Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Siti Fathimatuz Zahro'
Pada tanggal 29 September aku bersama kelompok tugas, menghadiri
acara pemutaran film G30S. Sebelum berangkat aku membayangkan bahwa disana akan
ada suguhan wedang jahe. Mungkin akan membuat suasana semakin hangat dan
lebih terasa akan masa sejarahnya. Jumlah penonton yang membludak karena saking
penasarannya dengan sejarah ini juga tergambar jelas dalam benak ku. Bisa
dikatakan bahwa hal ini masih kali pertama aku alami.
Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya kami sampai. Namun aku
kecewa. Sungguh kecewa. Imajinasi ku terurai. Tak ada suguhan wedhang
jahe dan tak ada penonton yang membludak. Jauh dari angka 200 jumlah saksi
sejarah malam itu. Anak-anak yang dapat dikatakan hanya mampir, dan
sisanya terisi oleh remaja tanggung dan dewasa. Aku berjinjit. Mengintip siapa
gerangan penonton sejak awal. Kekecewaan ku semakin bertambah tatkala aku tau
pengisi bangku depan adalah muda-mudi penyedia fasilitas. Inilah yang akan
menjadi sejarah masa nanti.
Adegan demi adegan tayang. Masuklah pada klimaks. Tatkala dimana
para pemangku negara diundang untuk menemui ajal. Taukah kau siapa yang
bertandang datang malam itu? Itu rakyat mereka. Kawanan mereka. Satu tanah satu
bendera. Para tentara pembela tanah air yang entah mengapa berbeda visi dan
misi. Sungguh mengerikan. Aku bergidik. Ku tutup kan ransel ku saat itu. Hanya
aku yang bertingkah seperti itu. Bagaimana dengan pemirsa? Diam!!! Iya...mereka
diam. Entah sulit berekspresi atau hatinya telah mati.
Aku penasaran. Mengapa mereka diam. Apakah diamnya tersirat bahwa
mereka tak tau harus berkata apa dan bagaimana. Semoga saja bukan hatinya yang
benar-benar mati. Aku menilik kebelakang. Aahh, itu dia. Seorang bapak-bapak
berusia kisaran setengah abad mungkin. Dengan celana pendek dan jaket parasut
mendekap sembari bersandar pada sebuah tiang. Aku luapkan apa uneg-uneg ku,
bagaimana tanggapannya akan film tersebut. Aku bersyukur ketika beliau
mengatakan bahwa pemutaran film ini bagus. Hal itu menjadikan semua rakyat tahu
bagaimana sejarah negaranya berdiri, bagaimana perjuangan keras mengiringi
kokohnya pertahanan. Lebih gembiranya aku saat beliau mengatakan bahwa beliau
mengetahui siapa-siapa nama tokoh dan siapa-siapa yang memerankannya. Tidak!!!
Sejarah ku tidak mati. Aku salah. Negara ku masih bernafas.
Ku usaikan malam ku saat itu. Mimpi ku indah malam ini. Wedhang
jahe ku tergantikan akan hidupnya sejarah. Itu lebih berharga. Wedhang
jahe ku mungkin akan habis. Tapi tidak dengan sejarah ku.
Malang, 02 Oktober 2017
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
www.darunnun.com
0 komentar:
Posting Komentar