Oleh Rofikatul Islamiyah
Entah
berapa waktu (yang pasti sudah lupa kapan terakhir pertemuan itu) ku tinggalkan
semua kenangan itu, perlahan hidup ku berjalan normal. Durasi setiap kegiatan
teratur sesuai dengan apa yang di pleningkan. Aktivitas berjalan dalam skema
yang tersusun rapi sesuai dengan keseharian. Tak jarang ku merasa bosan namun
rasa itu juga hilang begitu saja. Ku berjalan dalam koridor yang terstruktur.
Hari-hari tak bervariasi. Berjalan datar, tak ku dapatkan gelap juga terang.
Entah hati ini mungkin sudah mati. Atau masih tertidur. Amplitudo kehidupan serasa
datar, seperti orang koma yang terdapat dalam monitor rumah sakit. Mungkin
lebih seperti seorang putri tidur di menara di balik goa yang menunggu sang
pangeran untuk membawanya terbang. Namun dengan begini aku tak pernah merasa
sedih ataupun kecewa seperti pegalaman-pengalaman masa lalu yang terulang-ulang
dengan sebab pangeran dalam fajar (yah, ku sebut dia_pangeran fajar). Hingga
semua yang ku jalani terlampaui dengan seharusnya. Maka, ini bukanlah keburukan
kan? Meski tak lagi ada rasa senang, cinta, sedih atau benci. Ada yang
mengatakan “mungkin kau telah menjadi robot.
Tak berperasaan”. Itu salah, saya memang tak merasakan apa-apa. Tapi
perasaan itu masih ada, selain itu robot tak berakal dan saya masih menggunakan
akal untuk segala hal yang ku rangkai dalam pulze kehidupan ini.
Terbukti
skema itu hancur berantakan ketika kita jumpa tanpa terencana. Jauh sebelum kau
melihat dan menyapaku ku tahu ada kamu di sana. Ku tata hati sekut baja, ku
berusaha tenang dan memberanikan untuk menyapa sebab kau adalah petandang ku.
Namun, tak dapat ku pungkiri atau kau juga menyadari bahwa perangai ku sedikit
berlebihan atau lebih tepatnya salting.
Kita hanya saling sapa, basa-basi sedikit selebihnya diam, oh tidak selebihnya
ku memalingkan diri darimu, bersua dengan yang lain. Ku takut tingkah ini
semakin berantakan. Dan kau tak nyaman dengan hal itu. Meski sangat ingin ku
ucap meski sekali dengan suara lemah dan dekat di telingamu "aku sangat merindukanmu" ya hanya
itu atau “aku rindu kebersamaan kita”.
Walakin, ku tak mampu! ya jelas, meski dalam hal lain aku adalah sosok pemberani
namun untuk perasaan tentang mu nyaliku menjadi ciut seciut ciutnya. Ku tak ingin kau risih
dan menjauh. Meski realitanya kita memang jauh. Dengan jauhmu itu ku berhasil
membangun skema hidup tanpa rasa, yang hari itu telah hancur berkeping-keping.
Nah benarkan? saya bukan robot tapi manusia yang tenggelam dalam samudra
kenangan. Hingga indahnya permukaan tak lagi ku rasa, semua yang di permukaan
bagai fatamorgana pengisi kekosongan. Apalagi yang di daratan, cinta, kasih dan
cerita seakan lewat tanpa sapa.
Pondasi
kestrukturalan aktivitas itu ternyata tak begitu kuat di bandingkan tsunami
perasaan yang terjadi hanya beberapa menit. Kini skema itu luluh lantah, hampir
setiap keheningan kau tiba-tiba menjelma dalam fikiran. Memudarkan konsentrasi.
Melarutkan imajinasi tanpa bayang. Menyita kefokusan. Jika sudah begini,
bisakah ku meminta pertanggungjawaban? Untuk mengadili perasaan? Mungkinkah ada
pasal tentang rasa yang abstrak? Namun tak mungkin rasanya, selain ku tak
memiliki bukti fisik untuk menuntutmu, bukan kau tersangkanya. Tapi lebih
tepatnya diri sendiri. Seperti bunuh diri.
Aduh
terasa begitu naif. Menyadari ketidakpastian yang pasti. Tapi tetap menikmati.
Apakah ini kebodohan yang nyata? Bukankah fitrahnya mencinta, merindu, membenci
juga kecewa?
0 komentar:
Posting Komentar