Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Terlantar Tingkat Internasional
Oleh: Farla Aunun Siha
Bunyi khas
kereta api mengalihkan pandanganku, teriakan kegembiraan kawan-kawan menambah
semarak stasiun, isak tangis penuh haru mewarnai kepulangan kami sore itu. Iya,
kami adalah rombongan Praktek Kerja Lapangan Integraif (PKLI) 2016 dari FITK UIN Malang yang ditugaskan di Negara
Thailand yang mempunyai perbatasan laut dengan Indonesia, dan aku menjadi salah
satu dari 45 mahasiswa yang diberangkatkan. Kebetulan dari dari 45 mahasiswa
yang diberangkatkan ke thailand, ada 2 kloter kepulangan karena ada perbedaa
jadwal tiket pesawat. 33 mahasiswa berangkat pulang terlebih termasuk aku, sisanya
akan tiba di Bangkok esok hari.
27 hari lamanya aku diijinkan menengok matahari di
Thailand. Negara yang banyak orang menyebutnya sebagai negeri Gajah Putih atau
Negeri Seribu Pagoda. Tugasku adalah mengajar dan belajar. Mengajar di salah
satu sekolah di Thailand yang telah di tentukan oleh pihak kampus dan belajar
tentang Thailand yang juga tidak kalah menarik untuk di dipelajari.
Aku ditempatkan di Thailand bagian selatan, tepatnya di Chariyahthamsuksa
Foundation School of chana, Provinsi Songkhla. Wilayah Thailand selatan ini
memiliki garis pantai terpanjang dibandingkan dengan wilayah lain dan bagian
barat berbatasan langsung dengan Negara Malaysia. Di wilayah ini, mayoritas
penduduknya beragama muslim, karena dulunya berdiri kokoh kerajaan Pattani
sebuah kerajaan Melayu islam sebelumya akhirnya ditakhlukan oleh kerajaan Siam.
Tak heran jika banyak penduduk Thailand selatan yang pandai berbicara melayu. Hal
itu sangat memudahkanku untuk berkomunikasi dengan mereka karena bahasa melayu
masih serumpun dengan bahasa Nasionalku meskipun ada beberapa kosakata melayu
yang berbeda dengan Indonesia.
“Far, ndang maem?”. Suara temanku itu membuyarkan
lamunanku, membuatku memutar kepalaku yang sejak tadi hanya menikmati pemandang
luar dari balik jendela kereta api ke arah makanan yang telah disiapkan untuk
bekal perjalanan di kereta api dari chana menuju Kota Bangkok. Karena
perjalanan memakan waktu sangat lama, maka aku dan teman-temanku membawa bekal
makanan yag cukup banyak. Dari stasiun Chana berang pukul 17.30 dan
diperkirakan sampai stasiun Bangkok tiba pukul 11.30 esok harinya. Wowwww,
perjalanan terpanjang yang pernah kulakukan dengan menumpangi kereta api.
Pukul 05.00 aku terbangun kemudian menunaikan shalat
shubuh di dalam kereta. (Waktu shalat di Thailand mundur sekitar satu jam di
bandingkan dengan Indonesia). Setelah selesai, tiba-tiba perutku berbunyi
seperti suara drumband yang tandanya aku sedang lapar. Akhirnya aku memutuskan
untuk berjalan ke tempat teman-temanku yang lain yang kebetulan mendapat jatah
tempat duduk di gerbong belakangku. Dugaanku benar, di sana banyak sekali yang
bisa dimakan. Hehe.
Jendela kereta api kubuka sambil menikmati camilan
pengisi perut. Angin sepoi-sepoi, udara dingin, ditambah lagi dengan suguhan pemandangan
yang mampu mempesonakanku. Iya, kereta api kami melewati jalan pesisir pantai. Jadi
aku dan teman-teman dapat melihat pantai dari dalam kereta. Diiringi dengan
celoteh teman-teman yang berbagi cerita tentang pengalaman mereka selama
mengajar di thailand, menambah pagiku semakin seru.
Sekitar pukul 11.30 rombonganku telah tiba di stasin
Bangkok. Karena jadwal pesat kami adalah keesokan harinya, maka kami harus
menginap sehari di Bangkok terlebih dahulu seperti halnya awal kedatangan kami
di Thailand. Suasana Bangkok persis dengan yang di Jakarta, bedanya di Bangkok
macetnya tidak separah yang ada di Jakarta. Cuaca panas dan polusi menjadi
teman setia kami dalam perjalanan dari stasiun menuju hotel tempat kami
menginap.
