Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Seorang
tokoh yang begitu rendah hati, bersahaja, berimtaq dan beriptek tinggi. Seorang
yang tegas, pekerja keras, namun tetap sebagai ayah yang penuh dengan kasih
sayang dan kelembutan hati. Beliau yang kini akrab disapa sebagai seorang
Ustadz. Ayahnya mulai memperdengarkan adzan langsung di samping telinganya
tepat pada tanggal 6 maret 1973 di tapak bumi Kediri. Seorang ayah yang menyelipkan
do’a yang akan selalu menyertainya sejak saat itu sampai kapanpun, Muhammad
Thoriqudin yang kini telah bertambah lengkap dengan berbagai gelar sebagai
saksi perjuangannya hingga menjadi Dr. H. Muhammad Thoriqudin, Lc.,M. HI. Sebagai
kado terindah dari Sang Khaliq yang diamanahkan kepada pasangan Bapak H. Ahmad
Sahl dengan Ibu Hj. Siti Aisyah.
Selain memperoleh pendidikan pertama dari
kedua orang tua beliau, kemudian selanjutnya kedua orang tua mengamanahkan beliau di tempat pendidikan formal pertamanya
di MI Islamiyah Smanding Tertek. Karena pada saat itu memang belum ada sekolah
formal semacam TK sederajat. Setelah menamatkan pendidikan di MI, mengirim
beliau ke Pondok Pesantren Darussalam Sumbersari Kencong untuk melanjutkan menuntut ilmu
pengetahuan agama. Disana beliau lebih
terfokus dalam pendidikan agama tanpa mengikuti pendidikan formal Sekolah
Menengah sederajat. Akan tetapi, karena beliau juga mempunyai tekad untuk dapat
melanjutkan pendidikan di Sekolah formal, akhirnya beliau mengikuti program
yang sekarang semacam kejar paket C yaitu beliau hanya mengikuti Ujian Akhir
untuk mendapatkan ijazah.
Setelah lulus ujian, beliau dapat
melanjutkan ke jenjang berikutnya di MAN Ihya’ul Ulum dengan tetap mengimbangi
pendidikan agamanya di Pondok Pesantren Ihya’ul Ulum pula. Di Jenjang sekolah inilah beliau
mendapatkan sebuah pengalaman menarik yang sampai kini masih teringat yaitu
pengalaman menjadi Ketua OSIS. Disana beliau belajar bagaimana berorganisasi.
Bagaimana bisa berinteraksi dengan berbagai macam karakter orang. Belajar
bagaimana memimpin sebuah organisasi. Pada pemilihan ketua OSIS masa itu,
beliau dipilih oleh teman-temannya menjadi salah satu delegasi bersama dengan
dua teman lainnya. Kemudian saat voting penentuan ternyata pilihan terbanyak
tertuju pada nama beliau. Mengapa beliau terpilih menjadi pilihan
teman-temannya, ternyata karena beliau memang termasuk siswa yang aktif. Beliau
pernah mengikuti beberapa macam lomba seperti qiro’atul kutub, pidato dan
lain-lain.
Di daerah rumah (kediri) beliau pada masa
itu, pendidikan masih dinilai minim. Kebanyakan dari anak-anak di daerah sana
setelah menyelesaikan pendidikannya, lantas kemudian membantu orang tua bekerja
menggarap sawah. Namun berbeda dengan ustadz Thoriq ini, setelah mampu
menyelesaikan pendidikan ditingkat MAN, beliau mengutarakan keinginannya pada
kedua orang tua bahwasanya beliau ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang
kuliah. Beliau memilih kampus lintas negeri yaitu di tanah Cairo, Mesir. Awalnya
reaksi orang tua merasa terkejut, sedikit keberatan. Akan tetapi tekad dan
keberanian beliau yang sungguh-sugguh mampu meyakinkan kedua orang tuanya hingga bersedia memberikan
izin mereka.
Berawal dari Ustadz Hilal putra anak Kyai
Pondok Pesantren yang kuliah di Al Azhar, beliau tergerak untuk mengikuti jejak
ustadz Hilal. Beliau merupakan satu-satunya santri dari sekitar 900 santri di
Pondok Ihya’ul ulum yang melanjutkan sekolah di luar Negeri. Dari ustadz Hilal,
beliau menggali informasi tentang prosedur -prosedur untuk dapat masuk di
Universitas Al Azhar. Pada masa itu ketentuannya hanya mengirimka data
pendaftaran disertai ijazah lulusan khusus Madrasah Aliyah, tidak untuk SMA
ataupun SMK. Khusus untuk jurusan Syari’ah, pihak Al Azhar membebaskan biaya
kuliah sehingga mahasiswa hanya perlu mencari biaya untuk hidup saja.
Tekad beliau yang begitu yakin untuk
mengubah pandangan masyarakat daerahnya yang biasa setelah lulus sekolah
langsung membantu di sawah, latar belakang keluarga beliau juga yang
berlandaskan pendidikan pesantren sampai muncul semboyan “Tidak mondok masuk
neraka” sehingga membuat pandangan hidup disana terkungkung dalam mindset
yang berhenti sampai disitu saja. Hal itulah yang membuat ustadz Thoriq
mempunyai pendapat yang berbeda. Beliau ingin mengubah mindset masyarakat,
dengan membuktikan pada mereka bahwa tidak harus setelah lulus kuliah lantas
ujung ujungnya sama saja harus terjun ke sawah. Itulah yang mendasari beliau
untuk melanjutkan kuliah di Al Azhar Cairo.
Meskipun awalnya menentang, akhirnya kedua
orang tua justru memberikan dukungan yang begitu memberikan support untuk beliau.
Pada saat itu mahasiswa yang berangkat dari indonesia sekitar 200 orang
mahasiswa. Akan tetapi hanya beliau seorang diri yang dari satu sekolah
seangkatan beliau. Kebanyakan dari teman- temannya di pondok tidak ada yang
berani untuk mencoba keluar dari zona aman senekad ustadz Thoriq.
Setelah sampai di bumi Cairo ternyata
memang benar hidup tak semudah di kampung halaman. Disana beliau harus benar- benar pandai
mengatur keuangan. Apalagi orang tua tidak bisa senantiasa memberi kiriman uang
setiap bulannya. Selama kuliah disana, orang tua hanya pernah sekali saja
mengirim uang untuk beliau dan itu sebanyak sekitar 300 dolar, kalau di
rupiahkan kira-kira 3 juta pada saat itu. Sehingga membuat beliau terpaksa harus
meminjam uang kepada teman-temannya hingga mencapai sekitar 20 juta. Hal tersebut
membuat beliau akhirnya mencoba mencari pekerjaan. Awalnya beliau bekerja
menjadi penjaga warung selama sekitar 2 bulan. Karena di warung tersebut
kekurangan pemasok bahan, kemudian dari situ beliau mulai beralih profesi menjadi
pembuat tahu yang pada saat itu sangat dibutuhkan. Beliau mulai membuat tahu dengan
menggunakan alat sederhana seadanya. Karena keterbatasan dana pula beliau hanya
mampu membeli blender untuk menggiling kedelai. Usaha tersebut beliau kerjakan
sendiri dicelah-celah kuliah.
Tidak seperti teman- teman beliau yang
telah mampu menyelesaikan studynya tepat selama empat tahun. Beliau harus
menempuh studynya dua kali lebih lama dibandingkan dengan
teman-temannya. Faktor keadaan yang membuat beliau harus bekerja keras disaat lainnya
tertidur lelap. Sehingga konsentrasi kuliah harus terbagi dengan pekerjaan. Dengan
hasil usaha membuat tahu, beliau mampu membiayai hidup di tanah rantau dengan mandiri
dan mampu mengganti uang teman-temannya. Meskipun harus hidup dengan melewati
jalan yang lebih terjal, berbeda jauh dengan teman-temannya yang melewati jalan
tol dengan mulus-mulus saja. Hingga akhirnya
beliau mampu menyelesaikan studynya setelah melewati masa selama satu
windu. Hal menarik yang paling berkesan dan masih teringat sampai kini ialah
ketika beliau menjalani ujian mata kuliah yang harus lulus di tahun tersebut,
akan tetapi di lain sisi beliau harus tetap membuat tahu. Beliau harus rela begadang
sampai larut malam untuk memenuhi pesanan tahu dari pelanggan. Beliau tidak
bisa meliburkan diri meskipun hanya sehari itu saja, karena nantinya akan diserobot
orang lain. Jika pesanan tersebut tidak terpenuhi bisa jadi akan berdampak kehilangan
pelanggan untuk selanjutnya.
Sepulang dari Cairo, selesai S1 bukan berarti selesai menuntut ilmu
pula. Dengan dukungan orang tua yang selalu menyertai, beliau melanjutkan
perjalanannya menjadi musafir ilmu di tanah Surabaya, tepatnya di IAIN Sunan
Ampel prodi Hukum Islam. Pada masa S2 ini, pencarian cinta mulai beliau
kerahkan. Bersilaturahim dari rumah kerumah menanyakan adakah sosok sang gadis
yang bisa bertahta di singgasana hati beliau untuk selamanya. Masa pencarian
ini beliau lalui hingga melewati sekitar 25 orang gadis yang kesemuanya
ternyata mungkin memang bukanlah yang ditakdirkan oleh Sang Maha Cinta. Hingga suatu
ketika beliau disarankan salah seorang saudaranya untuk bertamu di sebuah rumah
sanak familynya. Beliaupun mengikuti saran tersebut. Ketika beliau
bertandang ke rumah itu dengan seorang teman, beliau mendapati seorang gadis
yang pertama kali muncul dari bilik pintu dengan expresi terkejut karena
mengira saat itu yang bertamu adalah temannya. Seraya beliau jatuh cinta pada
pertama kali memandang. Tak disangka ternyata saat itu adalah perjalanan
terakhir pelayaran cinta beliau hingga sampai pada pelabuhan abadinya. Mereka menikah
ketika beliau berusia 32 tahun dan sang istri berusia 20 tahun. Selisih tahun inilah
sebagai bukti bahwasanya cinta dari Sang Maha Cinta mampu mematahkan batas
apapun diluar logika manusia.
Setelah mengesahkan hubungan mereka berdua,
kemudian beliau bekerja sebagai pengajar di Sekolah Pesantren Sirojul Ulum,
Pare selama 3 tahun. Ketika itu sang istri masih menempuh kuliah di STAIN
Kediri prodi Bahasa dan Sastra Arab. Berselang tahun berikutnya, kemudian
beliau diterima untuk mengemban tanggung jawab sebagai PNS di kota Malang. Hal tersebut
lantas membuat beliau bersama sang istri untuk bermigrasi dan menetap di Malang
sampai saat ini. Selain bekerja sebagai dosen di STAIN Malang, beliau juga melanjutkan kuliah S3 di IAIN Sunan Ampel
prodi Study Islam. Meskipun beliau harus bolak-balik Malang-Surabaya, hal
tersebut tidak pernah membebani beliau untuk tetap menuntut ilmu. Pendidikan S3
ini merupakan salah satu pencapaian tersbesar bagi beliau. Beliau tidak
menyangka bisa menempuh pendidikan sampai ke jenjang Strata Tiga ini. Dengan melaui
berbagai lika-liku jalanan terjal nan panjang. Namun beliau sendiri tidak
menyangka bisa melewati semua itu dengan mendapatkan berbagai pencapaian di tiap
tapak langkah tersebut. Hal ini tidak pernah luput dari restu kedua orang tua
yang selalu menyertai di tiap jejak langkah beliau. Tak banyak kata yang mampu
beliu utarakan untuk menggambarkan bagaimana pentingnya sosok orang tua dalam
kehidupan ini. Hanya berupa kalimat sederhana, bahwasanya orang tua adalah
pahlawan tanpa tanda jasa yang pertama dan paling utama.
Setelah beberapa lama tinggal di malang, akhirnya
beliau bersama keluarga mulai menetap di Perumahan Bukit Cemara Tidar. Disanalah
beliau mulai membangun pondasi-pondasi pencapaian yang lebih untuk masyarakat
sekitarnya. Awal mulanya, Masjid di daerah perumahan tersebut tidaklah seramai
dan semegah sekarang ini. Hal tersebut didasari dari rasa ketidak percayaan
masyarakat terhadap Ta’mir saat itu dikarenakan sistem dakwah yang terlalu
keras. Jika mengadakan pengajian di Masjid seringkali Ta’mir mengundang
penceramah yang dakwahnya terkesan terlalu extrem. Sehingga membuat masyarakat
yang merupakan dari berbagai kalangan muslim merasa tersinggung dan enggan
untuk pergi ke Masjid.
Dengan berbagai pertimbangan, Ta’mir
tersebut dilengserkan sehingga terjadi kekosongan untuk beberapa waktu. Sampai pada
saat mulai diadakan kembali pemilihan Ta’mir baru untuk mengisi kepengurusan
Masjid agar tidak vokum terlalu lama. Beberapa nama tokoh yang ditunjuk oleh
masyarakat diantaranya, Ustadz Fanani, Ustadz Fauzan, dan terkahir ialah Ustadz
Thoriq. Sebelumnya Ustadz Thoriq menolak, karena merasa masih terlalu dini
dibandingkan dengan kedua Tokoh tersebut dalam hal kepemimpinan. Akan tetapi
kedua tokoh ustadz itupun lebih mempercayakan perihal keta’miran untuk diamanahkan
pada Ustadz Thoriq. Akhirnya beliaupun menerimanya dengan segala kerendahan
hati.
Pada masa keta’miran ini, program pertama
yang beliau lakukan ialah mendamaikan para Jama’ah masjid yang terdiri dari
berbagai kalangan muslim. Beliau mulai mengembalikan sistem ibadah Nahdliyin
dengan melaksanakan dzikir jahr setiap usai Sholat Jama’ah fardhu. Reaksi sebagian
masyarakat awalnya sangat buruk. Sebagian dari jama’ah ada yang keluar masjid
dengan batuk berdehem-dehem dan meludah dengan suara keras. Akan tetapi beliau
tak gentar menghiraukannya. Beliau tetap khusyuk meneruskan lafadz demi lafadz
dzikir tersebut. Demikian itu selalu beliau lakukan setiap kali menjadi imam
sholat. Selain itu, setiap kegiatan rutin pengajian di Masjid beliau mengundang
Narasumber yang moderat dan toleransi tidak seperti sebelumnya. Lambat laun
atas izin Allah, masyarakat mulai menerima adanya perubahan tersebut. Masyarakat
dari berbagai kalangan muslim tersebut menjadi merasa lebih ternaungi secara
keseluruhan. Tidak membanding-bandingkan antara golongan muslim satu sama lain.
Dari segi organisasi beliau mulai mengubah
sistem kepengurusan menjadi lebih terbuka. Dari yang sebelumnya bersifat
tertutup dalam arti hanya ketua saja yang tahu mengenai sistem keuangan dan
semacamnya. Beliau membuat struktur organisasi yang mencakup keikut sertaan pihak
lain seperti adanya sekretaris, bendahara dan beberapa yang lainnya. Seiring
berjalannya waktu, masjid tersebut menjadi lebih banyak jama’ahnya. Dulu yang
sebelumnya hanya mampu menampung sekitar 200 orang untuk jama’ah sholat jum’at,
kini telah dilakukan perluasan dengan membangun bagian masjid menjorok
kebelakang sehingga mampu menampung jama’ah menjadi sekitar 400 orang. Pembangunan
besar-besaran tersebut tidak luput dari dukungan para jama’ah masyarakat
sekitar yang turut andil gotong royong membantu dalam berbagai hal. Pembangunan
tersebut kira-kira dilaksanakan pada tahun 2014. Hingga saat ini, Masjid dapat
semakin makmur dan mampu menaungi masyarakat dengan damai dan rukun.
Dalam kata sederhana beliau menyelipkan
pesan dan do’a yang penuh makna untuk para santri Darun Nun. Beliau berpetuah, “Maksimalkan
dalam pencarian maka hasilnya akan maksimal pula. Allah menghadiahkan pahala
kepada kita, sebagaimana kepayahan yang kita alami. Maka maksimalkan dalam
menuntut ilmu. Jadikanlah Darun Nun sebagai Kawah Candra Dimuko dalam
arti tempat menempa diri. Istiqomahkan dalam menulis sebagaimana nama pondok
yang diambil dari surat Nun atau Al Qolam ini. Tak jauh dari dalil sebagai dasar
motto beliau yaitu
خَيْرُ
الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
Semoga kita semua mampu menjadi pribadi
yang selalu dapat memeberikan manfaat kepada orang lain.
Sabtu, 03 Desember 2016
01:58 WIB
Tulisan yg mengalir dan enak dibaca smoga profile di atas bisa menginspirasi khususnya bagi santri Darun Nun dan para pembaca pada umumnya
BalasHapusEngge ustadz aamiin... alhamdulillah suatu kebahagiaan tersendiri bisa menggali ilmu dari kisah jenengan ustadz... ngapunten misal bnyak salah dan kurang tepatnya saya dalam menuliskan kisah jenengan. monggo jenengan kritik mboten nopo uatadz...
BalasHapusSubhanallah
BalasHapus