
Oleh Dyah Ayu Fitriyesss
Makrupa menunduk layu. Apalah
daya, kata hatinya. Tak seperti teman-temannya yang solehah dan menjadi wanita
idaman. Makrupa hanyalah gadis ngantuk an, yang dibilang pandai pun nggak
pantas, wong di kelas ngantuk terus kerjaannya. Dibilang sholihah ya nggak sama
sekali. Pagi ini berkali-kali ia mengucek matanya sambil membatin “Kenapa sih
kau ini ngantuk an diajak belajar, tapi awet jika nonton pertandingan”. Tapi seberapa
banyak mata itu dikucek, pipi itu dicubit, ia tetap saja gagal melek.
Si Desi menyenggolnya memberi
isyarat agar segera cuci muka. Makrupa tak menggubris. Matanya tak kuat lagi,
alih-alih ke kamar mandi, bisa-bisa pingsan ia di jalan karena ngantuk. Ia baru
mau berdiri ketika mendengar ketawa tipis teman-teman perempuannya melihatnya. “Dasar
para penyihir, mak lampir, nggak membiarkan aku tidur dikit aja.”
Setelah ambil wudhu, kondisinya
semakin mengenaskan. Kantuk semakin berat. Desi tak henti-hentinya menyenggol
sohibnya ini. Sesekali membisikkan “Banguuun, ketahuan Pak Narto noh.” Pikri
anak paling bandel pun membuat ulah. Ia ajak semua teman kelasnya memandangi
makrupa yang terkantuk-kantuk. “Wahahaha. Makrupa lagi-lagi ngantuk.” Bisiknya pada
teman-temannya. O bukan bisikan lebih tepatnya, lha wong sekelas dengar semua.
Makrupa terbangun sambil
terkaget-kaget. “Wahahaha” seisi kelas menertawakannya. sedetik sebelum mewek
ia segera berlari keluar kelas. Tak perduli pak narto yang memanggilnya sambil
membawa penggaris kayu panjang.
“Maaaaaaak… Maaaaak… Huaahuaa
hiks hiks.” Teriak makrupa di teras rumah. Emaknya yang sedang menggoreng tahu-isi
di warung segera berlari keluar. Padahal sutil dan serok tahu masih di tangan.
“Loh loh kenapa nduk?”
“Maaaaaaaak….. Maaaaaak… Huahuahua.
Mak dulu hamil makrupa ngidam tidur ya mak, makrupa jadi ngantuk an. Hiks hiks.”
Rengekannya persis anak tetangga ketika ayam piaraannya digoreng sang ibu.
“Wes wes masuk dulu sini nak.”
Mau memeluk anak gadisnya emak baru sadar kalau alat-alat gorengan masih di
tangan, hehe.
Mereka segera masuk diikuti
ibu-ibu yang penasaran mendengar tangisan Makrupa. Emak segera mengusir halus
para ibu-ibu ratu gossip itu. “Kenapa to nduk nangis kayak gini ini.”
“Huahua, mak Makrupa malu ngantuk
an di kelas huhuhuhu.”
“Wes wes udah nangisnya. Intropeksi
diri makanya.”
“Iya mak” tangisnya mulai mereda.
“Kalau malam jangan begadang
nonton bola, biar paginya bisa seger. Makannya juga jangan banyak-banyak. Nabi
kan sudah memberi contoh itu pada kita. Tidur setelah isya tanpa banyak ngobrol
sana sini. Makan juga secukupnya, kalau kekenyangan bisa ngantuk. Tombo ati
pula berbunyi ‘kudu weteng ingkang luwe’ perutnya harus lapar. Makanya jangan
suka diam-diam bawa gorengan sekresek ke sekolah. Rugi pula mak jadinya. Dan mohon
sama Allah agar bisa nggak ngantuk an lagi. Lha wong mata juga Allah yang
punya. Kalau ada teman yang mencibir ya diemin aja. Jangan ditiru, mengolok
orang lain sama dengan mengolok ciptaan Allah. Wes gitu ya nduk.” Kata emak
sambil memeluk dan mengusap pelan kerudung makrupa yang kotor. Paling-paling
ini anak pulang lewat jalan pintas di hutan. Batin emak.
“Kamu tadi lewat hu …” belum
selesai emak bertanya, ternyata si makrupa sudah tertidur dari tadi. Dasar ini
anak gadis, padahal emak sudah repot merangkai kata buat nasehatin. Ternyata.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
www.darunnun.com
0 komentar:
Posting Komentar