Tak banyak yang kulakukan di Bangkok kali ini. Tidak seperti
teman-teman lain yang memutuskan untuk menikmati suasana malam di Bangkok, juga
tidak seperti awal kedatangan ku di Bangkok tempo hari yang ku habiskan dengan
jalan-jalan. Badan masih terasa pegal karena harus duduk berjam-jam di dalam
kereta api. Akhirnya aku memutuskan untuk istirahat di dalam kamar sambil
menikmati acara tv dan menunggu Alfida yang kebetulan satu kamar denganku
pulang dari jalan-jalannya.
“ayo nyari sarapan far? Pintanya kepadaku. Pagi itu, aku,
dan 4 temanku pergi ke luar untuk mencari sarapan. Suasana bangkok masih tetap
sama dengaan Jakarta di pagi hari. Kedaraan umum maupun pribadi berlalu lalang
mengantarkan penumpangnya untuk bekerja atau bersekolah. Banyak juga di antara
mereka yang meilih untuk berjalan kaki. Toko-toko di pinggir jalan sudah mulai
buka. Pedagang sarapan di trotoar pun juga sudah mulai menjajakan dagangannya. Banyak
sekali kutemui pedagang-pedagang melayu yang menjual makanan di sekitar tempat
penginapanku. Kebetulan di daerah penginapanku banyak orang muslim yang
ditinggal untuk bekerja ataupun bersekolah.
“telur maneh, telur maneh” batinku. Aku memang sedikit
mengeluh, karena selama di Thailand makanan yang bisa ku makan hanyalah telur. Selain
itu tak ada lagi yang bisa kumakan, karena kebanyakan mereka memasak daging,
mulai dari daging yang diolah hingga berwarna merah, orange sampai warna hijau
pun ada. Sulit sekali mencari sayuran. Kalaupun ada itu hanya sayur sawi yang
dicampur di nasi goreng yang hanya beberapa helai saja. Atau kalau ingin makan
sayur kangkung harus mencari di tempat yang jauh dan harganya pun relatif
mahal. Ada lagi makanan yang unik bin aneh, yaitu nasi kerabu. Nasi berwarna
biru itu biasanya ditemani dengan sayuran warna hijau, dan kecambah yang
mentah. Saat pertama kali aku disuguhi itu, kukira itu semacam nasi krawu yang
ada di Jawa, tapi setelah kumakan...eitsss, aku dan teman-temanku bahkan sensi
dengan kata nasi krabu.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 siang. Saatnya rombongan
segera menuju bandara Dong Mueng. Jadwal pesawat kami adalah jam 16.00, tapi
karena untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, kami
berangkat lebih awal. Jalanan Bangkok sangat ramai, cuaca menunjukkan angka 34
derajat celcius. Kulihat teman di dalam bis banyak yang tertidur karena
kelelahan.
Memakan waktu sekitar 1 jam untuk sampai di bandara Dung
Moeng. Setibanya di sana, aku dan teman-teman menunggu sebentar untuk chek
in. Hingga akhirnya sekitar pukul 13.00 kami dipersilahlan untuk check
in. Namun saat giliranku dan mbak dany, teman yang memesan tiketnya sama
denganku, ternyata ada masalah di tiket kami berdua. Tanggal kepulangan yang
tertera di tiket dan yang ada di sistem pemesanan tidak sama. Seharusnya kami
berdua pulang ke Indonesia esok hari, dan bukan hari itu. Oh, Allah, rasanya
ingin nangis. Beberapa teman laki-laki mencoba bernegosiasi dengan pihak
maskapai agar kami berdua bisa pulang hari itu, tapi tetap saja tak bisa. Dengan
dada bergemuruh, dan tetap menahan menahan tangis agar tak merobohkan bandara,
aku dan mbak dany dengan terpaksa harus menginap di Bangkok semalam lagi
bersama dengan rombongan teman-teman kloter kedua. Keadaan waktu itu kami
berdua tak mempunyai cukup uang saku untuk tinggal di Bangkok, paketan data
yang bisa dipakai menggunakan nomer Thailand pun juga telah habis. Akhirnya
kami dipinjami uang dan nomer untuk menghubungi teman-teman lain yang masih
perjalanan menuju Bangkok.
Kebetulan waktu itu, kami dikawal dengan pak Dekan dan 2
orang perwakilan dari fakultas. Sehingga beliau-beliaulah yang juga membantu
kami berdua untuk balik lagi ke hotel. Kami balik ke hotel menggunakan taksi. Di
dalam taksipun, kami berdua hanya bisa meratapi kebatalan pulang. Karena tadi
oleh pak dekan, si sopir taksi telah diberi arahan melalui telpon dari mas
ridho yang bisa berbicara Thailand tentang hotel tempat kami menginap, jadi
kamipun hanya bisa diam di dalam taksi dan menunggu sampi taksi berhenti di depan
hotel.
Sesampainya di hotel, ternyata aku mendapat telepon dari
mas ridho yang megawal rombongan kloter kedua bahwa mereka tidak menginap di
hotel yang sama, namun menginap di hotel yang lebih murah di jalan 51/6.
Walhasil kamipun bergegas mencari jalan tersebut. Kami berdua harus
bertanya-tanya kepada orang sekitar, tentunya dengan menggunakan bahsa Inggris.
Jarum jam menunjukkan pukul 16.15, kami tak kunjung
menemukan jalan tersebut. Rasanya seperti di film-film. Menyusuri jalanan kota
Bangkok yang panas berdua sambil menenteng koper di tangan kanan, memanggul tas
ransel di belakang, ditemani suara gemericik perut yang mulai lapar, dan
dehidrasi tingkat akut. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat sebentar di
salah satu gang. Masih dengan nafas yang terengah-engah dan keringat yang
bercucuran membasahi baju dan jilbab kami berdua, kami duduk di salah satu
tempat. Selang beberapa menit kemudian, aku mendengar suara pesawat, segera aku
mendongakkan kepalaku ke atas. Dengan cemburu aku melihat pesawat itu
menghiraukan pandanganku. “ah, pasti itu mereka”, gumamku. “seharusnya saat ini
aku sudah ada di dalam pesawat, tapi malah terlantar tak jelas di tempat asing
ini”, batinku sambil tetap menahan agar tangisku tak pecah.
Kemudian kami berdua memutuskan melanjutkan perjalanan
lagi menemukan jalan tersebut. Hingga akhirnya kami menemukan sebuah masjid
agak besar sesuai dengan petunjuk mas ridho. Kami berdua masuk ke masjid,
melepas alas kaki dan duduk di serambi masjid dengan sedikit melepas lelah. Di masjid itu, aku merasakan suasana kesejukan dan kental akan
kegiatan islami. Selepas maghrib terdapat pengajian kitab tasawuf yang dipimpin
oleh salah satu ustadz besar di masjid tersebut Kami bergantian untuk shalat maghrib. Aku masuk
mencari tempat wudhu, dan bertanya kepada seorang laki-laki berkopyah putih
yang sepertinya seorng ustadz di masjid itu.
Aku : “Assalamu’alaikum.
I’m sorry, Can you help me, where is wudhu place?”
Ustadz : “wa’alaikumusalam.
Yes yes..(sambil menunjuk ke arah tempat wudhu)
Where are you from? Filipina?
Aku :”No, I’m
from Indonesia.
Ustadz :”owww,
Indonesia. I like Indonesia. Tafadhdhol Hunak”
Aku :”Na’am, Na’am,
Syukron.
Setelah selesai wudhu aku segera menuju ke dalam masjid. Saat
melewati ruang tengah masjid, aku bertemu dengan ustadz tadi. Kali ini dia
bersama dengan temannya yang sepertinya juga ustadz. Mereka melihatku dengan
tersenyum kemudian memanggilku.
Ustadz : “Hai...Indonesia”
Aku : aku hanya
tersenyum
Ustadz : “you study
in Thailand?
Aku : “No, I
will come back to Indonesia tomorrow”.
Ustadz : “ow
ilalliqo’
Aku : “syukron
katsir ustadz”.
Setelah shalat
maghrib, aku baru sadar kalau tenggoronkan terasa kering sekali. Mbak dany pun
juga merasa demikian. Kemudian aku memutuskan untuk mencari minuman dan mbak
dany yang menjaga barang-barang di masjid. Dari sepanjang jalan tak kutemui
penjual minuman mineral. Yang ada hanya minuman-minuman mahal. Akhirnya aku
balik lagi ke masjid. Sesampainya di masjid, aku bertemu dengan seorang
perempuan bercadar. Dia menyapaku ramah. Ku pikir dia juga orang baru di
Bangkok dan mau menanyakan tempat wudhu. Dengan PD-nya aku memberikan petunjuk
tempat wudhu. Kemudian dia menjelaskan padaku bahwa dia adalah orang Thailand.
