Dyah Ayu Fitriana @fitri_yesss
Saya tidak pernah merasa
benar-benar kekurangan uang, kecuali hari itu. Saat setelah saya memutuskan
untuk berkata “Bapak izinkan saya belajar menghidupi diri saya sendiri”. Untung
saja bapak dan ibu merupakan orang tua yang diplomatis. Beliau selalu
memberikan kesempatan pada anaknya untuk mengambil keputusan, tentunya juga bertanggungjawab
atas keputusan itu. Dan sekali lagi hal itu bukan karena gaji saya banyak atau
gengsi untuk menerima uang, melainkan hanya sebuah cara memaksa diri untuk
belajar hidup di berbagai keadaan.
Ada
banyak hal yang ternyata harus saya pelajari dari keadaan itu. Pertama, rezeki adalah
sesuatu yang sangat misterius. Ia akan tetap datang meski kita hindari, namun
terkadang pergi walau dengan usaha apapun kita cari. Dalam melangkah memang tak
perlu tergesah. Kadang kita selalu meminta hal yang instan, lihat temen udah
sukses punya bisnis, kepingin. Lihat orang lain jalan-jalan ke luar negeri,
kepingin. Padahal ada yang dinamakan “proses”. Proses itulah yang akhirnya menuntun
kita untuk menjadi lebih baik. Selanjutnya seperti yang selalu digaungkan oleh
Ustad Halimi “Jangan melamar, kamu akan dilamar”. Maksudnya jika kita punya
skill, pengetahuan, dan kemampuan maka tidak perlu repot-repot melamar
pekerjaan, melainkan kita yang akan dicari.
Kedua,
terbatasnya pemasukan akan mengubah cara kita untuk menghargai uang. Setelah saya
telusuri, ternyata pembengkakan pengeluaran saya tadi dikarenakan pembelian
buku yang tak terkendali. Saat itu awal perkuliahan yang mengharuskan banyak
melahap buku. Selain itu hobi saya membaca novel dan buku-buku menarik lainnya juga
mengambil andil dalam pembengkakan itu. Akhirnya satu hal yang harus saya
sadari, bahwa kita perlu membuat anggaran keperluan tiap bulan. Mana kebutuhan
pokok dan mana yang tambahan. Ini sangat penting untuk menghindari
terbengkalainya kebutuhan pokok karena khilaf membeli kebutuhan tambahan.
Ketiga, berbeda
dengan teman sebaya itu nggakpapa. Hal lucu ini terjadi ketika teman saya
mengirim sebuah pesan singkat “Ngopi yuk”, sangking tidak ada uang, ngopi-pun
saya harus berpikir ulang. Akhirnya terjadi dilemma, apa saya tetap hadir ke
sana demi kumpul bersama teman, atau saya pilih untuk pulang mengerjakan tugas
di rumah karena memang anggaran sudah sangat menipis. Terkadang ketika tidak
mengiyakan teman ada rasa “Ih anak muda, kamu kok gitu banget sih nyeriusin
hidup” dan selanjutnya ada rasa kenapa aku nggak kayak mereka aja. Nah kawan, nggakpapa
kalau kita berbeda dengan teman. Setiap orang memegang prinsip yang berbeda,
kemampuan untuk memaklumi jika kita boleh mengambil keputusan berbeda dengan
teman sebaya adalah sesuatu yang penting.
Keempat, Mental
kaya tidak dilihat dari jumlah harta. Ini bukan alibi seorang yang miskin ya
hehe. Malah saya mau bilang, kalau kita bermental kaya seharusnya tidak ada
satu hal pun yang serasa mahal atau murah. Ia tergatung apakah kita butuh atau
hanyalah untuk kesenangan belaka. Membeli yang butuh walau berbandrol mahal,
dan menghindari membeli meski diskonnya berpuluh persen.
Memang dalam
melangkah menuju kejayaan ada beberapa hal yang harus rela kita korbankan, rela
mengenyampingkan kesenangan bersama teman, rela untuk membeli secukupnya, dan
mau untuk menikmati proses.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar