Karya : Nur Ma’rifatul Jannah
Siang ini, matahari begitu terik
sinarnya. Menyilaukan spion-spion kendaraan bermotor. Dia biarkan keringat
bercucuran membasahi seluruh tubuh kurusnya. Menyusuri jalan berlapis aspal
tanpa alas di kakinya. Menjajakan Koran-koran dikala lampu lalu lintas menyala
merah. Tak peduli terik matahari membakar hangus kulitnya ataupun memeras
keringatnya. Tiada putus asa dia mengais rupiah tuk mendapat sesuap nasi. Sepulang
sekolah, dia hanya datang ke rumah meletakkan buku dan mengganti baju
seragamnya. Setelah itu, bergegas ia melangkahkan kakinya di sepanjang trotoar.
“Koran…koran….koran……Pak ? hari ini
beritanya bagus, Pak! Ada anak yang tewas dibunuh ibunya sendiri, cuma gara-gara
minta uang jajan tapi dia ibunya ga punya uang.”
“Beli saja
pak, kasihan anak ini lugu sekali. Sampai mempromosikan beritanya segala. “Bisik
seorang perempuan yang duduk di samping pak pengemudi sedan itu.
“Baiklah nak,
ini saya beli satu.” Sambil menyodorkan uang bernilai 100.000 rupiah.
“Wah, maaf Pak!
saya tidak punya kembalianya.”
“Buat ibu kamu
saja, biar nanti kalau kamu minta uang jajan, ibu kamu tidak membunuhmu,
seperti berita yang di koran ini.”
Sesaat, kedua
orang tadi berlalu menembus lampu lalu lintas yang menyala hijau. Dia hanya
tersenyum kecut mengingat perkataan orang itu.
“Tak apalah,
Alhamdulillah baru satu koran yang terjual tapi sudah dapat 100.000 rupiah.”
Syukurnya dalam hati.
Tak terasa 3 jam telah terlalui,
adzan ashar telah berkumandang. Panggilan Allah untuk semua umat islam tuk
bersujud padaNya. Sedari kecil dia tlah dianjurkan kedua orang tuanya tuk menyembah
Allah, Tuhan satu-satunya yang menciptakan alam semesta ini beserta isinya.
Meskipun hanya keluarga miskin, tapi mereka tak pernah lalai dalam ibadahnya.
Bapaknya yang bekerja sebagai tukang becak kini tidak dapat mengayuh si roda 3
itu lagi, sebab kecelakaan maut yang menimpanya. Tapi untung saja tidak
merenggut nyawanya.
Bu Asih yang
kini menggantikan posisi Pak Kadim sebagai tulang punggung keluarganya. Dengan
menjual kue-kue basah dan kering dia mencoba agar dapat mencukupi kebutuhannya
dan juga tetap bisa menyekolahkan Teguh, anak satu-satunya dari Pak Kadim dan
Bu Asih.
Pak Kadim adalah seorang yang tekun
dalam ibadahnya. Pasrah dengan nasib yang
dialaminya. Menyerahkan segala
takdir sepenuhnya kepada Allah. Tiada
lagi mementingkan urusan duniawi. Akan tetapi sayangnya ia seperti orang tak punya tanggung jawab
kepada anak dan istrinya. Sebenarnya Pak Kadim masih mampu bekerja lagi, tetapi
dia sudah pasrah sepenuhnya terhadap ketentuan Allah tanpa mencoba tuk berusaha
kembali memikul kehidupannya di dunia. Bu Asih memaklumi keputusan suaminya
itu. Dia wanita yang tegar dan bertekad besar. Tak kenal lelah dia berkeliling
menjajakan kue-kuenya. Berusaha dan berusaha melawan dunia yang begitu kejam
menguras hati. Semangat itulah, yang membuat Teguh menjadi anak yang rajin
sekolahnya, ibadahnya, dan juga membantu ibunya mengais uang.
Pada suatu ketika, saat mereka
berkumpul di rumah bambunya yang amat sangat sederhana.
“Guh, sampai
kapan kamu tetap bersekolah?” Tanya Pak Kadim kepada Teguh, seusai sholat
magrib berjama’ah.
Teguh hanya
terdiam merundukkan kepalanya dengan lesu.
