Oleh:
Nur Sholikhah
Rambutnya terurai
panjang nan semrawut diterpa angin lembut yang menyapa pagi. Pakaian lusuh
membungkus tubuhnya yang semakin hari kian mengurus. Kuku-kukunya dibiarkan
memanjang untuk mencakar dinding-dinding yang telah rapuh dimakan oleh
rayap-rayap kelaparan. Entah apa yang menjadi beban hidupnya? Bukankah dia tak
memiliki beban hidup seperti manusia yang kehilangan akal pada umumnya? Sudah
hampir seumurku dia menggila, sejak kehidupan rumah tangganya dirundung duka.
Suaminya berubah, tak lagi memberi rupiah kepadanya. Begitupun dengan nafkah
batin untuk dirinya. Ketiga anaknya pergi merantau ke pulau seberang dan tak
pernah kembali. Mungkin mereka menganggap dia sudah tiada, terkubur tanah
bersama kegilaannya.
Terkadang ia mampu
tersenyum, terkadang ia mampu tertawa, terkadang juga berbicara dengan
makhluk-makhluk abstrak. Kebiasaan itu merupakan hal yang biasa yang tak perlu
pembiasaan. Masyarakat sekitar membiarkan ia asyik menikmati dunianya. Ketika
ia merasa lapar, ia pergi ke rumah tetangga tanpa mengetuk pintu. Masyarakat
yang merasa iba memberinya sesuap nasi dan selembar pakaian, tak lupa minuman
bening sebagai pelepas dahaga. Ada pula orang yang menghardiknya, mengusirnya
dan memakinya. Ia pergi tanpa membalas manusia itu, pergi berjalan pelan
kembali ke gubuknya yang gelap.
“Jangan kamu ganggu
anakku!” teriaknya saat aku bermain di halaman depan rumah. Aku menoleh ke
arahnya dengan rasa takut. Takut dia akan mengejarku dengan membawa senjata
yang tak ingin ku sentuh. Matanya menatapku dengan tajam dan ternyata benar, di
tangan kanannya membawa sebuah clurit yang dipakainya untuk ngasak kacang tanah di sawah sebelah.
Aku siap berlari menjauhinya, menghindari sesuatu yang kutakuti terjadi.
“Jangan bunuh anakku!
Beraninya kau cabik-cabik dia didepanku!”. Sorot matanya semakin tajam. Clurit
di tangannya sudah siap meluncur. Aku berlari sekencang-kencangnya, dia
mengejarku tanpa ampun. Aku telah mencabik-cabik anaknya, Oh tidak aku hanya
bermain pasaran seorang diri. Apa
yang terjadi selanjutnya? Aku pun tak tahu dan tak bisa menerka.
Aku terus berlari
menerobos semak belukar di kebun samping rumah. Aku ingin menuju 2ke ibuku yang
sedang memanen cabai disana. Langkahku terhenti, aku menoleh ke belakang. Tak
ada siapapun yang mengejarku. Nafas ini tersengal-sengal, kakipun mulai terasa
kram. Apakah aku terlalu cepat berlari? Sehingga ia tak bisa menyusulku?
buktinya tak ada siapapun yang mengejarku. Apakah dia menghilang bersama
ingatannya? Bahwa apa yang dia lakukan membahayakan nyawaku dan yang ku
cabik-cabik bukanlah anaknya, melainkan bunga-bunga yang telah layu.
Ah sudahlah, kejadian
ini begitu aneh bagiku. Aku kembali ke halaman rumah dengan rasa was-was yang
membekas. Tak ada siapapun disana, kemanakah ia perginya? Ku tengok gubuknya
yang reot itu, gubuk yang hanya berjarak 2 rumah dengan rumahku. Gubuknya tetap
saja gelap meski sinar mentari telah lama bertengger di langit. Jendela dan
pintunya tertutup rapat seolah memang tak ada tanda-tanda kehidupan disana.
