Oleh Rofikatul Islamiyah
Sang Mentari begitu menyilaukan,
sinarnya tak lagi menghangatkan terasa menghanguskan pada setiap pori-pori yang
tertransmisi. Tak heran, jarum jam memang menujuk pada sudut 1800 lebih.
Suara adzan berkumandang, menandakan istirahat untuk yang sedang mencari ilmu,
nafkah atau lebih tepatnya waktu untuk merefresh iman bagi para muslim.

"Aku rindu hal seperti itu, ketika
kita kecil hanya ada keceriaan dan kejujuran. Saudara adalah saudara, tapi
kenapa saat beranjak dewasa kita menjadi asing satu sama lain. Lebih mudah
terbuka dengan sahabat. Lebih nyaman dengan kawan. Bahkan tak jarang kita lebih
memilih untuk chating dengan para teman daripada ucapkan apa kabar
adek/kakak?" Dalam
lamunan Talita.
Karena
masjid mulai sepi Talita kembali ke pondok, melewati lorong alami, kanan kiri
terdapat pepohonan dan sawah membentang meski tak begitu luas, namun sudah
menyejukaa. Apa lagi disaat matahari begitu terik. Dalam perjalanan itu, di
bawah sinar matahari yang membantu proses fotosintesis membuat Talita semakin
menikmati lamunannya. Ya lamunan tentang kenapa dan bagaimana keadaan yang
dialami harus berubah. Tak ada jawaban, tapi tetap saja dia terjebak dalam
lamunannya. Semakin panjang, semakin rumit dan berakhir pada keterpurukan hati
yang terasa menyat. "Mulai kapan kita menjadi begini?
Ah tak sadar, kenapa juga kita menjadi asing dalam keluarga? Mungkinkah karena
perpisahan dari jalan yang kita pilih masing-masing?? Tapi bukankah jika kita bertemu
seharusnya saling bercerita, tentang apa saja yang kita lewati masing-masing?
Tapi apa yang terjadi. Kita membisu. Lagak manusia-manusia yang memiliki
batasan untuk berinteraksi? Ah itu tak ingin ku rasa, tapi apa? Faktanya kita
bagai orang asing yang dikumpulkan dalam satu ruang. Lebih sepi dari pada para
antrian di klinik yang memang tidak boleh bersua. Apakah memang begini
kehidupan dewasa?? Atau apa karena aku yang dewasa di kota, kamu di desa dan
kalian di gunung??
"Mungkinkah kita munafik?? Atau cuman aku
saja yang munafik. Aku benci, benci pada diri ini yang keluar dari desa itu.
Aku merindukan kebersamaan disana. Namun, sesekali aku kembali dan saat bertemu
terasa begitu tak menyamankan. Kaku. Beku dan dingin. Hingga rumahku tak lagi
terasa surga. Saat jauh seperti ini, ingin rasanya kembali. Ah, asal kalian
tahu. Aku tak ingin disini, aku ingin bersama disitu. Tapi dalam keadaan yang
seperti dulu. Ngobrol hal penting dan tak penting tanpa ada batasnya. Tanpa
batas, tanpa sekat. Bukan seperti jumpa pers yang setiap kali omongan harus di
ajukan dengan pertanyaan. Aku ingin setiap kali mau terlelap kita bercerita
hal-hal yang
telah terlampaui. Tapi apa, kembali pada realita. Kita asing. Keluarga tapi
asing. Satu atap tapi beda visi dan misi. Satu ruang tapi beda jalan. Salah
siapa jika begini? Asuhan? Atau taqdirnya memang begini?"
Bruk...
"Neng kalau jalan jangan sambil
ngelamun, untung saya pelan. Coba kalau ..." Suara seseorang yang sedang mengendarai motor.
"Eh, maaf bang. Maaf" tersadar dari lamunannya.
Sang
pengendara pergi dengan sewotnya.
"Ah, dimana ini? Blok C? Aduh.
Salah jalan lagi". Gumam
Talita.
"Apakah begitu parah retaknya
keluargaku? Atau semua keluarga juga seperti ini?" lanjutnya.
Jika di
film-film keluarga yang terasa asing sebab perpisahan dan perbedaan pergaulan
oleh mereka-mereka yang di besarkan di kota. Tapi kali ini? Dia yang tinggal di
kecamatan malah menjadi lebih acuh dari mereka yang berjuang di kota untuk
menghidupi diri? Faktor apa lagi ini? Adakah rumus sikologinya? Atau masih
belum ada penelitian dan kasus yang serupa? Jika Talita ingin jawaban dari
semua unek-unek nya, mungkinkah ada yang dapat menolong? Talita yang ingin
kembali pada kehangatan keluarga tapi keluarga yang selalu mengatakan "sudahlah,
kamu hidup di sana aja. Di sini tak baik, lebih baik hidup sendiri dengan
demaian dari pada bersama dengan pertengkaran dalam lingkar keluar besar". Adakah yang bisa membantu?? Jika anak
orang kaya kekurangan kasih sayang orang tuanya, itu sudah kasus yang banyak ditemukan.
Namun kali ini, orang yang ingin bersama tapi tak bisa. Orang-orang yang
sederhana, berjuang sendiri, selalu rindu peluk keluarga tapi keluarga selalu
merasa lebih baik si dia hidup jauh dengan alas an dalam keluarga besar sudah
tak lagi surge, tapi malah jalan menuju jurang kebencian. Ya, mungkin mereka
tak pernah tahu betapa sepi dan hampanya kehidupan ini? Bukankah siksa yang
mematikan adalah sepi?
"Apa diantara kita tak ada
kemistri sebab masa kecilku bersama nenek, besar di pondok dan dewasa di
kota?" Tapi "bukankah
saudariku juga lebih asing dariku meski kalian hanya dipisahkan oleh periode
pondok?". Ah, pikiran ini
masih menyitaku. Gerutu Talita.
Talita
gadis dusun yang dewasa di kota, merindu kehidupan bersama keluarga yang
ternyata kini telah jatuh berubah. Keluarga besar yang dulu Talita tinggalkan
adalah keluarga yang saling mendukung, salin melindungi dan saling menyayangi.
Tapi saat Talita kembali kini menjadi keluarga yang asing, acuh bahkan tak
jarang sindiran-sindiran yang sama sekali Talita tak merasa. "Apa
yang salah dari halamanku? Kenapa jadi begini? Jika memang ada masalah,
haruskan aku terkena getahnya? Bukankah kalian sangat tahu, aku sudah lama
meninggalkan halaman. Aku yang tak mengerti apa yang terjadi. Aku yang perih di
luar sendiri harus juga merasakan kepedihan saat bersama".
Rasanya
dunia tak lagi punya sudut untuk kehangatan. Tak ada tempat yang menyamankan.
Tak lagi ada insan yang bisa memeluk dengan kasih sayang. Surga itu kini terasa
jumbatan menuju neraka. Hanya Sejuknya udara, indahnya pemandangan dan
jernihnya air sungailah yang tak berubah dari desa dari Lereng itu.
Tak
jarang pertanyaan ini muncul “Ta, kamu tidak pengen pulang ta? Ini
libur panjang loh?” atau “Udah
berapa lama kamu tidak pulang Ta?”.
Tak ada yang tak ingin pulang. apalagi saat titik jenuh mulai merasuki.
Menjelma menjadi diri yang haus akan pendengaran, pelukan dan dukungan. “Aku
meang ingin pulang, tapi… perasaan tidak nyaman saat terahir pulang membuat
rasa ingin itu keok. Ya, aku takut dengan kenyataan bahwa halamanku sudah
menjadi ladang pertempuran. Aku yang tam mengerti dengan jelas apa yang terjadi
menjadi mahluk yang paling bingung saat berada di antara pertempuran itu.
Terserah dunia mengatakan aku pencundang sejati yang lari dari peperangan. Tapi
aku benar-benar tak memiliki keberanian untuk menghadapinya. Aku kebingungan.
Aku tak tahu apa yang harus ku lakuakan. Hanya bersembunyi di negeri rantaulah
yang sedikit memberiku hidup dala nyata tapi kalud dalam jiwa”.
Setibanya
di pondok Talita langsung merebahkan diri, memejamkan mata dengan maksud
melupakan semua yang telah menyita kefokusannya selama pulang dari masjid.
0 komentar:
Posting Komentar