Oleh Rofikatul Isalmiyah
Dewandaru, 4 April 2016
Sudah ku katakan bukan? Aku hanyalah senja
yang terkadang tak terlihat. Tertutup oleh gupalan awan suram yang sengaja
terbang tepat di depanku. Ya seperti saat ini, senja yang di dominasi oleh
gelap. Bukan karenya tak meronakan cahayanya. Namun, awan itu telah menutupinya.
Menghilangkannya dari sekian derajad, sudut semesta. Mungkin di tempat yang
berbeda dia terlihat begitu anggun. Mega merahnya membalut semesta, membuatnya
menjadi pujaan di fase itu. Tapi tak apalah. Bagiku senja selalu yang istimewa.
Sore ini, di kota yang mempertemukan
kita. Senja seperti begitu tahu apa yang terjadi di hati ini. Kita seperti dua
hal yang saling berikatan. Saat hati begitu mendung. Senja juga enggan
menghibur. Sungguh saat ini aku hanya ingin kau yang nyata berada di sampingku.
Bukan ku butuh pundak tuk rebahan. Bukan ku butuh tangan tuk hapus buliran air
yang tak sengaja tumpah. Bukan juga ku butuh telinga tuk mendengar segala keluh.
Ku hanya ingin kau berada di dekat ku. Cukup diam. Sebab itu saja sudah
memberikan kenyamanan.
Saat ku merasa merindukan apapun dan
itu tak bisa ku temui, hati selalu ingin hal yang sama. Hanya ingin kau. Lagi
dan lagi hanya ingin kau ada di sebelahku. Apakah aku terlalu egois??
Ku rasa tidak. Sebab keinginan itu juga
hanya jadi keinginan yang tak pernah terwujud. Tentang kamu yang di sampingku
mungkin hanya akan menjadi bumbu yang melengkapi rindu ini. Mengoyak hati.
Membuatku hanya terdiam sendiri. Oh tidak, masih ada secangkir kopi hitam yang
setia menemani dan sangat rela untuk ku nikmati.
Kamu memang paling bisa menjadi ujung
dari segala yang ku rasa. Tapi maaf, faktanya di sini tentang aku bukan kamu.
Aku yang begitu merindu akan banyak hal di ruang dan waktu yang telah lampau.
Yang katanya itu kenangan, tapi
bagiku itu sejarah. Karena sudah
menekan terlalu kuat rindu itu, membuat luas hati ini menyempit dan kembali ku
ingin kamu yang membersamai.
Tak perlu kau bertanya kenapa?
Aku juga sudah lama memikirkannya,
kenapa perasaan lelah ujungnya akan kamu. Entah aku juga tak faham kenapa
setiap ini terjadi, ujungnya kamu, kamu yang begitu mustahil. Benarkan, ini
tentang hatiku. Bukan kamu? Ya ini tentang hatiku yang merasa nyaman dengan
orang yang tak begitu lama ku kenal. Dan sekarangpun aku tak tahu kau dimana. Tapi...
Anehnya selalu ada bisikan halus yang meyakinkan hati, "tak mengapa, cukup kau menunggunya".
Jangan lagi bertanya dari mana bisikan itu. Sebab aku juga sudah ribuan kali
bertanya. Dan hasilnya sama. Aku tak tahu jawabannya. Mungkin takkan pernah tahu.
Jika itu disara aneh, maka bagiku ada
yang lebih aneh. Saat ku benar-benar menunggumu. Meski ku tahu kau tak pernah
memberikan janji ataupun tak pernah memintaku menunggu.
Ah, sudahlah. Senja kali ini
sesungguhnya hanya berawal dari aku ingin pulang. Ku rindu fajar di tengah
sawah. Memelukku kuat-kuat tanpa ada penghalang. Menelusup dalam setiap
pori-pori. Menyinari pasak bumi yang begitu tinggi. Terlihat biru dari ribuan
kilometer. Lereng-lerengnya tampak jelas dengan bayang-bayang pepohonan.
Mengkombinasikan degradasi warna. Hijau biru. Kuningnya padi. Putihnya awan.
Sapaan orang-orang yang sibuk dengan keberangkatannya menuju aktivitas
masing-masing. Ya itu yang sejatinya ku rindu. Dan itu juga yang sejatinya
tidak bisa ku temui saat ini. Akhirnya hati yang terlalu sesak oleh tekanan
rindu itu membuatku ingin dirimu mendampingi. Untuk memberikan gaya, yang bisa
menghilangkan atau setidaknya mengurangi tingkat kekuatan tekanan itu. Sehingga
luasnya hati bisa sedikit terbuka.
0 komentar:
Posting Komentar