sisa hawa dingin masih begitu terasa.
Aku memilih sebuah transportasi umum kelas ekonomi sebagai kendaraan massal
dengan harga terjangkau. Hari itu hari Sabtu pagi, gerbong-gerbong kereta tidak
terlalu sesak oleh hembusan nafas manusia. Tepat pukul 05.02 WIB kereta mulai
merangkak perlahan, menerobos dingin dalam sela-sela terbangan embun di tengah
sawah. Suara kereta ternyata tidak mampu membangunkan mimpi-mimpi manusia,
buktinya jalanan kota masih terlihat lengang, hanya truk-truk bermuatan berat
yang berani menguasai jalan raya.
Beberapa menit
perjalanan, kereta berhenti di stasiun Peterongan. Di stasiun inilah, banyak
penumpang yang meringsek masuk mengisi tubuh kereta. Para penumpang itu
beraneka ragam, tapi mayoritas dari mereka adalah manusia paruh baya. Ku amati
penampilan dan tingkah mereka serta barang-barang yang dibawanya. Aku bisa
menebak bapak-bapak itu adalah para arsitek desa alias tukang dan kuli
bangunan, ada juga pedagang pasar yang mau kulakan barang di kota. Mereka
memakai kaos+jaket hangat yang membalut tubuh mereka, alas kakinya bersandal
karet dengan warna pudar karena dimakan usia, namun ada juga yang bersepatu
rapi lengkap dengan talinya.
Sedangkan
mama-mama itu adalah pedagang yang menjajakan barangnya di rumah-rumah pinggir
kota. Hal itu terlihat dari beraneka macam barang yang dibawa. Ibu yang berada
tepat di depanku membawa 2 tas besar berisi pisang. Aku tidak bisa membayangkan
betapa beratnya tas itu, ku rasa aku tak kan mampu membawanya sekuat apapun
tenagaku. Hebat benar ibu yang ku tahu namanya Hermina itu dari percakapan yang
ku dengar di antara mereka. Setelah ku perhatikan lebih dalam, aku tahu mereka
adalah kumpulan para pencari rupiah di kota. Sepanjang perjalanan, mereka
selalu membawa keasyikan. Obrolan-obrolan mereka, canda tawa mereka, rasa
kekeluargaan dan kebersamaan mereka telah berhasil menumbuhkan rasa simpatiku.
Mereka adalah pegiat-pegiat kerja dan pencari rupiah yang terkadang naik darah.
Mereka senang dengan pekerjaan yang mereka lakukan, meskipun barang yang di
jual belikan hampir sama, tapi persaingan yang sakit tidak ada di hati mereka.
Mereka sudah layaknya seperti keluarga yang sama-sama mengadukan nasib di kota,
tak ada yang boleh saling menyakiti dan menjatuhkan bisnis antar saudara.
Dan kereta ini
adalah saksi dari jerih payah dan perjuangan mereka. Maka dapat ditengarai
bahwa kereta kelas ekonomi ini adalah transportasi umum yang sesuai dengan
kantong-kantong mereka, maka pemerintah haruslah tahu. Sepanjang perjalanan
ini, aku terus merenung. Iringan lagu dangdut dengan tiruan suara dari seorang
ibu membuat perenungan ini terasa semakin dalam. Terbayang jika di luar pulau yang
penuh hingar bingar ini dibangun pula sarana transportasi kelas ekonomi. Maka
alangkah bahagianya orang-orang kecil disana, dapat menikmati fasilitas negara
dengan biaya sesuai hati mereka. Kereta perlahan berhenti, tak terasa
perjalanan telah sampai dan para pejuang ekonomi itu telah berlalu bersama
berhentinya kereta di setiap stasiun. Aku berjalan keluar dari kereta rakyat
ini, menghirup udara kota Surabaya yang telah lama ternodai.
Wonokromo,
Januari 2018
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar