Oleh:
Nur Sholikhah
Sebentar lagi pertarungan akan segera dimulai,
ya mungkin tinggal menghitung hari. Sementara panggung semu itu sudah disiapkan
jauh sebelum semua siap bertarung. Aku hanya mampu sebatas menatap, mengerutkan
kening karena tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ku lihat mereka
berlomba-lomba mengeruk tanah dan memendam dirinya sendiri. Menggali lubang dan
menutupnya lagi dengan hiasan-hiasan yang mewarnai. Apakah itu sebuah konsep
untuk terapi? Terapi merawat diri agar kelak menjadi yang tertangguh di negeri
ini?
Di setiap hari yang ku temui, para petarung
seakan merubah dirinya menjadi pahlawan bagi siapa pun. Keyakinan masing-masing
begitu besar hingga tak mampu di tampung oleh angan-angan yang lebar. Ketika
satu pihak mewarnai gambar dengan sedikit goresan yang keluar dari garis tepi,
maka satu pihak lainnya akan menebali goresan itu dengan warna yang lebih
tajam. Semua itu dilakukan untuk sebuah maksud tertentu yang ku rasa semua
orang pasti sudah tahu. Namun aku salah mengira, ternyata masih banyak yang
menganggapnya bukan sebuah makna. Sungguh pertarungan ini ku rasa hanya gurauan
anak-anak kecil di kala senja.
Jika waktu telah menunjukkan saatnya, saat
dimana suara mereka sangat dibutuhkan untuk memenangkan pertarungan. Janji-janji
diumbar bak kapas ringan yang beterbangan, omongan-omongan penuh keyakinan
diutarakan tanpa sungkan. Yang disana mencoba menjatuhkan disini, dan yang
disini mencoba menenggelamkan kepalsuan. Bahkan terkadang lembaran uang dan
bingkisan sembako menjadi senjata paling ampuh untuk mengambil hati dan suara
mereka yang terbeli.
Laris manis, suara mereka terjual begitu
miris. Tak ada tawar menawar, tak ada kesepakatan, namun persaingan harga masih
bisa berjalan. Tak ada yang perlu mereka takutkan karena ada janji di setiap
transaksi. Mungkin mereka tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu bahwa
ternyata propaganda-propaganda itu dapat membunuh diri mereka sendiri. Atau karena
faktor ekonomi? Menganggap yang pantas untuk maju ke peraduan adalah yang
memberi? Sungguh aku tak mengerti kemana arah hilangnya sang pelangi.
Pertarungan tetaplah pertarungan, selalu ada
korban yang harus dijatuhkan. Kalah menang sudah menjadi takdir di setiap
babaknya. Meski yang bertarung adalah mereka-mereka yang berdasi dan berpakaian
rapi, tetap saja namanya adalah pertarungan. Pertarungan yang tak memandang
siapa lawan dan siapa korban, yang terpenting adalah yang menang. Pertanyaannya
sekarang adalah siapakah yang akan menang? Yang menang adalah jiwa-jiwa berhati
lapang. Dan siapakah yang menjadi korban? Maka tanyalah diri kita sendiri yang
menanggung beban.
Malang, 10 November 2017
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Perumahan Bukit Cemara Tidar f3 no.4
0 komentar:
Posting Komentar