![]() |
Source: google.com |
Dia
lelakiku,
lelaki yang melamarku, yang mengucap akad di depan paman-pamanku.
Hingar bingar pernikahan terasa syahdu, masa tunggu yang tak lebih lama dari
penantian antara ramadhan satu dengan berikutnya nan begitu mengundang rindu.
Malam ini, ketika Sebuah jenis aroma yang menguar dari bantal yang pernah kita
tiduri mengecap lidahnya bercerita tentang dongeng masa lalu. Mengantarkan
malam syahdu memeram rindu. Malam ini aku tak dapat tidur, mataku lelah, namun
hati gundah, tenaga tak lagi bersisa untuk bercengkerama bersama kegelapan
malam. Sebuah makhluk bersemayam dalam tubuh memaksa untukku mengeluh pada
alam. Sensasi tak nyaman seringkali menjadi alasan untuk menyebutnya sebagai
kesakitan. Layar handphone mengabarkan pusat malam sedang bergelimpangan,
memaksa mata tak lagi berdaya, pukul 02.15. Aah! Aku tak tahan. Raungan yang
kutahan membangunkan lelaki di sampingku dengan keresahan yang tergambar jelas
dari matanya. “kenapa dek? Masih sakit?” “iya mas. Aku gak bisa tidur. Ini
sakit sekali” “mas buatkan air hangat ya, buat kompres perutnya” “enggeh mas”
Tak lama, bayangan lelaki itu memberi kabar bahwa dia dengan botol air
hangatnya telah siap meringankan lilitan perutku. Pukul 04.30, aku mulai
sanggup tidur, merasakan kelelahan dan kenyamanan. Ketika hari telah terang
“mas, ayo ke puskesmas. Aku khawatir” Benar saja, janin yang bersemayam dalam
pelukan kulit dan dagingku terus berteriak tak nyaman. Suatu tindakan operasi
harus dilaksanakan demi kelangsungan generasi penerus kami berikutnya. Aku tak
takut dengan jarum ataupun segala pernak-perniknya. Aku hanya tak rela jika
harus berpisah dengannya yang telah kujaga 3 bulan terakhir. Ibu tak ada di
sampingku, hanya ada lelaki itu. Hanya dia peredam segala kekalutan. Dia
sungguh sekuat kaki ibuku, tak sedikitpun nampak air mata menghias wajahnya
meski kutahu dia pun terluka. Tak peduli berapa banyak yang menghibur, berkata
baik, “sabar mbak, pasti ada hikmahnya. Suatu saat akan diganti, semoga segera
dikasih titipan lagi ya”. Mungkin pada mulanya ketika dia meninggalkan tubuhku,
ada sedikit perasaan lega karena aku tak lagi harus tersiksa dengan segala
kesakitan itu. Namun tak dapat kupungkiri betapa sesal menghujam begitu dalam,
mengisi malam-malam dalam kesendirian. Tak ada lagi rasa dingin, atau apapun
selayaknya malam. Malam tak lagi mau menyapa dengan kelembutan, semua terasa
hambar. Hanya kegelapan dan penyesalan, betapa aku tak dapat menjaganya dengan
baik. Betapa bodohnya diri ini, hingga dia tak lagi dapat tahan bersama tubuh
ibunya. Aku ibunya, meski hanya untuk 2 bulan. Nur Wahid, begitulah ayahmu
menyebutmu. Kau anak pertamaku yang gagal kupertahankan. Ku kira ini semua
hanya candaan dunia, ku kira akan mudah menghadapi semua seperti yang selama
ini telah terjadi. Namun hati ini yang katanya ikhlas nyatanya masih saja menangis,
tak mampu mengusir penat demi mata agar tenang terpejam. Betapa yang dapat
memahami penyesalan sosok ibu seorang. Biarpun musik keras berdendang
mengabarkan keceriaan, hambar tak lagi dapat menguarkan setitik senyuman. Hanya
air mata penjawab segala rasa. Dia lelakiku, makhluk indah yang tak banyak
bercakap ketika mulut ini tak berhenti berucap. Berkelit dengan nasib,
membuncahkan emosi terkesan tak sabar dengan ajaran Tuhan. Ketika musim hujan
telah sampai dipelupuk mata, rengkuhan hangatnya memaksa syaraf tuk berucap
“tak apa, ini hanya sementara,kau akan lebih bisa menerima, entah besok atau
lusa semua akan baik-baik saja”. Kedunguan dan kerasnya emosiku tak lagi tajam
seiring ketulusan yang dia siramkan perlahan setiap waktu. Inikah yang
kuidamkan? mengapa aku dipertemukan dan dipersatukan dengan makhluk semacam
dirinya? Bentuknya tak indah, benar namun dia memiliki warna yang sempurna. Dan
yang terpenting dia manusia. Makhluk misterius dengan segala nafas Tuhan yang
dinampakkan dari perangainya. Mengapa ada pernikahan? Mengapa Tuhan memilihkan
dia untuk merengkuh separuh jalan hidupku? Ada apa dengan diriku yang tak mampu
menolak tawaran Tuhan, hingga kami dipersatukan. Tak ada kalimat romantis
selayaknya kisah percintaan di novel-novel remaja. Tak ada wangi kasturi nan
sempurna. Aku tahu diri ini banyak luka, aku tahu dia tak sempurna. Tapi
bukankah ini sepadan dengan kurangnya kemanusiaanku? Tuhan tak pernah salah
menempatkan kemampuan sebagaimana kotaknya. Jika saja kerinduan adalah alasan
yang paling tajam tuk berjuang, mungkin aku tak harus menikahinya untuk
menghadapi dunia, cukup dengan merindukannya dan menikmati segala rasa bahagia
itu sendiri. Namun apalah arti manusia tanpa cinta? Bagai laut yang tak punya
rasa. Aku manusia yang ingin merasakan ketenangan jiwa, tentu saja dengan
cinta, materi, kenyamanan, perlindungan dan kasih sayang. Beruntung, Tuhan
memilihnya untuk menemaniku, untuk itu kubahagia dia memilih diriku untuk
dirinya. Kuharap Tuhan akan selalu memeluk erat dan mencurahkan segala cintanya
demi kami para penyembahnya. Karena aku ingin Dia, itu saja.
Amanatul Mubtadiah
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar