Oleh:
Nur Sholikhah
Di
dalam ruangan yang cukup luas dengan suasana yang cukup tegang pula, kami sibuk
membuka lembaran-lembaran yang dipenuhi dengan angka dan kurva. Ujian akhir
semester mata kuliah matematika ini akan berlangsung 10 menit lagi. Wajah kami
terlihat tegang, namun ada beberapa mahasiswa yang masih terlihat santai
bermain, bercanda tawa dan bahkan keluar masuk ruangan. Saat itu sang dosen
sengaja meninggalkan kami. Dosen ini terkenal sebagai dosen yang sangat
perfeksionis.
Bagiku, matematika adalah mata kuliah
yang paling menakutkan, ditambah lagi dosen pengampu yang sangat perfeksionis. Lengkap sudah
penderitaanku, pikirku saat itu. Waktu 10 menit berlalu dengan begitu cepat
secepat detakan jantung kami. Suara langkah kaki sang dosen terdengar jelas di
telinga, sebentar lagi pintu akan terbuka. Aku membayangkan wajah beliau yang
kaku dan kedua tangannya tidak membawa suatu benda apapun. Itu artinya soal
yang diujikan akan berupa lisan dan ujian tidak dilaksanakan secara
bersama-sama, melainkan di bagi menjadi beberapa kelompok.
Yuupss, dugaanku benar. Pelaksanaan
ujian dibagi menjadi 4 kelompok yang terdiri atas 9-10 mahasiswa. Kelompok
pertama masuk ruangan lebih awal. Setelah beberapa menit berlalu, mereka keluar
dengan wajah yang beraneka ragam. Ada yang memasang wajah kecewa, khawatir dan
bahkan ada yang tersenyum meriah. Entah apa penyebabnya, aku pun tak tahu.
Sambil menunggu antrian, aku membuka kembali buku yang penuh dengan angka itu. Akibat
semalam tidak belajar karena ada kegiatan lain, aku hampir lupa materi-materi
yang pernah diajarkan.
Ku lihat teman-temanku juga
melakukan hal yang sama denganku, bedanya mereka terlihat lebih serius
dibandingkan dengan diriku yang sedari tadi hanya membolak-balikkan lembaran
kosong. Aku melakukan hal itu bukan karna aku sudah begitu paham dengan
materi-materi yang diujikan, melainkan karna aku sudah merasa bosan menunggu
giliran. Bagaimana tidak? aku masuk pada kelompok yang terakhir.
Sebenarnya aku merasa takut. Takut
jika aku tidak bisa menjawab soal-soal itu dengan baik. Pemahamanku pada
matematika sangatlah terbatas. Tapi aku tetap yakin dan percaya bahwa Tuhan itu
tidak tuli dan tidak buta. Dia pasti tahu bahwa aku sedang membutuhkan sebuah keajaiban.
Keajaiban yang bisa membuatku bisa meyelesaikan ujian dengan baik.
Tibalah waktu yang ku tunggu-tunggu.
Aku memasuki ruang ujian dengan tenang, hati ini berulang kali memuji-Nya.
Dengan langkah dan gaya yang penuh dengan percaya diri, aku mencari tempat
duduk yang nyaman dan tidak jauh dari meja dosen. Meski sebenarnya aku merasa
sedikit gelisah, aku tetap mencoba tenang. Sang dosen pun membacakan 2 butir
soal, 1 soal dapat ku pahami karna tergolong soal yang lumayan bagiku.
Sedangkan 1 soal lagi, aku tak mengerti sama sekali.
Ya Allah bagaimana ini? Tidak
mungkin jika aku tidak menjawab soal itu. aku mencoba memahaminya, membacanya
berulang-ulang dan mencoret-coret dengan angka seadanya. Tapi tetap saja aku
belum bisa menyelesaikannya.
“Waktu kurang 5 menit lagi”. Suara
tegas sang dosen mengisi kesunyian kelas.
Wajah kami terlihat begitu serius,
terutama aku. Aku sedang berpikir keras untuk bisa menjawab soal ini, meski aku
sungguh-sungguh tidak memahaminya. Setidaknya aku bisa mengisi dengan
coretan-coretan angka yang sedikit berhubungan dengan soal tersebut. Waktu
berlalu begitu cepat, tersisa 3 menit lagi. Dalam hati aku mengadu, berharap
sebuah keajaiban yang datang di menit terakhir. Tak henti-henti aku menyebut
nama-Nya, memanggilnya dengan penuh harap meski ku tahu saat itu Ia selalu di
sampingku.
Angin semilir masuk dari jendela di
samping tempatku duduk, belaian angin yang lembut itu secara tidak langsung
membawa keajaiban yang aku tunggu. Aku mendapatkan petunjuk untuk menjawab soal
rumit itu. Dengan gerakan jemari yang sigap aku menulis angka-angka dengan
cepat. Aku tak peduli entah jawaban itu tepat atau tidak. Meskipun nanti pada
akhirnya nilaiku tidak memuaskan, tetapi setidaknya aku sudah berusaha menjawab
soal dengan baik dan jujur.
Lembaran-lembaran kertas tertumpuk
rapi di meja sang dosen. Beliau memeriksanya satu persatu, dengan ekspresi yang
datar beliau mengomentari setiap lembaran, menganalisa setiap angka-angka yang
salah dan berantakan. Tibalah lembaranku yang beliau pegang, keningnya
mengerut, seperti sedang berpikir tentang angka-angka yang ku tuliskan. Aku
menunduk.
“Jawaban ini unik, dia membuat soal
yang mudah sekali. Seperti soal anak SMA.” Kata beliau sambil terkekeh. Sontak
semua teman-temanku ikut tertawa, begitupun aku. Aku menunduk sambil tersenyum
geli mendengar pernyataan itu.
“Tapi dia benar, saya kan hanya
menyuruh untuk membuat sebuah pertanyaan dan jawaban. Dan dia dengan mudahnya
menyelesaikan soal ini”. Aku semakin tertawa mendengar perkataan beliau. Dalam
hati aku sangat memuji-Nya, ya Allah terima kasih atas keajaiban ini. Sungguh
Tuhan itu memang memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita
inginkan.
Sejak peristiwa itu, hati ini selalu
yakin bahwa setelah kesulitan akan datang sebuah kemudahan bagi orang yang
bersungguh-sungguh. Kini aku mengerti, mengapa manusia diperintahkan untuk
tidak berputus asa seperti dalam firman-Nya:
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ
رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Ibrahim berkata :’Tidak ada orang
yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat.’”(Q.S. Al Hijr: 56)
وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ
اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,
sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.”(Q.S.
Yusuf : 87)
Sungguh
cara Allah dalam memberikan hikmah kepada hamba-Nya sangatlah indah. Dibalik
semua peristiwa memang menyimpan pelajaran yang berharga bagi kehidupan kita
jika kita mau berfikir dan merenung atas segala karunia-Nya. Dia tidak tuli dan
tidak pula buta, percayalah Dia akan selalu ada disamping kita dalam keadaan
apapun. Maka janganlah berputus asa untuk sebuah hal, meski itu hanyalah sebuah
hal yang kecil. Teruslah berharap dan berdoa, karna harapanlah yang terus
membuat kita hidup dan bermimpi. Bukankah jika kita berputus asa, maka
sia-sialah sudah semua perjuangan dan usaha kita?
Pondok Pesantren Darun Nun
Perumahan Bukit Cemara Tidar f3 no.4 Malang
0 komentar:
Posting Komentar