“Sudahlah,
nak! buat apa kamu sekolah terus? Kasihan ibumu yang terombang-ambing mencari
uang untuk biaya sekolahmu itu?” sambil mengelus-elus rambut kepala Teguh.
Teguh tetap
diam dan menunduk. Seperti membendung air mata yang hendak menetes.
“Teguh harus
tetap sekolah, Pak!” Sahut Bu Asih tegas yang muncul dari pintu dapur.
Pandangan
mereka tertuju pada Bu Asih. Teguh yang semula diam kini dia mengangkat
kepalanya dan memandang ibunya dengan penuh belas kasih.
“Apa ibu
sanggup membiayainya?”
“Ibu akan
tetap berusaha semampu mungkin tuk dapat menyekolahkannya, Pak!”
“Niat ibu
memang baik, tapi kondisi ekonomi kita tidak mendukung.”
“Allah akan
tetap membantu umatnya yang mau berusaha dan tiada jenuh memohon pertolongan
dariNya. Bapak ingat petuah almarhum Kakek Rochman ?”
“Ya tentu aku
ingat, tapi……..”
“Pak, maafin
Teguh yang mungkin hanya bisa menjadi beban bagi Bapak dan Ibu. Teguh memang
anak yang tak berguna. Bisanya hanya menyusahkan orang tua saja. Tapi Teguh
punya cita-cita, Teguh ingin mengubah nasib kita sekarang ini. Kalau memang
Bapak dan Ibu nggak mampu lagi membiayai Teguh, Teguh rela jika harus putus
sekolah. Teguh tidak mau melihat Bapak dan Ibu hidup susah berkepanjangan.
Lebih baik memang Teguh tidak usah sekolah. Sekolah hanya menguras tenaga,
fikiran, dan biaya terus menerus. Teguh tidak usah sekolah lagi!” Tegas Teguh
dengan nada tinggi namun terdengar parau.
Setelah
berkata panjang lebar terhadap orang tuanya, tiba-tiba dia langsung saja
berlari meninggalkan kedua orang tuanya yang kini hanya terdiam terpaku saling
bertatap mata.
“Biarkan saja
dia pergi menenangkan perasaannya.” Pak Kadim menenangkan kegelisahan istrinya
pada Teguh yang keluar rumah entah kemana dengan perasaan yang sangat terpukul.
Keesokan harinya salah seorang guru
menanyakan Teguh yang tak terlihat di sekitar sekolah selama beberapa hari ini.
“Teguh belum
datang?” salah seorang guru menanyakan absensi siswa yang tidak masuk.
“Mungkin tidak
masuk sekolah, Bu!” Jawab seorang teman Teguh
“Narno, kamu
tau kenapa dia tidak sekolah?”
“Tidak, bu…!”
“Kamu kan
teman dekatnya dia?”
“Tapi kemarin
dia tidak bilang apa-apa sebelumnya.”
“Nanti kamu
coba tengok dirumahnya ya? Kalau 3 hari dia belum juga masuk, nanti ibu sendiri
yang menemuinya.”
“Baik, bu….!”
“Ya sudah ayo
anak-anak, kita mulai pelajarannya. Buka buku sejarah halaman 32 Bab Pahlawan.”
Serentak murid-murid mengikuti perintah Bu Sartika.
Teguh yang beberapa hari ini tidak
masuk sekolah, mungkin semangatnya mulai merapuh dan kekecewaan bergejolak
dalam hatinya.
“Kamu bolos,
nak?” Bu Asih menghampiri Teguh yang sedang melamun.
“Ndak bu!”
Singkat dia menjawab.
“Kalau tidak
bolos apa lagi namanya ?”
“Kalau bolos kan
cuma beberapa hari saja, tapi Teguh ga sekolah seterusnya.”
“Apa? kamu
harus tetap sekolah. Susah payah ibu memeras keringat supaya kamu bisa sekolah,
nak!”
“Ibu ga usah
lagi mikirin sekolah Teguh. Cukup buat makan kita sehari-hari saja dan
kebutuhan pokok lainnya, bu !”
