Halimi Zuhdy
Ketika cinta
sudah berbicara, semua menjadi tak nyata, seakan-akan semuanya adalah surga, duri
menjadi rerumputan yang indah,
pedang seperti biola yang siap dimainka, bom dengan ledakkannya
hanyalah percikan arang. Tak lagi ada amarah, kalau ia memerah bara, seperti
rembulan yang enggan menyapa, tubuh jasadi tak lagi menjadi dambaan, kemolekan
sudah tak terpandang, semua tirai teungkap dibalik anggukan, khayalan tak lagi
menjadi khayal, kerena ia sebuah kenyataan, kenyataan menjadi semakin nyata
ketika sudah ada pernyataan.
Walau ia tak nyata, karena kenyataannya adalah ketidaknyataan,
itulah cinta. Ia tidak harus ada, karena wujudnya selalu rahasia, seperti;
diamnya adalah anggukannya, marahnya sapaannya, bencinya kasihnya, tidurnya dambaannya
agar bertemu dalam mimpinya. Tidak ada yang harus dirasionalisasikan dalam cinta,
ia bukanlah ilmu, yang harus dipelajari, ditekuni, apalagi ditirakati. Ia
adalah wujud yang tidak wujud, tapi benar-benar maujud.
Kadang dalam benakku mengapa cinta harus dibatasi dengan ras, mengapa cinta
takut suku, wong cinta menembus batas dan tidak akan pernah terbatas, cinta
bagai arus yang akan menghantam apa yang ada dihadapannya, cinta bagai api yang
akan melahap apa yang ada didekatnya, cinta tidak akan pernah bermuara, cinta
tidak akan pernah terpaksa dan dipaksa karena cinta itu sendiri adalah
kesadaran dari hati nurami. Kalau
masih terikat dengan apa pun
itu bukan cinta tapi ketakutan dan nafsu yang dibungkus oleh birahi.
Cinta adalah kebebasan
yang tidak satu orang pun berhak mengatur cinta, cinta tidak ada aturannya,
cinta tak akan pernah ada undang-undangnya dan cinta adalah belantara yang
penuh dengan teka-teki. Kalau aku cinta dia... megapa disalahkan ,...wong cinta
bukan karena dibuat tapi muncul dari kuasa batin dan rahmat Tuhan. Cinta
adalah sebuah rahmat yang harus disyukuri oleh manusia yang masih punya rasa
cinta, bukan cinta yang harus disalahkan tapi “ekspresi cintanya”
inilah yang membuat sebagian orang melarang bercinta dan membohongi cinta..wong
cinta tidak akan pernah berbohong dan dibohongi. Ekspresi yang saya maksud adalah pengungkapan
yang kadang tidak sesuai dengan norma dan etika, kalau masih wajar dan tidak
menyalahi norma dan agama, siapa pun tidak berhak melarang cinta...atau
bercinta. Karena cinta dari maha Pemberi Cinta.
Ibnu khazm
al-Andalusi dalam puisinya
Jalan tak sealu panjang
Jarak tak selalu anggang
Walau tajam, itu pedang bisa patah
Walau buas, itu macan bisa berubah
Meski kasar, begitu gampang aku tertawan
Bak serigala, diam dalam tawanan cerdik
–cendekiawan
Mati dalam cintamu sungguh puncak kenikmatn
Betapa mengherankan, ada rang menikmati
kebinasaan
Cinta memang
sulit dikhayalkan apalagi dirasionalisasikan, ia seperti batu, tapi tidak
keras. Seperti lautan, tapi hanyalah danau, langit yang sempit, bumi yang
kecil, gunung bak bukit, tak ada kehebatan, semuanya hanyalah keyakinan
dan pandangan, dalam cinta semuanya tak lebih dari sebuah keyakinan.
Ia tak bisa
dinyatakan hanya dengan ungkapan, semuanya menjadi kaku, Bilal bin Rabah, di
antara perindu beratnya, suara emasnya yang mampu menggetarkan manusia,
berhenti berazan ketika ia mendengar kekasihnya menghadap rabbul izati.
Orang-orang pada kalang-kabut, karena suara merdunya tak lagi bersayuh, mereka
bingung. Akhirnya, setelah didesak banyak orang -termasuk Fatimah a.s-
Bilal mulai mengumandangkan azan. Ketika sampai kata “wa asyhadu anna
Muhammad…”, ia berhenti, suaranya tersekat ditenggorokan, ia menangis keras.
Nama “Muhammad”, kekasih yang baru saja kembali pada hadirat-Nya, menggetarkan
jantung Bilal. Bilal bukan tidak mau menyebut nama Rasulullah Saw, Muhammad
Saw. Adalah nama insan yang paling indah baginya. Justru karena cintanya kepada
Rasulullah Saw., nama beliau sering diingat, disebut, dan dilagukan. Bilal
berhenti azan, hanya karena nama itu mengingatkan dia kepada kehilangan besar
yang bukan saja memukul Bilal, tapi seluruh kaum muslimin.
Kecintaan lain
yang luar biasa :
Suatu hari
Urwah Al-Tsaqafi, salah
seorang utusan Makkah melaporkan kepada kaumnya, “orang Islam itu luar
biasa! Demi Allah, aku pernah menjadi utusan menemui raja-raja. Aku pernah
berkunjung kepada Kaisar, Kisra, dan Najasi. Demi Allah, belum pernah aku
melihat sahabat-sahabat mengagungkan Muhammad. Demi Allah, jika ia meludah,
ludahnya selalu jatuh pada telapak tangan salah seorang di antara mereka. Ia
usapkan ludah itu kewajahnya dan kulitnya. Bila ia memerintah, mereka berlomba
melaksanakannya; bila ia hendak berwudhu, mereka hampir berkelahi untuk
memperebutkan air wudhunya. Bila ia berbicara, mereka merendahkan suara di
hadapannya. Mereka menundukkan pandangan di hadapannya karena memuliakannya
(shahih Bukhari 3 :255). Dan dalam peristiwa lain, Ummu Sulaym menampung
keringat beliau pada sebuah botol, sedangkan beliau dalam keadaaan tidur, dan
setelah bangun, Nabi Saw bertanya, “apa yang kamu lakukan wahai Ummu Sulaym?”
ia menjawab, “Ya Rasulallah, kami mengharapkan berkahnya buat anak-anak kami.”
Mendengar, Nabi Saw. Bersabda, “Ashabti, Engkau benar (Musnad Ahmad 3 :
221-226)
Memang cinta,
sepenuhnya kembali pada diri, bagaimana ia membawa dirinya untuk bercinta,
bercinta dengan sepenuh hati, akan mendustakan diri sendiri, jika masih dibalut
oleh kemunafikan. Mencintai adalah hak preogratif diri, yang tidak mampu
dibendung oleh siapa pun, karena semuanya adalah karunia dari Tuhan.
PP. Darun Nun Malang Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar