
Jedhor
Oleh: zahra
Seni
itu tidak pernah terikat dengan ruang. Tidak juga terpasung dengan logika dan
pemikiran. Tak terpengaruh dengan dinamika politik dan permainan media, Oh iya
dalam seni juga tak pernah mengenal kata
laba apalagi presentase keuntungan. Karena seni, hanya soal rasa.
*****
Tulungagung, 10
Agustus 2015
Mungkin sudah sekitar dua jam tubuh
ringkihnya berdiri di pinggir gerbang tua tak jauh dari naungan pohon Akasia
yang menciptakan keteduhan. Hari itu pasar terlihat penuh sesak oleh para
penjaja yang menjajakan dagangannya. Tak ketinggalan para calon-calon pembeli
yang sedang sibuk memilih dan memilah barang-barang kebutuhan yang sesuai
dengan kocek mereka. Maklumlah tahun ini harga barang-barang sembako sedang tak
bersahabat.Tenggorokannya juga sudah mulai mengering. Nampakya secangkir teh
panas yang disajikan istrinya pagi tadi telah habis tak bersisa menguap terbawa
matahari yang mulai tak kuat menahan panasnya sendiri. Kaki hitamnya juga tak
sekuat dulu, padahal...dulu..dulu sekali..dua puluh tahun lalu, kaki hitam itu
pernah membawanya menjadi juara dalam sebuah pertandingan maraton.Yaah..
walaupun hanya pertandingan tujuh belasan tingkat RT, setidaknya dia dan
istrinya tak perlu bingung memikirkan anggaran sembako untuk beberapa hari
kedepan. Kaki keringnya itulah yang memaksa
dirinya untuk hanya sekedar bersandar atau sesekali duduk, tapi rasa tanggung
jawab kepada perut istri tercintanya seketika membuatnya kembali kuat.
Peluhpun mulai menetes melewati
lipatan-lipatan keriput di pipi tuanya. Seakan sungai kecil yang menceritakan
tentang sejarah panjang kehidupan yang telah berhasil menciptakan gurat-gurat
penuh makna dan perjuangan. Sekaligus menjadi pertanda berapa lama ia telah
berusaha mencari seseorang yang bersedia menaiki sedan roda tiganya yang dia
biarkan terpanggang matahari di sudut sana.
Matanya yang sudah mulai kabur ia paksa untuk
terus siaga, jika tiba-tiba ada wajah putus asa yang sudah tak sabar menunggu
angkutan kota atau malas menanggapi tukang-tukang ojek nakal yang suka menggoda
para calon penumpangnya. Tapi nampaknya hari ini rupiah sedang tak berjodoh
dengan kantongnya,yang ia dapati di kantong nya hanya lima ribuan lusuh upahnya
mengantar mbok Suginem pagi tadi. Lima ribu yang ia dapatkan dengan tenaga dan keringat
berbumbukan omelan mbok Suginem karena laju becak yang semakin melambat di
setiap tikungannya. Untungnya Ia memang tak pernah ambil pusing masalah tarif,
yang penting halal katanya.
*****
Matahari
sudah mulai reda dari panasnya ketika ia memutuskan untuk meninggalkan hiruk
dan pikuk pasar siang itu, saat tiba-tiba seseorang bertangan besar menepuk
pundak kecilnya dengan kasar,
“
Mbah karcis !” kata laki-laki gempal itu setengah menggertak.
“Mbah
mboten sadeyan nak, cuma mbecak”Jawabnya sambil tersenyum.
“Lho..lho..wah
sudah berani njawab yo.. sampeyan tadi mangkal di area pasar kan? Dapet
penumpang juga dari pasar kan? Ya harus bayar karcis to..! ini negara hukum
Mbah!!” Kata laki-laki itu sambil mendelik.
Walaupun ia hanya tamatan MI dan kurang
mengerti apa itu hukum, tapi nuraninya berkata bahwa hukum yang sebenarnya
pasti tidak sekejam ini. Yang menjadikannya terlihat beringas adalah
manusia-manusia penuh nafsu dan ambisi yang merusak kewibawaan hukum di mata
masyarakat awam dengan melakukan
kejahatan,kekejaman dan keculasan dengan
beratasnamakan hukum. Tapi akhirnya ia memilih untuk mengalah.Upah
seharian bekerjapun dengan mulus berpindah tangan. Rasanya memilikinya hanya
seperti mimpi, hilang dan pergi. Ia hanya bisa tersenyum... Gusti Allah punya
rencana..fikirnya.
*****
Sapu itu telah bersandar dengan
nyaman di sudut rumah mungil nan rapi itu. Segera ia pasrahkan dirinya pada
kursi tua peninggalan mertua yang masih tertata apik di sisi kiri ruangan. Dan
kini mata tua Parmi menerawang jauh kepada seperangkat Jedhor di depannya yang
menghuni hampir seperempat ruangan 4 x4 itu.Ya.. seni musik tetabuhan jedhor
yang merupakan kegemaran suaminya, Sukamto. Sekaligus peninggalan turun temurun
dari bapak mertuanya . Sebenarnya meskipun telah lebih dari setengah abad
menikah, ia masih belum faham kenapa alat-alat itu bisa membuat suaminya begitu
tergila-gila. Padahal kalau di fikir-fikir selama ini alat-alat itu hampir
tidak pernah memberikan pertolongan yang berarti bagi kehidupan ekonominya
bahkan suaminya. Seringkali malah suaminya Sukamto yang harus keluar ragad
untuk memperbaiki alat-alat tabuhan itu. Sudah sering ia bicara pada suaminya
perihal hobi lamanya yang Parmi anggap membawa kemudharatan itu, tapi setiap
kali jawabannya selalu sama,“Kalau bukan kita yang melestarikan budaya ini
terus siapa Dek..”. Kalau sudah begitu Parmi lebih memilih untuk diam. Ia tak
mau sampai adu mulut apalagi berdebat dengan suaminya masalah jedhor. Emm...
suami tercintanya.. karena ia tak memiliki siapa-siapa lagi untuk mendengarkan
keluh dan kesahnya, menyeka air matanya, atau hanya untuk sekedar meminjamkan
bahunya... tanpa Sukamto.. ia bukanlah apa-apa.
*****
“Mas...! Kamtoo...!!”
Ia
mendengar suara yang sudah sangat di kenalnya ketika ia baru saja menaiki becak
kesayangannya. Ia menoleh.
“ Weehh....
San...” ucapnya sambil turun dari becak. Kata bapaknya dulu, berbicara dengan
orang dari atas kendaraan itu bukan merupakan bagian dari adab. Ndak ilok katanya. Mereka berjabat.
“Mas
nanti malam jadi kan latihannya?”Tanya Kasan sambil meletakkan topeng-topeng
wayang dagangannya. Sesekali ia membetulkan peci hitam khas nusantara yang tak
pernah absen menghiasi kepalanya.
“Wah..
yo jelas jadi to San.. tak tunggu lho!”
“Siip
Mas... konco-konco siap to..”
“Wwah..
ya jelas siap to.. paling yang ndak isa hadir cuma Mas Setu, ada hajatan di
rumah teman katanya..”
“Wahh...
terus yang megang Tipung wadonnya siapa Mas?”
“
Halah.. gampang.. itu si Patoni kan bisa..”
“
Woo iya Mas siip.. Tapi Mas saya ini sempat mikir kita ini kok latihan terus..
kapan tampilnya ya..hehehehe..” ungkap Kasan sambil mlengeh. Menunjukkan
seperangkat gigi depannya yang tak lagi utuh termakan usia.
“Maksud
sampeyan ini opo?”
“Yaaahh....
siapa tau komunitas kita bisa terkenal kayak grup kethoprak Siswo Budoyo itu,
atau grub Tayub Semar Mendem, yang sekali manggung bisa sampe lima juta satu
malam Mass... waahh kan ya lumayan.. bisa tambah disayang istri to
mas..untung-untung bisa cari istri lagi...hahhahahah....” sejenak Kasan
melupakan usianya yang sudah hampir kepala tujuh, menafikan anak-anaknya yang
sudah pada menikah, sekaligus dua belas cucu-cucunya yang kebanyakan sudah
mencapai usia sekolah.
Air
muka Kamto seketika berubah serius. Tanpa sadar Ia menjawab,“ San.. kita kudu
ingat komitmen awal kita... jangan sampai semangat berkesenian kita ini
tercampur dengan unsur-unsur materi seperti itu.. karena bisa jadi unsur itu
merusak rasa dari keindahan seni itu sendiri, bahka bisa jadi karna rebutan
duwit ,guyub lan rukune kito sak suwene iki bubrah...” Entah dari mana ia dapat
melancarkan kata-kata yang tak biasa ia ucapkan itu, mboh...semua keluar begitu
saja dari lisannya yang pasti selaras dan senada dengan apa yang ada di fikirannya.
“Eeeee...
suuuannttaii Mas Kamto... injih..injih... leres.. ampuunn..” Kata Kasan sambil
menyatukan kedua telapak tangannya dan bergaya bak biksu-biksu shoulin yang
sedang berdoa di kuil. Bedanya kalau biksu shoulin sengaja di gundul, sedangkan
kalau Si Kasan ini gundul karena faktor usia. Jadi hasilnya cuma bagian depan
dan tengahnya saja yang kinclong.
Mendadak Kamto tak mau banyak
bicara, jadi Ia hanya menanggapi Kasan dengan senyuman.Senyum kecut yang
membuat Kasan tak krasan .
“Emmm....ya sudah Mas saya pergi
dulu..mau lanjut keliling... ba’da Isya ya Mas...” Pamit Kasan sambil beranjak
meninggalkan Kamto.
“Iyo.. ati-ati San...”Jawabnya
sambil menjabat tangan Kasan.
Kamto masih berdiri sambil
memperhatikan punggung Kasan sampai sosok itu benar-benar hilang. Tertelan
kerumunan orang yang saling terjang bahkan kalau perlu saling sikut untuk hanya
sekedar mencari jalan tercepat guna sampai ke tempat yang mereka inginkan.
Entah apa yang dipikirkan Kamto saat itu. Yang Ia tau perutnya sudah mulai
perih. Satu-satunya tujuan Kamto saat itu adalah rumahnya, meja makan
khususnya. Ia yakin nasi panas yang baru di angkat dari dandang ,tempe goreng
dan sambel terasi kesayangannya pasti sudah menunggunya. Dan...O iya si cantik
Parmi yang pasti juga sudah menunggunya di depan pondok mereka..Ahh.. maafkan
Mas Dek Parmi... Mas belum bisa membawa uang siang ini...maaf...
******
Malam itu usai menunaikan sholat
Isya berjamaah di musholla Pak Kaji Luthfi,Kamto segera bergegas untuk pulang.
Ia sudah tak sabar ingin segera memainkan alat musik kesayangannya itu bersama para
personil komunitas pecinta Jedhor,Pager Budoyo. Setelah berganti pakaian ia
duduk di kursi teras.Tangan kanannya memegang tipung lanang sambil sesekali
memainkannya. Seni Jedhor ini memiliki makna yang dalam menurut Kamto. Dulu,ayahnya,
Sukidi sesepuh Jedhor di Tulungagung pernah bercerita tentang filosofi dari
kesenian Jedhor yang terdiri dari enam alat inti ini yakni ,Tipung Lanang yang
merupakan simbol dari kaum laki-laki. Tipung wadon yang merupakan simbol dari
kaum perempuan. Kempyang, yang bersifat menyatukan antara bunyi dari Tipung
lanang dan Tipung wadon, hakikatnya kempyang bisa di artikan sebagai sebuah
ikatan pernikahan yang menyatukan antara laki-laki dan perempuan. Berikutnya terbang,
yang memiliki bunyi lebih berat dari tiga alat musik sebelumnya,tebang di
ibaratkan meupakan gambaran dari berbagai kesulitan dan cobaan yang akan di
hadapi oleh pasangan yang telah hidup bersama. Kemudian gendhang yang memiliki suara
yang bervariasi, suara gendhang ini yang menentukan kemana arah dari musik
Jedhor ini. Seperti beragamnya cara setiap pasangan ketika menyelesaikan sebuah
masalah. Terakhir Jedhor, yang memiliki suara menggelegar seperti gong,
memiliki makna bahwa sekuat apapun manusia berusaha keputusan selalu ada di
tangan Allah.
“Assalamu’alikum Mas Kamto..!!”
Suara Karjiman membuyarkan lamunannya. Ia lihat di belakang Karjiman, Sugeng,
Patoni, dan Kasan berjalan dengan penuh semangat.
“Wa’alaikumussalam..” Ujar Kamto sambil
berdiri menyambut mereka. Mereka berjabat.
“Ayo Mas segera di mulai saja biar
ndak malam-malam biasa balung tua Mas ndak tawar kena angin malam” kata
Karjiman buruh pengrajin genteng memulai percakapan malam itu.