Aku bergumam, “Ah
mungkin dia tadi tidak jadi mengejarku, ia lebih memilih kembali pulang ke
gubuknya untuk melakukan pekerjaannya. Memasak makanan untuk suaminya yang akan
pulang sore hari nanti, menemani anak-anaknya belajar mengeja huruf-huruf
hijaiyah. Atau mungkin ia lebih memilih mengolah kacang tanah hasil asakannya tadi pagi untuk dihidangkan
saat keluarganya menonton televisi.” Oh tidak, kehidupan yang normal itu telah
hilang 15 tahun yang lalu.
***
“Nduk, akan ku ceritakan padamu
tentang dia, budemu. Namanya Subinah. Dia dulu adalah orang normal sama seperti
kita. Dia cantik dan kulitnya putih. Bapakmu adalah adik kesayangannya. Dia
menikah di usia belia, 16 tahun. Seorang lelaki telah memiliki hidupnya. Awal
pernikahan, rumah tangga mereka begitu harmonis. Ketiga anaknya tumbuh dengan
sehat”. Ibu terdiam sejenak sambil memberi makan ayam-ayam kecil yang berlarian
girang.
“Hingga suatu ketika,
rumah tangganya mulai dirundung banyak masalah. Suaminya tidak bekerja dan
anak-anaknya mulai merantau mencari rizki di kota orang, ada pula yang ikut
suaminya ke luar pulau. Kehidupannya benar-benar sedang diuji. Sebagai ibu
rumah tangga ia berpikir keras untuk mempertahankan kehidupannya. Hingga di
suatu pagi ia mengamuk seperti orang kerasukan. Ia melempar benda-benda yang
ada dirumahnya ke dinding. Ia mulai mengancam kedamaian masyarakat sekitar
karena tindakannya yang tak terkendali”. Kembali ibu terdiam, mungkin mengingat
kembali cerita yang telah lama terkubur bertahun-tahun silam.
“Dia pernah tinggal di
rumah sakit jiwa, namun karena keterbatasan biaya ia tidak bisa dirawat lama
disana. Bapakmu dan saudara-saudaranya bergantian merawatnya. Dia sering merasa
kesepian, anak-anaknya tak ada lagi yang peduli dengannya. Suaminya meninggal 2
tahun setelah ia mulai gila”.
Hanya itu kisah yang
ibu ceritakan padaku di suatu sore. Ketika dia, budeku Subinah sedang sakit di
gubuknya. Sebuah tumor telah bersarang di pahanya. Badannya yang kurus itu
semakin terlihat seperti tulang yang terbungkus kulit. Hati ini terenyuh
melihatnya, dia yang pernah mengejarku dengan membawa clurit lalu tiba-tiba
menghilang, dia kini terkapar lemas tak berdaya. Ia sakit bersama rasa sepi
yang menjelma.
“Shodik, Atik, Ragil”.
Berkali-kali ia memanggil nama ketiga anaknya. Namun mereka tak kunjung datang
memenuhi panggilan ibunya. Apakah mereka
tuli? Atau pura-pura tak mendengar dan tetap sibuk dengan dunianya.
Berhari-hari budeku tetap saja begitu, memanggil nama anak-anaknya dengan suara
lirih, namun di hatinya dia berteriak karena jarak antara dia dan mereka sangatlah
jauh.
Akhirnya, dia tak
mampu lagi memanggil. Suaranya berat dan perlahan-lahan menghilang bersama
hembusan nafasnya yang terakhir. Bibirnya tertutup rapat, begitu pula kedua
matanya. Jemarinya lemas tak mampu lagi menggenggam semua kenangan. Kenangan
itu kini jatuh berkeping-keping. Tak ada lagi tangan yang mau menadahi, karena
kenangan itu begitu lembut dan meyesakkan. Dia membiarkan kenangan yang dia
miliki terurai bersama rasa sepi yang bertahun-tahun telah menguhujami.
Menghujam hati yang gelap dan akal yang tak sehat.
Pondok Pesantren Darun Nun
PERUMAHAN BUKIT CEMARA TIDAR F3 NO.4
0 komentar:
Posting Komentar