Aku pun malu gag ketulungan. Aku juga menjelaskan menggunakan bahasa Inggris bahwa
kami berdua dari Indonesia sedang menunggu teman-teman yang lain. Dengan sedikit
basa basi, aku menanyakan tempat yang menjual minuman. Kemudian dia menawarkan
diri untuk mengantarku membeli minuman. Aku pun dengan semangat mengiyakan. Sepanjang
perjalanan kami mengobrol banyak tentang thailand dan Indonesia menggunakan
bahasa campuran. Bahasa inggris, melayu, dan arab.
Aku: “namo, siapo?
Fathonah: saye fathonah. Kamu?
Aku : saya
farla. Antum study di sini?
Fathonah: na’am. Saya study di Universitas Fathoni.
Aku : (Aku
tersenyum mendengar universitasnya). Samo dengan nama antum. Hehe.
Fathonah: hehe. Na’am farla. Elok nama itu. Farla beli
makan juga ya. Saya belikan. Saya tahu tempat yang halal.
Aku : Tak usah
fathonah, terimaksih. Saya beli roti sajo.
Fathonah: Jangan roti, di situ tak halal. Di sana ada
nasi goreng dan ayam.
Aku : “heh??”
ndak halal??. Gumamku. Lha wong kemarin aku habis satu bungkus ki. Waduh, batinku”.
Akhirnya aku hanya membeli air mineral saja. Kemudian segera
kembali ke masjid karena mbak dany pastinya sudah menunggu lama. Sekitar pukul 20.00, rombongan kloter kedua datang. Kami pun
langsung menuju tempat penginapan yang letakknya tak jauh dari masjid tersebut.
Sesampainya di penginapan, kami langsung meletakkan barang-barang dan pergi
membeli makanan. Setelah selesai makan, aku dan megha temanku sekamar kangsung
kembali ke penginapan untuk istirahat.
Seperti halnya kemarin, pagi itu aku, megha dan mbak
dany pergi membeli sarapan. Tak lama-lama, karena kami harus segera
mempersiapkan barang-barang. Pukul 09.00 kami berangkat menuju bandara Dong
Mueng. Setelah semua dirasa cukup. Semua rombongan menuju ke bis. Pagi itu
jalanan kota Bangkok sudah ramai, sehingga kami sedikit lebih lama menyeberang
karena bis yang akan kami tumpangi berada di seberang jalan.
Kebetulan bis kami berhenti di depan Ramkhaeng University, salah
satu kampus terbesar di Thailand, sehingga kami pun menyempatkan diri mengambil
foto di depan kampus. Pukul 10.00 kami langsung menuju bandara.
Sampai di bandara kami juga harus menunggu terlebih dahulu hingga
pukul 13.30 untuk keperluan check in. Pesawat kami berangkat 16.10. Sehingga
cukup lama kami berada di bandara untuk menunggu keberangkatan pesawat.
Alhamdulillah, di bandara ada beberapa orang Indonesia yang juga akan berangkat
menuju bandara Juanda, sehingga kami tak merasa bosa karena bisa bercakap-cakap dengan orang Indonesia.
Selama di dalam pesawat, aku juga berkenalan dengan salah seorang
ibu-ibu yang baik hati dan ramah. Selama perjalanan aku terlibat obrolan santai dengan beliau tentang
kegiatan beliau selama di Thailand juga tentang kegiatan PKLI ku.
Sekitar pukul 20.00 kami serombongan tiba di bandara juanda. Travel yang
menjemput pun sudah menunggu di pintu keluar. Kebetulan hanya ada 7 orang dari
15 yang pulang ke malang. Selain itu, mereka langsung pulang ke kampung halaman
masing-masing.
Pengalaman
adalah guru terbaik. Mungkin itu kalimat yang pas. Pengalaman mengajar
di Thailand telah mengajariku tentang kemandirian, kerjasama, toleransi. Banyak
sekali pelajaran yang bisa ku ambil dari pengalamanku mengajar di Thailand.
Mulai dari bagaimana aku harus berkomunikasi dengan orang baru apalagi dengan
bahasa yang berbeda, belajar bermasyarakat dengan mereka yang mempunyai budaya
yang berbeda, belajar menjadi guru yang kreatif dan inovatif dalam proses
belajar mengajar. Banyak pengetahuan tentunya tentang sistem pendidikan dan
manejemen sekolah di Thailand yang juga berbeda dengan yang ada di Indonesia.
Pengalaman, pengetahuan inilah yang nantinya akan menjadi bekal ku untuk mengabdi untuk agama, bangsa dan negaraku
tentunya.
0 komentar:
Posting Komentar