“ Wah... lha si Salim jedhor mana
ini kok malah telat?” Tanya Kamto ketika menyadari sosok tambun penabuh jedhor
itu tak ada. Biasanya buruh sapu pasar itu yang paling bisa menyemarakkan
suasana dengan guyonan dan kelakar-kelakarnya.
“Ia mas, tadi saya sudah ke rumahnya
tapi kata istrinya dia sudah keluar, saya kira dia duluan kesini ee... lha kok
ternyata malah belum datang.” Ujar Sugeng, tukang sol sepatu yang biasa mangkal
di kawasan pasar Boyolangu.
“Apa di tunggu dulu Mas?” Kata
Patoni juragan Cenil yang merupakan donatur terbesar bagi komunitas Pager
Budoyo ini.
“Ndak usah lah jedhor kan ndak
sering-sering di tabuh...kita mulai saja...” Kata Kamto sang pemegang Tipung
lanang sekaligus penembang memberikan keputusan.
Tipung mulai di tabuh menyibak
sunyinya malam. Mengalun sendu mengiringi syair-syair tentang hakikat hamba dan
Ketuhanan. Tabuhannya bukan tabuhan yang bisa membuat kita berdendang, menari-nari,
bergoyang, atau sekedar menjetikkan jari, akan tetapi irama dari seni
jedhor ini justru akan memaksa kita
untuk menunduk, melihat kedalam diri,dan menyadari atas posisi kehambaan serta
keagungan Sang Pencipta. Kesenian ini akan mampu mambawa pendengarnya kembali
kepada kampung halaman mereka yang telah lama mereka lupakan dan mereka
sisihkan yakni, kampung akhirat.
“Mumpung
urip sucenono badan sira, mbesuk mati,sapa sira kang nyuceni. Poro wali wong
mukmin sedoyo-doyo....”
*****
Waktu hampir tengah malam ketika para
jedhoris ini selesai. Bertemankan teh panas dan kaspe goreng yang baru
di angkat dari penggorengan mereka melepas kepenatan dan kelelahan usai bekerja
seharian ini dengan obrolan seputar topik-topik ringan seperti
pekerjaan,politik,kenaikan harga bahkan skandal artis dan pejabat,yang tentu
saja mereka bawakan sesuai dengan kapasitas berfikir mereka sebagai orang-orang
biasa yang bisa di bilang tidak di perhitungkan. Kecuali kalau ada kepentingan-kepentingan
terselubung seperti kampanye pilpres, pilgub, pilkada dan pil-pil lain yang mengusung
tema “Kemerdekaan rakyat kecil”, ”Kesejahteraan wong cilik” dan sejenisnya, barulah
kaum-kaum seperti mereka ini mendapat sedikit perhatian lebih.. yah paling
tidak dapat kaoslah meskipun kadang bahan kaosnya kasar dan warnanya segera
pudar.
“Assalamu’alaikum Mas Kamto..!” Teriak Salim memecah keakraban malam itu.
“Wa’alikumsalam..lhadalah
dari mana Lim? Konco-konco sudah mau pamit ini!” Kata Karjiman ketika melihat
Salim memasuki teras rumah Kamto dengan langkah tergesa.
“Sepurane
Mas, tadi saya sudah mau kesini..eee tapi pas saya lewat depan kelurahan saya
di cegat Pak Lurah...! Ada berita
gembira Mas...”
“Berita gembira opo to?? Sing
jelas!” Kata Kamto mulai jengkel
“Grup kita akhirnya di tanggap Mas!
Untuk acara tujuh belasan minggu depan!”Kata Salim dengan mata berbinar.
“Wah mantab itu Lim berapa juta
semalem??” Tanya Kasan topeng antusias.
“Wah kalo itu...” Salim hampir
menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba Kamto memotong.
“Sudah...!Apa San gunanya bertanya
tentang sesuatu yang tabu untuk di pertanyakan? Kalau memang kita jadi di
tanggap, niat utama kita hanya untuk melestarikan budaya mbah-mbah
kita....sudah..! jangan sampai bercampur dengan urusan-urusan materi! Bukannya
sok ndak perlu duwit, tapi saya Cuma ndak mau guyub rukunnya kita bubrah cuma
gara-gara duwit... prinsip kita hanya melestarikan budaya! Urusan di kasih upah
atau tidak itu urusan belakang.. jangan sampai jadi prioritas..!” Kamto
terhenyak, Ia juga tak faham apa yang sedang ia katakan. Yang Ia tau sekarang
hatinya yang panas karna pertanyaan Kasan tadi sudah mulai mendingin.
“Mas..! Maaf ya tolong jangan
munafik! Kita ini masih hidup di dunia Mas belum di surga! Apa salahnya saya
bertanya? Toh kalau misalnya dapat duwit kan lumayan bisa untuk beli alat
jedhor baru? Ndak perlu pake jedor yang sudag kendor kabeh itu! ini juga untuk
kepentingan dan kesejahteraan komunitas Mas! Coba..kalau misalnya saman dapat
uang, apa Mbak Parmi ndak seneng...!!” Jawab Kasan tak kalah tinggi.
Mata Kamto memerah. Kalau Sugeng tak
menenangkan entah apa jadinya,” Sudah Mas tenang... ini pertamakali kita di
tanggap sejak komunitas ini berdiri. Tolong jangan sampai ada perpecahan di
antara kita...ayo Mas..ndak apik... Kanjeng Nabi dhawuh kita kudu nduwe sikap
toleransi dan pemaaf... semua orang itu punya pendapat masing-masing mas..”.
Hhh... Duwit oohh duwit.. betapa
hebat dirimu duwit... padahal belum ada wujudnya, baru dibayangkan saja bisa
membuat dua sahabat karib adu mulut bahkan hampir adu jotos. Kamto merasa
mamang.. Ia tak yain apa yang diberitakan Salim itu benar atau Salim hanya
salah dengar. Pasalnya selama lima belas tahun kelompok ini berdiri baik Pak
RT, Pak Lurah,apa lagi Pak Camat tidak pernah memberikan apresiasi apapun pada
pelestari kesenian asli Tulungagung ini. Jangankan memberi apresiasi, untuk
sekedar bertandang pun tak pernah. Bahkan Kamto ragu mereka tau tentang adanya
komunitas jedhor Pager Budoyo.
“Hhh..”. Kamto mengatur ritme
nafasnya,”Ya sudah begini saja, besok saya akan pergi menemui Pak Lurah dan
memperjelas masalah ini” Ujar Kamto akhirnya.
“Leres Mas begitu lebih bijak..”
Kata Patoni cenil sambil menepuk bahu Kamto.
“Ya sudah Mas kalau begitu kami
tunggu kabarnya besok pagi, sekarang kami mohon pamit Mas..sampun dalu..” Kata
Karjiman mengakhiri pertemuan mereka malam ini. Mereka saling berjabat begitu
pula Kasan dan Kamto. Sebenarnya Kamto masing jengkel dengan kata-kata Kasan,
tapi semua rasa itu ditepisnya ketika ia melihat rambutnya yang tak lagi hitam
dan kulitnya yang tak lagi kencang ,Ia sudah tua...
*****.
“Ndak
salah Mas Kamto, saya memang mau nanggap grup jedhor Pager Budoyo untuk
memeriahkan acara Agustusan plus kampanye gubernur yang akan di adakan di rumah
saya Mas.. Karena Mas Kamto, kalau nanti saya jadi gubernur, saya akan
mengangkat derajat orang-orang yang melestarikan budaya leluhur.. yaaah ..
seperti Mas Kamto dan kawan-kawan ini... soal bayaran semua beres Mas..Bahkan saya
minta sama Mas Kamto dan kawan-kawan Pager Budoyo khusus hari itu ndak usah
bekerja dulu seperti biasa, konsen saja pada pagelaran ini, yaah.. latihan gitu
lho Mas maksudnya, karna nanti yang hadir itu bukan orang-orang biasa tapi
orang-orang besar...Saya yang menanggung
semuanya Mas tenaaanng..” Cerocos Pak Lurah tak memberikan celah kepada Kamto
untuk menyela. Jadi Ia cuma bisa mantuk-mantuk saja. Mengiyakan.
“Sudah
lah Mas Kamto ndak usah di ambil pusing pokoknya tanggal tujuh belas Agustus
pas..ba’da Ashar..saman dan teman-teman sudah stand by di rumah saya... soal
alat jedhor, konsumsi, pesangon dan lain-lain serahkan pada saya Mas...
pokoknya Mas Kamto cuma bondho awak thok..! Lah lak enak to..?” Kata Pak Lurah sambil mengantar Kamto keluar.
Kamto seperti terhipnotis. Ia hanya bisa diam dan mengamini ucapan Pak Lurah.
Dalam hati Ia menyimpan secercah harapan bahwa grup jedhor Pager Budoyo akan di
kenal oleh masyarakat luas. Ia mulai berharap banyak dengan penampilan
perdananya ini.Kalau ia bisa membuktikan kualitas permainannya,mungkin akan
banyak orang yang mempelajari kesenian ini. Sehingga apabila kelak ia mati
musik jedhor tak ikut terkubur bersamanya. Dan... untuk Parmi .. kalau Ia sudah
terkenal nanti Ia berharap akan melihat sesuatu yang lain di meja makan selain
tempe dan sambal terasi. Dan yang paling penting dari semua itu,senyum bahagia
dari wanita ayu yang selalu sabar menemaninya itu. Ia tak boleh munafik.
*****
“Mas,Pak
Lurah baik sekali ya.. saya ndak menyangka Pak Lurah akan demikian peduli
dengan seni-seni tradisional macam jedhor ini..” Kata Parmi sambil merapikan
jarik motif kawung yang di kenakan suaminya.
“Ya
semoga semua lancar dik...Mas berharap besar pada acara ini. Mas pengen
kesenian ini dapat di terima oleh masyarakat dan mendapat tanggapan yang
positif. Jadi Mas ndak perlu bingung memikirkan siapa yang akan melestarikan
budaya ini setelah Mas ndak ada..” ujar Kamto sambil mematut dirinya di hadapan
cermin. Ahh.. rupanya dia tidak terlalu terlihat tua. Apalagi setelah kumis dan
rambutnya kembali berwarna hitam berkat semir rambut dari warung Mbok Welas.
Kamto merasa kembali muda.
“Semoga
semuanya lancar Mas.. Maaf Parmi ndak bisa ikut mengantar. Sepertinya saya agak
ndak enak badan..” ungkap Parmi.
“Iyo..
istirahat saja di rumah, kuncinya Mas bawa ya..Mungkin nanti pulang agak malam.
Mas berangkat dulu” Jawab Kamto sambil memberikan tangannya kepada Parmi yang
segera menggenggam tangan Kamto seraya menciumnya dengan penuh hormat.
“Ia
Mas hati-hati”
Luapan
semangat mulai memenuhi dada. Bertemankan kesunyian dan desir angin ia
melangkah. Langkah penuh harapan dan asa. Mata tuanya berbinar, kaki hitamnya
mendadak kuat. Jangkrik-jangkrik dan pokok padi yang menguning menatap kepergiannya
dengan keraguan, tapi ia tak peduli, ia terus melangkah mengikuti kata
hati,mengikuti apa yang ia yakini. Meski ia tak tau pasti apa yang akan
terjadi.
“...Kalo-kalo
sikalono,kalo-kalo yola sikalono. Sikalono nuli den jawab. Nuli den jawab den
jawab sopo Pengeran.Nuli den jawab den jawab Allah Pengeran. Kala –kala yola
sikalono,kalo-kalo yola sikalono. Sikalono nuli den jawab. Nuli den jawab sapa
nabimu. Nuli den jawab den jawab Nabi Muhammad....”
Alunan musik jedhor tak mengizinkan malam
untuk menebarkan kesunyiannya, tak membiarkan angin menghembuskan desiran
lelap. Syair yang mengalun dari bibir yang bergetar, kesyahduannya diamini
dengan tetea-tetes sunyi yang tak kuasa terbendung setiap kali syair itu
bercerita tentang kecintaan kepada Tuhan atau tentang kematian. Mereka seakan
tak peduli dengan kepekatan malam yang kian mendominasi.Emosi dalam nada,
ketukan dan syair yang indah berpadu dalam sebuah pagelaran seni persembahan
dari pahlawan-pahlawan sejati negeri ini. Yang mengabdikan hidup mereka untuk
menjaga apa yang ada. Bukan mencari apa yang tak ada.
******
Pagelaran telah usai,
para tamu sudah banyak yang pulang. Sejatinya mereka juga ingin pulang tapi,
nampaknya ada sosok yang mereka tunggu. Tak lama sosok itu mendekat menghampiri
mereka,” Wah muantab Mas Kamto..hebat.. tamu-tamu saya banyak yang suka Mas...”
Sambut Pak Lurah ketika Kamto,Kasan,Patoni, Sugeng, Karjiman dan Salim menuruni
panggung.
“Alhamdulillah kalau
memang begitu Pak.. saya ikut senang.” Jawab Kamto sumringah.
“Tapi kalau boleh, saya
mau kasih usul ini Mas Kamto sebenarnya saya ini cuma penyampai dari pendapat
teman-teman saya di dalam tadi lho.. Begini, kalau bisa, mungkin lebih bagus
kalau musik jedhornya itu di mix dengan musik dangdut Mas.. ya yang ada biduannya
sekalian mas biar ndak bosen gitu lho maksud saya.. kan wanita cantik itu obat
stres to..hahhahahhahha....”Ungkap Pak Lurah enteng tanpa memperhatikan wajah
lawan bicaranya yang memerah.
“Sabar Kang... sabar...”
Bisik Sugeng menenangkan.Sekedar antisipasi untuk sesuatu yang tidak
diinginkan.
“ Oo... iya Mas ini
janji saya semoga bermanfaat untuk keluarga di rumah..Dan terimakasih
kehadirannya malam ini Mas Kamto, dan teman-teman komunitas Pager
Budoyo..semoga sukses selalu hahahah..” Lanjut Pak Lurah sambil membagikan
amplop berwarna putih.
“Emm... Iya Pak Lurah matur
nuwun.. kalau begitu kami pamit Pak lurah..” Karjiman segera berpamitan, Ia tak
ingin melihat Kamto sampai kehilangan kesabaran.
Segera Ia pasrah kan
dirinya pada kursi tua di sisi kiri ruangan 4x4 itu. Kamto mengatur nafasnya
yang naik turun. Berulangkali ia mengucap istighfar untuk meredam kekecewaannya
yang tak terbantahkan. Beginikah cara orang menghargai sebuah karya asli
leluhur? Jujur, Kamto tidak terima seni tradisional warisan nenek moyangnya di
samakan dengan musik dangdut yang menurut persepsinya jauh dari norma dan
etika.
Parmi sudah tidur ketika
ia pulang... dan sejenak ingatannya
kembali pada amplop dari Pak Lurah tadi. Sebenarnya Kamto malas mengingat
tentang Pagelaran, Pak Lurah, atau yang berhubungan dengan itu semua. Termasuk
amplop itu. Entah kekuatan apa yang memaksanya membuka amplop putih itu.
Darahnya kembali meninggi ketika melihat selembar uang merah dan sebuah kertas
yang bertuliskan tulisan kapital berwarna hitam,
“INGIN BUDAYA TETAP LESTARI? INGIN RAKYAT CILIK MAKMUR DAN DAMAI?
JANGAN RAGU JANGAN BIMBANG! PILIH KAMI NO 2! “
Disertai foto Pak Lurah
dan entah siapa Kamto tak kenal,dan tak mau kenal. Kamto muak. Bermacam-macam
yang ada di fikirannya. Bermacam-macam yang ingin di ungkapkannya.
Kekecewaannya tak terbendung. Nasib budaya semakin tidak jelas.Betapa anehnya
bangsa ini. Ketika seni dan budaya tradisional masih ada di depan mata mereka
seakan tak peduli, tapi ketika seni dan budaya di klaim oleh bangsa lain mereka
marah dan baru berkoar-koar tentang pelestarian budaya. Kamto mulai lelah..
mata tuanya sudah tak sanggup lagi, akhirnya ia memilih untuk menyerah pada
keajaiban malam yang menyenyakkan.
*****
Teh panas, nasi yang
mengepul, tempe dan sambel terasi terlihat lebih indah bagi Kamto hari ini.
Dengan semangat ia giring becak kesayangannya, bersiap berangkat setelah
sebelumnya berpamitan kepada istri
tercintanya. Kamto hampir meninggalkan pekarangan rumahnya ketika Ia mendengar
suara yang akrab di telinganya,”Mas Kamto..! ba’da Isya’..!!” Teriak Kasan
dengan topeng dagangan dan kopyah hitam nusantaranya. Kamto mengacungkan jempol
tanda sepakat. Tak perlu dikenal untuk menjadi pecinta seni dan budaya, tak
perlu berduit untuk menjadi pelestari seni dan budaya, tak butuh orang besar
untuk melanjutkan estafet seni dan budaya. Sederhana, hanya membutuhkan
keberanian dan komitmen untuk terus berkarya....
SALAM BUDAYA
0 komentar:
Posting Komentar