Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Amanatul Mubtadiah
Amanatul Mubtadiah
Semilir
angin di sore hari menebarkan bau mentari menemani keluh para gadis di sudut kota, di
bagian tanah tinggi sebuah bukit bernama Tidar. Malang, sebuah kota yang terkenal dengan
dingin dan sejuk hawanya tapi adakalanya rasa gerah menyapa siapa saja yang
hinggap disana. Tak terkecuali kami para murid dari kota seberang. Ada sebuah
rutinitas yang menyebutkan bahwa harus ada ilmu yang disebarkan kala minggu
pertama dan ketiga setiap bulan. Dari seorang guru ke guru lainnya, dengan
bijak menuai segala resah jiwa-jiwa yang butuh kesegaran lembah ilmu tentang
agama dan kehidupan.
Ustadz
Imam Muslimin, begitulah tersebut raganya tatkala lahir di dunia. Ketika
langkah kaki terasa berat melangkah kerumah-Nya, sayup-sayup getaran bersama
angin yang mengudara mengabarkan ada pesan Illahiyah bersama seorang guru ini.
Bergegas mengambil posisi di depan barisan, di atas karpet merah kaki ini
terlipat. Lantunan suara penuh makna berdendang syahdu. Ini tentang ilmu
dan pencarinya. Bahwasanya semua orang wajib mencari ilmu dan menjadi pintar.
Namun,
manakala sebuah pohon hidup dia harus bertahan dari hama dan penyakit.
Sebuah cobaan
menyakitkan sedang menunggu para alim. Inilah cobaan bagi orang alim, yakni dibutakan dari
kesalahan diri sendiri, namun dibuka lebar terhadap kesalahan orang lain.
Berbahaya bukan? Ibarat seseorang yang mengendarai kendaraan pribadi, kemudian ketika dia melanggar peraturan lalu lintas, tentu bukan karena tidak tahu. Namun, sebenarnya dia alim dan tahu betul
segala perturan tapi tidak memiliki kearifan untuk patuh. Pintar, alim, tujuannya adalah
untuk menjadi arif dalam bersikap.
Telah
digambarkan melalui ibadah rukun Islam ke-5. Haji dimulai dengan wuquf di Arofah, maknanya orang yang alim jangan berhenti
dengan ilmunya namun harus dilanjutkan dengan waqaf, berhenti. Tidak memperlihatkan
ilmunya tapi diwaqafkan di arofah, sebuah kearifan. Dilanjutkan dengan manaiki
jabal "naik", untuk mengetahui lebih banyak tujuan supaya tumbuh
"rahmah" sifat kasih sayang. Karena tidak mudah, maka dibutuhkan senjata
dengan kerikil untuk memerangi "setan" yakni hawa nafsu diri sendiri.
Ada
sebuah cerita, ketika Adam dan Hawa dipisahkan dari kehidupan surga. Hawa diturunkan di india,
mount everest sedangkan Adam di jeddah-jiddah. Setelah berabad-abad terpisah, pada tahun ke-300 lebih 1 hari adam
bertemu Bertemu di muzdalifah atau secara jawa diartikan sebagai "mingset"
miring, geser sedikit demi sedikit, tempat mingset. Bertemu tapi tidak sadar karena waktu
dan fisik mereka yang sedikit berubah. Hawa dan Adam ketika di surga memiliki
tinggi 300 hasta, dengan ridho Allah oleh malaikat Jibril disusutkan menjadi
100 hasta. Setelah proses
pengamatan dan pengenalan kembali akhirnya mereka tahu dan sadar. Selayaknya
suami istri yang sudah terpisah sekian lama, kasih sayang yang itu meluap
dikenal dengan kata "rahmah". Dilanjutkan dengan jam'a, berkumpul berhubungan
suami istri untuk
pertama kali sejak diciptakan.
Kisah tidak berakhir disitu, suatu ketika iblis datang membawa anak kecil.
Naluri kasih seorang ibu Hawa melarang untuk berbuat buruk terhadap anak
tersebut. Namun Adam sebagai pemimpin yang tegas memutuskan untuk memusnahkan
anak tersebut. Dengan berbagai cara, muali dari ditikam, dicekik, ditenggelamkan, tidak ada satupun usaha
tersebut berhasil membunuh sang anak. Apa yang terjadi selanjutnya? akhirnya Adam dan Hawa
memutuskan untuk memakan anak tersebut. Inilah sebenar-benarnya tujuan Iblis yakni agar iblis bersatu dg diri
manusia, menjadi sifat.
Jadi, hakikatnya
melempar batu adalah membunuh dan melempari keiblisan dalam diri sendiri. Perasaan lebih
dari orang lain adalah sifat iblis. "Saya terbuat dari api, sedangkan
manusia da ri tanah, saya lebih mulia dari manusia". Untuk itu, harus
diimbangi dengan ibadah agar mendaparkan kearifan, rahmah. Ada sebuah hadist
menyebutkan "barangsiapa yang mengamalkan dari apa yang diketahui maka allah akan mewariskan
ilmu yang tidak dia ketahui".
Disinilah mata rantai itu dimulai, jika raga sudah digunakan untuk
beribadah, maka jiwa akan bisa merasakan nikmatnya agama. Namun, sama-sama
beribadah belum tentu rasanya sama, karena pengetahuan tentang ibadah
berbeda-beda. Karena
rasanya tidak sama, maka timbul kepercayaan (iman) terhadap agama juga
berbeda2. Iman yang paling kuat adalah milik Rasulullah dan para sahabat. Seandainya
iman abu bakar dibagi, maka tidak akan yang kekurangan. Pintar tapi berbuat
maksiat timbul karena rasa iman yang berbeda tersebut. Tugas Rasulullah adalah untuk
menyempurnakan akhlak. Maka, kita sebagai manusia harus belajar, ibadah, sehingga timbul spiritualitas. Dari
situ akan merasakan nikmatnya iman, dan iman akan membentuk kearifan akhlak.
Maka sebaik-baik
iman akan
tercermin dari indahnya akhlak.
Wallahua’lam bi showab.
Darun Nun - Malang, 18
September 2016, 23.11 wib.
0 komentar:
Posting Komentar