Oleh Dyah Ayu Fitriana

Allah selalu menjawab, kitanya peka ga?
"Balik aja yok, nanti di sini malah ga bisa ketemu beliau. Gak yakin aku." Ucap makrupa ragu.
"Balik ta? Hmm... Kita tanya yang lain dulu deh ya. Sayang kalau balik tangan kosong." Jawab si desi.
"Balik ta? Hmm... Kita tanya yang lain dulu deh ya. Sayang kalau balik tangan kosong." Jawab si desi.
Hari itu makrupa mau nyari sumbangan ke kantor besar. Ceritanya dia
mau ngadain pengajian akbar tapi nggak punya uang buat nyangoni sang
kyai. Dia yang ragu dan takut membuat semangat desi pun ikut surut.
Akhirnya mereka berjalan-jalan kecil ke toko-toko sekitar kantor.
Makrupa lega karena nggak jadi ke kantor, kekhawatirannya sedikit
teratasi. Setelah setengah jam ia muter-muter liat baju di toko, dan
nggak beli, hehe si desi sebel dan segera menyeretnya keluar.
"Ayo kita ke kantor."
"Aduh nanti di rumah aja des."
"Wes pokok ayo masuk sek."
Kaki makrupa serasa kaku, berjalan ragu tapi tetap diusahakan tak berhenti di situ. Ia memasuki ruangan kantor.
"Owalah gini toh namanya kantor." gumamnya.
"Mbak mau ketemu Bu Rus, kepala kantor." tanya desi.
"Ke atas aja mbak silahkan." jawab seorang pria klimis berdasi.
"Aduh nanti di rumah aja des."
"Wes pokok ayo masuk sek."
Kaki makrupa serasa kaku, berjalan ragu tapi tetap diusahakan tak berhenti di situ. Ia memasuki ruangan kantor.
"Owalah gini toh namanya kantor." gumamnya.
"Mbak mau ketemu Bu Rus, kepala kantor." tanya desi.
"Ke atas aja mbak silahkan." jawab seorang pria klimis berdasi.
Sesampainya di atas ternyata antrean panjang. Si makrupa mulai mengkode
"Woalah des antri, piye?"
"Ndak piye-piye to ayok ditunggu."
Mereka berdua lantas duduk. Makrupa duduk di depan ruangan Bu Rus. "Wah bagusnya ruangan kepala kantor ya" batinnya. Tak lama tamu yang di dalam telah keluar. Dua sejoli tadi segera masuk dan dipersilahkan duduk.
"Woalah des antri, piye?"
"Ndak piye-piye to ayok ditunggu."
Mereka berdua lantas duduk. Makrupa duduk di depan ruangan Bu Rus. "Wah bagusnya ruangan kepala kantor ya" batinnya. Tak lama tamu yang di dalam telah keluar. Dua sejoli tadi segera masuk dan dipersilahkan duduk.
"Loh, kamu ini orang desa kan ya mbak?" tanya Bu Rus pada Makrupa. Makrupa cengengesan. Malu rek mau minta sumbangan. Hha.
"Ini bu kita mau ngadain maulid an di desa. Mau ngunda Pak Kyai Paidi bu. Makrupa menunggu jawaban Bu Rus sambil mengamati mimik wajahnya. "Waduh habislah di hina habis ini."batin makrupa. Tapi ternyata apa yang dilihatnya berubah. Wajah Bu Rus jadi sumringah.
"Ini bu kita mau ngadain maulid an di desa. Mau ngunda Pak Kyai Paidi bu. Makrupa menunggu jawaban Bu Rus sambil mengamati mimik wajahnya. "Waduh habislah di hina habis ini."batin makrupa. Tapi ternyata apa yang dilihatnya berubah. Wajah Bu Rus jadi sumringah.
"Oalah... Yo sini tak kasih. Seneng aku kalau masjidnya diramaikan gini.
Nggak kayak dulu masjidnya sepi wes gitu nggak sesuai hati saya.
Sekarang kedatangan para ustad jadi rame dan bisa senang mudah
beribadah. Ya semoga aja tetep di situ ustad-ustad. Saking senengnya
sampe saya beli tanah banyak di kampung situ hehe." dua gadis tadi
cengingas cengingis mendengar cerita Bu Rus. "Ini ya." Bu Rus mengambil
dompet dan mengeluarkan berlembar-lembar uang dengan gambar bapak-bapak
berpeci hitam. Wajah dua gadis tadi semakin sumringah. "Saya kan gak
bisa bantu tenaga mbak, jadi ya bantuannya gini. Nah ini nanti bawa lagi
proposalnya ke orang-orang desa yang lain. Ndak usah malu, walau nanti
dikasih apa nggak yo rapopo. Kan ini untuk kebaikan juga to. Kalau
sampean berani malu berarti sampean hebat. Udah berjuang buat
masyarakat. Yowis semangat ya." "Iya bu. Terima kasih. Kami pamit."
Kedua gadis pemburu uang tadi langsung turun dan keluar. Di luar kantor
mereka saling pandang lega. Makrupa berbisik. "Des, Aku belajar hal
berharga hari ini." Sambil tersenyum dan segera mengambil motor. Ia tak
menghiraukan pertanyaan desi tentang pelajaran apa yang didapat. Wong
seharian mereka nggak kuliah hhe.
PP. Darun Nun
Bukit Cemara Tidar Malang
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar