Di suatu pagi, ketika sinar sang mentari mulai menghangatkan
seluruh jagat raya dan awan-awan indah mulai menghiasi cakrawala. Aku dan bekal makananku telah siap
untuk bersantai bersama, menghabiskan waktu pagi hanya berdua saja di tengah
gazebo taman yang indah nan asri. Perut ini sudah terasa perih karena menahan
lapar sejak di kelas tadi. Rasa haus juga mulai menyentuh tenggorokan ini. Ah,
aku akan usaikan semua rasa ini.
Ku buka
perlahan tutup wadah bekalku dengan penuh perasaan, aroma masakan ibu sudah
tercium mesra di hidungku. Dengan segera ku lahap penuh semangat, namun di
tengah asyiknya aku menikmati makanan itu. Ada sesuatu yang menatapku pilu,
kedua matanya penuh harap dan tangannya seolah-olah ingin ikut menjamah makanan
ini. Ah, aku begitu kasihan melihatnya.
“Sini,
mendekatlah. Aku punya tulang ayam untukmu”. Ia pun melangkah mendekatiku. Perlahan
ku pilihkan tulang ayam untuknya lalu ku berikan padanya. Ia nampak begitu
gembira dan langsung melahapnya tanpa menatapku.
Aku tersenyum
puas, dalam hati terasa lega. Perasaan ini begitu senang karna bisa berbagi
dengannya. Aku tahu dia sedang lapar sama sepertiku. Matanya yang pilu dan
penuh harap membuatku tak tega untuk menyantap makanan itu sendiri.
“Meong” suaranya yang lucu terdengar,
aku menolehnya. Dengan wajah dan ekspresi yang sama ia menatapku kembali. Mungkin
dalam hatinya ia berkata “aku masih lapar, tolong kasih aku makanan lagi!”. Aku
tersenyum geli, dasar sok tahu bahasa kucing haha. Ku ambilkan ia sedikit
daging ayam lalu ku remas dengan sedikit nasi. Aku berharap karbohidrat dalam
nasi tersebut dapat membantu kucing itu untuk merasa kenyang. Ketika nasi telah
berada di hadapan si kucing, ia menatapnya dan mencium baunya. Mungkin ia
sedang menerka makanan apa yang aku berikan, mengapa tidak sama dengan makanan yang
pertama tadi. Ah biarlah dia sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Terima kasih ya sudah menemaniku
makan, semoga kamu juga merasa kenyang dengan sedikit makanan yang ku berikan
tadi. Sampai jumpa si manis!”
Aku meninggalkannya dengan
tersenyum, ia menatapku seolah-olah mengucapkan terima kasih padaku. Langkah kaki
ini perlahan-lahan menjauh dari tempat itu dan menuju sebuah pintu perpustakaan
kampus yang terbuka lebar.
Nur Sholikhah
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Perumahan BUKIT CEMARA TIDAR
0 komentar:
Posting Komentar