
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Oleh:
Ninis Nofelia
“Kutatap
lekat-lekat bayang wajahnya, menemani kesunyianku pada malam ini. Ranum
senyumnya seakan merayapi dinding rumahku. Kemanapun mata memandang seakan aku
melihat dirinya. Oh, sungguh tak kuasa kutolak rasa rindu ini menggelayut dalam
kalbu. Cukup indah namun mengganggu. Karena ini hanya bayangan semu, tanpa aku harus
tau kapankah raga ini bisa bertemu.”
$$$
“Zain…., belum tidur
nak?”, suara ibu dari arah dapur membuyarkan lamunanku. “Belum, Bu. Ini masih
mengerjakan PR Fisika buat besok Senin.”, jawabku berharap memberi kelegaan
pada ibu. Setiap kupandangi buku diktat Fisika, selalu teringat dengan guru
privatku dulu ketika SMP. Bu Aini, beliau adalah sosok pengajar yang kukagumi.
Ketika itu aku masih duduk di kelas IX SMP dan beliau menempuh studi Pendidikan
Fisika semester 3. Cara mengajarnya tak membuatku bosan, bahkan semakin
menyenangkan. Aku merasakan kemudahan untuk memahami pelajaran Fisika yang
menyulitkan itu. Sikapnya yang ramah dan selalu tersenyum membuatku semakin
menaruh hormat padanya. Sekarang aku mendekati bulan-bulan kelulusan di diakhir
kelas XII SMA. Semenjak lulus SMP beliau sudah tak lagi mengajar privat ke
rumahku karena beliau transfer melanjutkan kuliah di Bandung. Aku ingin
bertanya perihal kesulitanku dalam menghadapi soal-soal Fisika di SMA, namun
nomor HPnya sudah tak aktif lagi.
$$$
“Aku ingin melanjutkan ke
Teknik Elektro di Bandung. Boleh ya, Bu?”, pintaku pada ibu di sela-sela aktifitasnya
membuat kue di malam Minggu. “Boleh aja, kamu mau satu kampus sama masmu
di UPI??”, jawab ibu tepat sesuai keinginanku. “Iya, Bu. Aku ingin satu kampus
sama mas Jamal. Kan enak tu, ga’
usah mikirin kos di mana. Sekarang dia kan udah bikin rumah di dekat kampus
sana, Bu. hehe…”, jawabku sambil menggodai ibu. “Semua anak ibu sekolah
di Bandung, nikah sama orang Bandung. Terus Zain juga pengen ke Bandung, trus
ntar dapet orang Bandung juga. Lha, ibu sama ayah nanti di rumah sama
siapa kalau semua anak-anaknya ke Bandung?? Ibu sama ayah sudah tidak muda
lagi, Zain. Satu-satunya harapan ibu cuma Zain, anak bungsu ibu yang nanti
kelak bisa tinggal di Surabaya bareng Ibu sama ayah, terus nanti kamu nikah
sama orang yang dekat-dekat sini saja ya…” , jawab ibu dalam raut kekhawatiran.
“Ibuku yang cantik…, Zain kan pamit kuliah, belum pamit mau nikah. Lagian UAN SMA
aja belum, Bu…Jodoh itu di tangan Allah, Bu. Jauh ataupun dekat yang penting
sholihah. Bisa jadi sahabat baru buat ayah sama ibu. Yang terpenting do’a ayah
ibu itu yang paling mujarab, hehe. Nah sekarang senyum dong…”,
aku berusaha menumpas rasa kekhawatiran ibu.
$$$
5 bulan kemudian…
“Alhamdulillah Bu, Zain
diterima di Teknik Elektro UPI. Ibu mau oleh-oleh apa? Insyaallah, Besok
Zain pulang ke Surabaya, Bu”, ku
menelepon ibu tuk memberi kabar gembira ini segera. “Segera pulang nak, Ibu
kangen. 2 Bulan kamu disana apa ya tambah gemuk ya anak ibu??? Emmm… ibu nitip salam buat mas-masmu sekeluarganya di sana ya. Ibu nitip Bandeng
Presto buatan mbak yu mu, kangen masakan menantu ...”, jawaban
ibu melegakanku karena nada bicaranya seakan penuh restu.
$$$
Garuda Indonesia telah
siap untuk mengantarkanku terbang ke Bandara Juanda Surabaya. Kumasuki pesawat
itu dengan menggenggam tiket pesawat yang berisi nomor kursiku. Lega sekali,
ternyata aku mendapatkan kursi di dekat jendela pesawat. Sudah lama aku
memimpikannya. Bisa melihat gumpalan mendung bagai samudra di atas awan. Pasti
sangatlah menawan. Asyiknya kunikmati pemandangan
di luar sana sampai 15 menit meninggalkan daratan tak hiraukan apapun yang
terjadi di sekelilingku. Indahnya panorama seakan membiusku tuk terpusat
memperhatikannya. Pemandangan ini indah sampai membuatku haus, ku balikkan
tubuhku ke sebelah kanan untuk mengambil air mineral di tas kecilku. Ternyata
pemandangan sebelah kananku membuatku lebih takjub. Tak kusangka, aku akan
bertemu dengan beliau di tempat seperti
ini. “Bu Aini??”, ku sapa sosok perempuan yang pernah kukagumi hingga saat ini.
Guru privat Fisikaku ketika SMP. Ia
mengernyitkan dahi sambil mengingat-ingatku. “Emmm… Jin!”, sontak ucap
Bu Aini mengagetkatku. “Zain, Bu”, jawabku mengklarifikasi. “Oh, ya!… Apa kabar
cah?”, ia menanyaiku. Masih saja seperti yang dulu, suka bercanda namun
tetap saja anggun dalam senyumnya yang menawan. “Pangling aku cah,
sudah besar rupanya sekarang. Sekolah dimana sekarang?”, tanyanya padaku,
dengan raut wajah sama seperti dahulu. Bagiku ia sama saja seperti dulu, berparas
manis, ceria dan selalu muda, tak terlihat bertambah usia. Kami terpaut usia 5
tahun. Meski terpaut lumayan jauh tapi rasanya kini sudah nampak seumuran.
Entahlah, mungkin karena gaya hidupnya yang begitu santai dan bersahaja. .
Di sela-sela perjalanan,
kami asyik mengobrol di dalam awak
pesawat. Ternyata beliau kini menjadi seorang dosen di sebuah universitas
swasta di Bandung. Beliau ke Surabaya
untuk mengisi liburan semester genap dan ternyata beliau tinggal di Surabaya
bersama ayah, ibu dan kedua adik perempuannya. Aku menanyakan nomor HP dan
alamat rumahnya. Entahlah hati ini rasanya seperti berbunga-bunga. Rasa kagum
semakin ada padanya, “lulus kuliah langsung menjadi dosen muda, subhanalloh…”.
$$$
Rumah tampak sepi. Aku
langsung masuk rumah menuju dapur untuk mencari ibu dengan niat memberi kejutan.
“Assalamualaikum, Bu. Zain pulang”, aku bersalam sambil mencari ibu. “Alhamdulillah,
Nak. Ayo sini istirahat sejenak! kemudian segera sholat, lalu makan siang. Ini ibu
buatkan soto ayam kesukaanmu…”, sambut ibu sangat sumringah melihat anak bungsunya hadir di hadapannya. “Ibuku
benar-benar ibu yang super sekali. Semoga kelak kau dapatkan menantu yang super
sepertimu, Bu”, gumamku dalam hati.
Seusai sholat, kusantap soto ayam spesial buatan ibuku. Sambil
menikmatinya bersama ibu, aku menceritakan perihal tentang pertemuanku dengan
Bu Aini dan obrolan kami sepanjang perjalanan. Dengan memperhatikan ceritaku
dan gerak mimikku, tak kusangka ibu langsung mengujar kata yang membuatku
sedikit tersedak. “Zain suka sama guru les Zain??”. Aku terdiam dalam renungan
mendalam, padahal mungkin saja ibuku hanya bergurau atau kata “suka” yang
diucapkan beliau adalah dalam lingkup seorang murid yang mengagumi sosok
gurunya. Namun entahlah, tiba-tiba darah terasa berdesir cepat setelah
mendengar ucapan ibu. Kuakui memang
akhir-akhir ini sering merasakan rindu pada Bu Aini, sering merasa mengagumi
sosoknya, senyum dan keramahannya. Entahlah, aku juga tak tahu. Mungkin ini
hanya kekaguman semata atau mungkin memang benar-benar tumbuh benih cinta dalam
dada. Muncullah angan yang tak terduga, benakpun ikut berkata, seandaiya aku terlahir lebih dahulu dari Bu
Aini aku akan merasa bahagia bisa mengungkapkan rasa ini. Aku merasa tak pantas
untuk bersanding dengannya, pastilah ia mencari sosok yang lebih dewasa darinya
untuk bisa mengayominya. Aah…Apakah aku sudah gila ya? Baru kusadari ternyata
Bu Aini yang selama ini kuimpikan. Guru privat yang sangat menghidupkan
hari-hariku. Ya Robb, aku menginginkannya, seandainya Engkau memberikan pilihan
padaku, tentu aku ingin terlahir lebih
dulu darinya. Sejenak kumerasa sepertinya tiba-tiba merasa tidak waras. Namun sedikit
teredam dengan kisah kasih Rasululloh dengan Sayyidah Siti Khadijah yang pernah
kudengar ketika duduk di bangku SD. Sedikit melegakan. Mungkin ini masih akan
menjadi tanda tanya bagiku, biarlah kelak waktu yang kan berbicara. Entalah…,
Bagiku ini adalah cinta luar biasa.
0 komentar:
Posting Komentar