Oleh:
Nur Sholikhah
Papa
adalah orang hebat, menurutku belum ada seorangpun yang mengalahkan kehebatannya.
Ia pandai berkata-kata, berpuisi, menulis cerita, menjadi sutradara dan bahkan
menjadi pemain di filmnya sendiri. Aku selalu mengaguminya, sosoknya yang gagah
dan mungkin berwibawa dengan memakai jas hitam lengkap dengan dasinya, ia
terlihat tampan dan menyimpan banyak tanya. Aku yakin dulu Papa adalah
mahasiswa paling teladan di kampusnya, ia berprestasi dan aktif berorganisasi.
Ia pernah menulis jurnal internasional tanpa seleksi, ia pernah memimpin orasi
di tengah-tengah hiruk pikuknya suasana negeri ini.
Aku
ingin selalu bertepuk tangan sekeras-kerasnya, karna ku rasa dia seperti tiada
duanya. Selama perjalanan hidupku ini, belum pernah aku mengenal orang sesakti
dia. Padahal ia bukan turunan orang yang pandai ilmu kedukunan.
Suatu
hari ketika Papa sedang bermain sepak bola, ia tiba-tiba terjatuh dan tidak
sadarkan diri. Aku sempat shock saat itu, jangan-jangan sakitnya Papa kambuh
lagi. Aku khawatir akan keadaannya. Orang-orang disekitarnya langsung
membawanya ke rumah sakit di jantung kota. Dokter yang melihatnya langsung memeriksanya
di ruang kedap suara. Dokter melarang siapapun untuk masuk ke dalam ruangan
itu, yang diperbolehkan hanyalah istri dan keluarganya. Sedangkan aku? aku
hanya mampu menjenguknya lewat foto yang dikirim oleh istrinya yang tak pernah
ku panggil mama. Kasihan Papa, alat-alat medis yang ku tak pernah tahu apa nama
dan fungsinya bergelantungan di tubuhnya. Terlihat seorang wanita yang sedang berisak
tangis di sampingnya. Apa penyakit Papa
yang sesungguhnya? mengapa aku hanya mendapatkan fotonya saja tanpa informasi
apapun? aku khawatir Papa terserang penyakit jantung lagi.
Beberapa
hari setelah pengiriman foto itu, Papa dikabarkan sudah hampir sembuh. Aku pun tersenyum
tanpa ragu, ternyata Papa masih di sayang Tuhan. Ia diberikan kesempatan untuk
bermain sepak bola lagi dan menjadi sutradara sekaligus pemain di filmnya
sendiri. Wanita yang pernah menemaninya di ruang kedap suara itu berbisik pelan
padaku, "Papa dulu terserang penyakit jantung, dan penyakit itu bisa
kambuh saat Papa kalah dalam pertandingan sepak bola. Dokter berpesan agar ia
banyak membaca istighfar dan bersedekah". Sejak saat itu, aku berharap Papa
mau pergi ke masjid dan ke pasar-pasar rakyat untuk membeli obat.
Malang, 6 November 2017
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Perumahan Bukit Cemara Tidar F3 no.4
0 komentar:
Posting Komentar