“Teguh, kamu
dengarkan kata-kata ibumu ini. Bapak dan Ibumu sudah hidup sengsara
berkekurangan, kamu harapan satu-satunya, ibu yakin kamu bisa menjadi yang
lebih baik dari kedua orang tuamu ini. Tugas kamu sekarang belajarlah dengan
rajin! Gapailah bintang-bintang berkelipan di langit. Ibu percaya, kamu pasti
bisa membahagiakan Bapak dan Ibu. Jangan kecewakan harapan Ibu, Teguh, Seperti
nama kamu, “Teguh” kamu harus teguh menghadapi cobaan di dunia ini. Jangan
mudah putus asa. Ibu akan selalu mendoakan kamu, nak! kamu jangan lalai memohon
pertolongan dan ridho Allah. Kamu ngerti kan!”
“Ibu…Teguh
sayang ibu...!” Teguh memeluk erat ibunya dengan penuh kasih sayang dan haru
rasa bangga.
Bu Asih, sosok ibu yang berambisi
penuh keyakinan untuk dapat menyekolahkan anaknya di tengah ekonomi yang sangat
menghimpit. Meskipun suaminya tidak mendukung, namun Bu Asih tak pernah jenuh
membakar semangat Teguh yang sering meredup karena nasihat Bapaknya.
Keesokan harinya, tepat setelah
Teguh 3 hari membolos. Bu Sartika menanyakan alasan mengapa Teguh tak masuk
sekolah. Teguh menjelaskan alasan ketiadaan biaya yang membuatnya ragu untuk
datang ke sekolah.
“Tidak perlu
terlalu pusing memikirkan biaya sekolahmu. Saya dan pihak sekolah sudah
mengusulkan pengajuan beasiswa bagi siswa yang tidak mampu berprestasi. Kamu
cukup lebih menekuni belajar kamu, agar tingkat sekolah lanjutan nanti masih
tetap bisa menampung dan membiayai sekolah kamu.”Jelas Bu Sartika saat itu.
Teguh hanya
bisa berkata terima kasih banyak atas kebijakan dari pihak sekolah. Matanya
tampak berbinar-binar. Menunjukkan betapa bahagia dan bersyukurnya dia kepada
Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan yang tak terduga. Dalam fikirannya
terbayang jelas sosok wajah Bapak dan Ibunya yang tersenyum bangga.
“Bu….Pak….
akhirnya Teguh bisa meneruskan sekolah Teguh tanpa harus menjadi beban berat
bagi kalian. Justru Teguh bisa menjadi yang lebih baik.” Ungkapan perasaan
Teguh yang penuh kebahagiaan.
Akhirnya, Teguh bisa meneruskan
pendidikannya sampai perguruan tinggi. Prestasi-prestasi yang dia bangun selama
ini, kini telah membuahkan hasil. Penuh liku rintangan yang membuatnya hendak
putus sekolah. Berkat do’a dan semangat seorang Bu Asih yang selalu
tercurahkan, harapan untuk anaknya agar dapat menjadi yang lebih baik, kini
bukanlah sekedar mimpi semu yang tak berarti, melainkan kenyataan yang amat
sangat indah. Peristiwa ini akhirnya dapat mengetuk pintu hati Pak Kadim yang
semula tak mendukung, kini dia merasa salut dan bangga dengan perjuangan anak
istrinya itu. Bahkan dia merasa kalau dia bukanlah sosok kepala keluarga yang
baik dan bertanggung jawab. Namun hati nurani dengan rasa cinta kasih anaknya
yang tulus mampu meyakinkan Pak Kadim. Teguh percaya, dibalik sikap bapaknya
yang nampak tak peduli, tetapi sebenarnya Bapaknya selalu mendo’akan
keberhasilannya. Teguh tidak pernah menuntut bapaknya untuk bekerja membiayai
keperluan hidupnya, justru Teguh bertekad untuk bisa membahagiakan dan
memulyakan kedua orang tuanya.
“Tidak salah
ibu kamu memberikan nama “Teguh” untukmu sejak lahir. Terbukti kini kau tumbuh
dan berkembang menjadi anak yang Teguh pendiriannya, Teguh imannya, Teguh
tekadnya, dan Teguh hatinya. Memang kau benar-benar anak yang Teguh.” Puji Pak
Kadim terhadap anak dan istrinya.
Rampung di tulis Kamis, 02 Desember 2010 Pukul 23:11 WIB
Selesai diketik Rabu, 09 Desember 2015 Pukul 07:36 WIB
0 komentar:
Posting Komentar