
“Lihin lagi patah hati!!!” kata perempuan itu antusias. Tak
sampai setahun rupanya wanita itu sudah memiliki dua profesi di kantor ini,
pengaduk kopi dan ratu gosip. Dan sepertinya profesi keduanya lebih
menjanjikan.
“Lihat tuh raut mukanya yang cemberut, semakin dipandang
semakin kusut.” Ada lada yang dicampur dalam katanya itu. Semakin pedas saja.
Tapi, memang kulihat beberapa hari ini Lihin jadi pendiam. Suasana
kantor ikut suram. Biasanya suara Lihin terhitung paling menggelegar, namun sekarang,
saking sepi kantor ini nyanyian jangkrik piaraan Pak Bos bisa terdengan begitu
nyaring. Jiwanya yang ceria dan pembuat ulah entah sedang bertengger di mana.
Esok selanjutnya kulihat dia pada jam istirahat. Rambut acak-acakan,
baju nggak karuan dan parahnya lagi, tiga batang rokok yang kuberikan tadi pagi
tidak disentuh sama sekali. Padahal biasanya ludes dalam hitungan menit. Wah
pasti hebat masalah yang menimpa saudara lamaku ini.
“Lihin ditinggal kawin” ocehan pengaduk kopi semakin
menjadi, kali ini kubulatkan tekad untuk menanyakan perihal masalah itu pada Lihin
sendiri.
“Masalah apa Dol.. Dola.. aku nggak punya masalah.” jawabnya
layu.
“Wajah seperti itu masih sanggup berbohong juga ya…” sanggahku.
“Bukan masalah sanggup tidak, ini masalah memalukan.”
“Memangnya kenapa?” aku tak mau menyerah.
“Aku hanya akan menceritakannya padamu ya, Dol.” Ia menghela
nafas panjang, seakan paru-parunya mau dilepas untuk diisi angin.
“Minggu lalu lamaranku pada si fatonah diterima.”
Kopiku yang manis spontan menyembur “Benarkah? Fatonah yang
cantik itu,, adik kelas kita yang sejak sma kau idamkan itu?”
“Iya dol……”
“Subhanallah kabar baik nih. Eh trus kenapa kamu jadinya
frustasi begini? Dia minta mahar ratusan juta? Atau mobil mewah? Atau minta
dimadu?” tanyaku.
“Kalau minta dimadu maul ah aku”
“Dia minta aku berhenti merokok!!” jawaban itu terlontar
polos tanpa perhitungan.
Wahaha tawaku lepas landas.
“Jangan tertawa, ini masalah serius!”
Aku faham kalau memang ini urusannya pantaslah Lihin seperti
mayat hidup. Tak berdaya.
“Rokok sejak di pondok sudah seperti istri pertamaku. Lalu gadis
itu memintaku bercerai dengannya. Mana bisa!” Tentangnya.
“Tapi kamu pun cinta gadis itu bukan”
“Iya memang, tapi….. ah mana bisa, Dol.”
“Yaudah hin, diistikhoroin aja”
“Waduh, malu aku sama allah”
“Malu kenapa?”
“Masak minta petunjuk antara gadis cantik sama rokok?”
“Ya ndak papa to hin, itukan masalah yang membuatmu seperti
orang gila, yang sudah seminggu menggerogoti tubuhmu hingga kurus begini.”
“Eh aku dari dulu kurus vroh.”
“Ya pokoknya itu kan masalahmu. Kalau memang iya, kenapa
nggak cerita aja sama allah? Udah cerita, Hin?”
“Belum. Dibilang aku malu. Mending aku fikirin sendiri nanti
juga lama-lama ada jawabannya. Aku pasti bisa nyelesaiin masalahku kok.”
“Wah jangan begitu nih dulu kyai kita kan pernah dawuh tuh
مَا خَابَ مَنِ استَخَارَ, وَلاَنَدَمِ مَنِ استَشَارَ
Tidak akan kecewa seseorang yang beristikharah, tidak
akan menyesal seseorang yang bermusyawaroh.
“Subhanallah gus dola hafal fasih yaa.. itu pas ngaji apa ya
gus?”
“Mukhtarul ahaadits nak.. pas sampean ngiler di sampingku
dulu itu yang sampai mau kejlungup haha.”
“Yoo yoo jangan diinget inget itu mah memalukan.”
“Yawis jadi ini aku harus gimana, Dol?”
“Yaudah kamu istikhoroh aja, jangan lupa minta istikhorohin
ibumu juga. Terus yang musyawaroh itu, ya tanya ke kyai, curhat ke bapak. Ini kamu
curhat ke aku juga sudah salah satu dari musyawarah.”
“Iya yah. Terus kalau nanti nih aku udah dapat jawaban tapi
masih gak sreg masih ga sesuai hatiku piye?”
“Nah itulah kenapa tadi di hadist ini disebutkan tidak akan
kecewa orang yang istikharah, tak pula merugi yang musyawarah. Bukan main loh,
itu yang dawuh Kanjeng Nabi Muhammad, berarti pasti benar. Kita istikhoroh
ibarat benar-benar bergantung sama Allah minta pendapat sama Beliau, masak iya
jawaban Allah itu salah? Nggak mungkin kan. Allah ngasih sesuatu nggak mungkin
buruk adanya, kita yang gak faham apa makna dan hikmah yang terkandung di dalam
pilihan Allah itu. Wes yakin pasti itu yang terbaik kalau sudah melalui istikharah
dan musyawarah.
Dia hanya mengangguk-angguk. Sambil merogoh rokok di saku
bajunya. Dielus-elus seperti benar-benar istri pertamanya. Aku semakin tertawa lepas.
Seminggu kutunggu dan Lihin akhirnya kembali bersinar. Pengaduk
kopi sedang menggerutu di dapur, terbukti kopinya terasa sangat pahit pagi ini.
“Kubawakan kalian ini.” sebuah amplop kombinasi hitam merah dipegang
Lihin dengan bangga.
“Aku akan segera menikah dengan Fatonah, Dol.” liriknya
menggodaku.
“Lalu, bagaimana dengan istri pertamamu?”
“Dia.. dia akan tetap kunikmati di pagi hari. Dengan
musyawarah yang alot dan istikharah yang panjang. Fatonah akhirnya mengiziniku!
Ini ceritaku, Dol. Gimana denganmu.. jangan jadi perjaka melulu haha.”
“Dasar….” Gerutuku.
0 komentar:
Posting Komentar