Oleh:
Nur Sholikhah
Malam telah lama berlabuh di peraduan, sinar
mentari yang menyisakan semburat merah telah tergantikan oleh cahaya rembulan.
Para bintang tersenyum dengan cahaya yang gemerlap seperti tatanan lilin yang
membentuk sebuah pola ciptaan Tuhan. Malam itu seperti malam-malam biasanya,
kami, keluarga kecil sedang menunggu kedatangan bapak dari Surabaya. Bapakku
adalah seorang arsitek kasar di desa. Siapapun pasti mengenalnya, seorang
lelaki yang memiliki 9 orang anak dari satu wanita tercinta.
“Jangan tidur dulu nduk, tunggu bapakmu pulang,”
itulah pesan ibu yang sering ia tuturkan ketika kami telah merasa ngantuk
menunggu bapak. “Mungkin kereta yang ditumpangi bapak datang terlambat,” tambah
kakakku. Kedua kalimat itu selalu
diucapkan ketika bapak pulang lebih malam karena kereta yang ia tumpangi
terlambat datang. Menunggu ia pulang merupakan hal yang sangat menyenangkan
bagi kami. Ibu biasanya membuat secangkir kopi untuk mencegah rasa kantuk yang
melanda. Kami selalu berharap bapak pulang dengan membawa makanan.
Jika suara lonceng sepeda berbunyi, “Kring...kring.”
kami berlari ke pintu depan, kakak-kakakku yang sedang asyik belajar di tempat
tidurnya akan langsung beranjak menyambut bapak,
begitupun ibu. Jika aku melihat setang sepeda jengkinya terdapat gantungan
kresek, aku merasa sangat gembira. Itu tandanya bapak membawakan makanan untuk
kami. Apalagi jika di bungkusan tersebut terlihat tusuk-tusuk yang berdiri
tegak. Maka aku akan segera mengambilnya dan membaginya dengan saudaraku yang
lain.
Bapak adalah seorang lelaki yang tangguh. Setiap
hari ia berangkat sebelum shubuh untuk memulai perjalannya mencari nafkah. Kami
saat itu masih terlelap berselimut dingin di tempat tidur yang dipannya sudah
rapuh. Sebelum berangkat, bapak selalu menengok kami dan menyelipkan beberapa
lembar uang kusut yang ia simpan di dalam saku celananya. Kemudia dengan sekuat
tenaga ia mengayuh sepeda dan menerobos dingin yang menyentuh tulang-tulang
rusuknya. Jarak antara stasiun dengan gubuk kami lumayan jauh, namun itu
bukanlah alasan bapak untuk tetap berjuang memenuhi kebutuhan hidup kami.
Tanggung jawabnya memanglah besar, menafkahi
seorang istri dengan 9 orang anak bukanlah hal yang mudah. Sekeras apapun bapak
bekerja, uang yang ia peroleh selalu habis untuk biaya makan dan kami sekolah. Namun
bapak bukanlah tipe lelaki yang penyerah. Ia adalah lelaki tersabar yang aku
kenal selama ini. Baginya hidup adalah perjuangan, ia sangat yakin bahwa Tuhan
sudah menentukan porsi rezeki pada setiap hamba-Nya. Sebanyak apapun masalah
yang ia hadapi, ia tak pernah menunjukkannya pada kami. Hanya kepada Tuhan dan
ibu lah ia bercerita, membagi derita dan luka yang tak bisa disembuhkan oleh
satu dokterpun.
Perjuangan bapak yang sangat keras itu begitu
melekat pada kami. Ia mengajarkan bagaimana menjadi orang yang sabar dan
neriman, ia tidak pernah mengenalkan kami pada kata gengsi. Kegigihannya dalam
mengemban tanggung jawab membuat kami iri. Kesabaran dan ketabahannya dalam
menghadapi segala permasalahan belum bisa kami tiru seutuhnya. Begitupun dengan
kedisiplinannya, ia selalu berangkat satu jam
sebelum jam kereta berangkat, ia akan bergegas pergi ke masjid jika adzan belum
dikumandangkan, bahkan ketika ia memenuhi suatu undangan, ia akan menjadi orang
pertama yang duduk dan menikmati makanan.
Perjuangan bapak membesarkan kami hingga saat ini
tak bisa kami balas dengan apapun. Kucuran keringat yang menetes sejak usianya
masih 20 tahun tak bisa kami gantikan dengan kucuran uang hasil kerja kami.
Bekas-bekas luka yang tersisa di tubuh dan hatinya tak kan bisa kami pulihkan
kembali. Semua itu menjadi bukti pertanggung jawabannya pada Tuhan jika kelak
sang malaikat bertanya tentang amal yang telah ia perbuat.
Bapak, semoga kami dapat meniru keteladananmu
untuk menjadi seorang yang sabar, dermawan dan menghargai waktu. Maafkan aku
dan saudara-saudaraku yang belum mampu menyapu semua luka dihatimu. Aku akan
selalu mengingat pesan yang kau sampaikan padaku, “Jangan terlalu merasa bangga
atas kehebatanmu, ingatlah bahwa di atas langit masih ada langit.”
Malang, 7 November 2017
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Perumahan Bukit Cemara Tidar f3 No.4
0 komentar:
Posting Komentar