Oleh:
Nur Sholikhah
Hujan kembali mengguyur jantung kota, tepatnya di persimpangan jalan
menuju kampus tua. Aroma debu bercampur air segera menguap di hidung
orang-orang yang melintasinya. Hujan ini bukanlah yang seperti biasanya, hujan
ini seolah pertanda bela sungkawa atas nasib kota. Entah mungkin hanya akulah
yang berpikir sedemikian rupa. Aku terlalu muda untuk menuju kesana.
Aku terus melangkah
dengan menggenggam payung di tangan kanan. Tak ku pedulikan lagi
pikiran-pikiran aneh yang muncul tiba-tiba. Ia sangat berisik bahkan terkadang
berteriak kencang pada batin ini, “Kau dengar! untuk apa kau hidup tanpa
bertindak apapun untuk kota ini. Kota ini sudah terlalu lama sakit bahkan koma
karena ulah pemimpinnya.” Aku terus saja
berjalan pelan dan merenung sepanjang jalan. Mata ini tak henti-hentinya
melihat para manusia menatap tajam. Mata mereka menyorot seperti lentera merah
di kegelapan. Sungguh menakutkan, apakah benar bahwa aku hidup di kota yang
sedang sekarat?
Jika iya, kenapa aku
masih melihat kehidupan di sekitar kampus tua, banyak penjual makanan yang
asyik ngobrol dan bercerita, banyak para tukang angkot dan ojek yang bergurau
ria di pinggir kota. Lalu kenapa ia bilang kota ini sedang koma, apa buktinya?
Lihatlah gedung yang megah itu, gedung itu berdiri kokoh di atas geletakan
mayat dan kucuran darah rakyat. Makhluk-makhluk tak berdosa jadi korbannya. Awan-awan
gelap jadi saksinya dan mereka lah para pelakunya. Mereka siapa? Aku sendiripun
tak tahu karna aku hanyalah manusia yang kurang ilmu. Dan sekarang gedung itu
milik orang-orang asing yang sengaja datang untuk meracuni kota ini. Dan
akhirnya kota ini benar-benar telah keracunan.
Para penduduk pun
menjadi lupa ingatan, lupa akan sejarah yang pernah di ukir sang nenek moyang.
Mereka hanya mengingat bahwa gedung itu akan memberi sedikit hiburan, iya hanya
sedikit hiburan. Bahkan mereka lupa pergi ke dokter dan menebus obat di apotik
pinggir jalan. Mereka memang benar-benar telah keracunan.
Setiap hari mereka
berebut jalan, saling mendahului dan memaki sesama makhluk Tuhan. Mengapa semua
selalu mengedepankan ego? Bukankah jalan itu milik kita bersama, yang dibangun
hasil pembayaran pajak para penduduk kota? Mengapa mereka selalu merasa paling berhak
memilikinya? Bahkan terkadang orang-orang sepertiku yang sering menyebrang
jalan harus rela mendapat serempetan-serempetan kasar dari para penunggang
kendaraan. Kota benar-benar telah koma hingga teriakan kami tak pernah diraba.
Dan akhirnya hujan deras
telah berhenti lama, menyisakan rintik-rintik kecil di jalan dan kampus tua. Ku
lihat lagi mereka bersandiwara, pura-pura ramah padahal dusta. Aku sungguh tak
mengerti, sampai kapan kota ini akan terus sekarat tanpa ada yang mengobati. Kau
lihat sendiri para generasi muda telah tercandu dunia, yang tua pun tak mau
mengalah. Kursi-kursi permadani jadi rebutan di setiap tahunnya. Tak peduli
keluarga yang jadi saingannya, hingga jatuh korban jiwa tanpa suara karena
telah dibungkam dengan indahnya kata. Yang muda hanya ingin dipuja tanpa
tindakan nyata, media sosial telah jadi makanannya. Gizi itu terlalu rendah,
maka pantas saja kota ini sekarat. Koma karna penyakit dalam yang kronis. Ia butuh
dokter yang benar-benar ahli, ahli agama, ahli bahasa, ahli teknologi, ahli
filsafat, ahli ekonomi, ahli sejarah dan ahli segalanya. Siapakah dia? Biarlah sang
waktu yang kan menjawabnya.
Malang, 3 November 2017
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar