Apa ini la?
Ini an, (dia mulai mengeluarkan banyak barang dari
tas tangannya yang cukup besar)
Hah?! Banyak banget
Iyo an... piye iki? Aku bingung lho... (bagaimana ini?
aku bingung lho)
Lala ini adalah siswi paling
pintar di kelas kami semasa sekolah dulu. Namun karena nasib yang berbeda, kami
dipisahkan dengan tingkat pendidikan yang berbeda pula. Ketika lulus sekolah
menengah atas, aku memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang sarjana bagaimanapun
jalannya. Sedangkan Lala, dia harus berhenti di langkah pertama. Waktu itu,
tahun 2011 jalur penerimaan mahasiswa baru tidak sebanyak sekarang ini. waktu
itu, yang kami tahu hanya ada 3 jalur yakni jalur undangan yang hanya
diperlukan nilai raport, jalur tertulis SNMPTN tulis istilahnya yang di lakukan
serempak nasional, danyang terakhir adalah jalur mandiri tertulis yang diadakan
setiap kampus secara mandiri tentunya. Lala berhenti di jalur pertama karena
berbagai alasan yang tak dapat diceritakan kepada kami. Sedang aku dan kami
berempat yang lain memilih untuk tetap berjuang. Tentu dengan cara kami
masing-masing.
Oh iya, kami merupakan sahabat
yang terdiri dari 5 orang bersaudara. Lala, Alvin, Mira, Iflah, dan aku, kami
dipersatukan di salah satu Sekolah Menengah Atas Islam Negeri terbaik di
kampung kami. Tentu saja cuma sekolah kami sekolah islam satu-satunya yang
berstatus Negeri disini. Cerita berawal dari sini, sebuah sekolah yang terletak
di tengah desa, jauh dari bising kota dengan hingar bingarnya. Bayangkan saja,
untuk mendapat akses internet harus berjalan ke kota kecil yang berjarak +
7 km. Disinilah, sebuah sekolah dengan gerbang berjumlah dua, berwarna hijau. Sebuah
bangunan berlantai dua, saat itu merupakan bangunan tertinggi di desa itu. Di
depan kelas terdapat pohon mangga podang yang pasti akan diserbu habis begitu
nampak berbuah.
Sewaktu masa-masa bersekolah
tidak berbeda jauh dengan siswa pada umumnya. Sibuk dengan organisasi,
berangkat pagi pulang malam, sibuk menyiapkan berbagai event, mulai dari
merintis majalah sekolah sampai berlomba di luar sekolah menjadi hal yang
membumbui hari-hari kami. Aku yang lebih suka bergumul dengan dunia Pramuka,
teater dan drumband. Mira yang lebih bahagia dengan kegiatan Qiro’ah, sedang
Alvin dan Iflah bersama-sama kami berjuang di Pramuka. Lala? Dia adalah anggota
yang paling jenius diantara kami berlima. Senantiasa mendapat nilai tertinggi
untuk semua mata pelajaran, terutama Fisika, juara kelas, gadis paling cantik
dan populer di sekolah, seorang aktivis OSIS yang pandai dalam segala bidang. Kami
memang memiliki keahlian masing-masing. Iflah dan Alvin dengan ilmu agama dan
bahasa Arabnya. Mira dengan sastranya, aku dengan Biologi dan Bahasa Inggris,
Lala? Tak perlu lah kalian pertanyakan lagi kemampuan dia.
Kami diberi waktu bersama lebih
banyak, selain karena sejak kelas 1 sudah kai sudah sangat akrab. Kami juga
dipersatukan di ektra Drumband, Lala dengan Bass nya, aku dengan Drum ku, Alvin
dan Iflah dengan Marcing bell, Mira? Terakhir dia menjabat sebagai mayoret yang
cantik dan tinggi semampai. Kalian tau, kawan-kawan ku ini para gadis yang
cantik, aktif, pandai, dan mudah bergaul. Jika kuceritakan tentang mereka, tak
akan pernah cukup kertas yang ada untuk
menuliskan kisah kami ber-5.
Lhoo... pean lho, kok gelem se
oleh penggawean koyok ngene? (lhoo... kamu kok mau dapat kerjaan kayak
gini?)
Aku gak tego Ann, aku gak iso
nolak (aku gak tega Ann, aku gak bisa nolak)
Kutepok jidatku sampai
berkali-kali mendengar alasan aneh yang keluar dari lidahnya. Lala... lala...
terkadang kau terlalu baik untuk jadi teman.
Wes kene, tok no kertasmu seng
elek-elekan ae. Terus tulisen kapan kate marekne iki. (sudah sini,
keluarkan kertasmu yang jelek, terus kamu tulis kapan mau ini selesai)
Iyo Ann
Lala mulai membuat
coretan-coretan berupa tanggal dan deadline yang dia butuhkan.
Lala memang tidak kuliah seperti
kami, tapi kepintarannya tetap tidak berkurang sama sekali, itu hal yang
kupercayai. Aku sangat terkejut mana kala dia mendatangiku dengan segebok
kertas yang penuh dengan tulisan dan catatan semacam jurnal penelitian. Iya,
dia diminta seorang kawannya untuk mengerjakan sebuah penelitian yang tentu
saja tidak mudah. Bagaimana bisa, seorang calon sarjana justru menggantungkan
nasibnya pada seorang gadis lulusan SMA? Sungguh tak habis fikir aku dengan
jalan pikiran orang tersebut. Terlebih lagi, caranya meminta pada Lala kurang
manusiawi. Biarpun dia akan membayar dengan rupiah yang lumayan banyak bagi
Lala, tapi harga 1,5 juta adalah harga yang sangat rendah bagi kami yang tahu
tarif untuk mendapat gelar sarjana. Apalagi sarjana dari bidang teknik yang
lumayan sulit ini.
Baiklah, aku memang tidak suka
dengan segala hal yang berhubungan dengan co-past. Segala sesuatu yang benar
dan baik adalah berasal dari pemahaman yang mendalam mengenai suatu hal, bukan
yang bersifat instan. Bahkan membuat mie istan pun harus melalui proses
merebus, dan mencampur bumbu terlebih dahulu. Sekarang yang menjadi pertanyaan
buatku apakah Lalal dapat menyelesaikan penelitian ini? dia bahkan tak pernah
belajar tentang hal seperti ini.
Ann... ngene? (ann... beginikah?)
Lala memang cerdas, bagaimana dia
bisa tahu susunan sebuah laporan penelitian berupa skripsi seperti ini?
bukankah ini pertama kalinya dia mengerjakan proyek semacam ini?
Ooh... iyo La, ayo wes mulai
teko minggu pertama. Eh, kok warnane biru? Eh... kok warnane bedo-bedo? Maksude
opo iki La?
Ngene Ann... aku ki bingung
mulai ne teko endi, dadi seng warna biru iku bahas variabel 1, terus seng ijo
iku variabel 2, seng kuning variabel 3. Ngunu Ann...
Wah! Lha seng abang iki La?
Iku wektu kapan aku mbahas
Ann...
Ooh... ngunu tho. Pinter amu La
Melanjutkan jalan pikiran Lala
tidak sesulit mengajari anak SD untuk membuat sebuah urutan taksonomi tanaman
yang baru ditemukan di pekarangan rumah. Namun, inilah saat yang paling
kurindukan sebenarnya, yakni berkumpul bersama tanpa ada rasa malu ataupun
sungkan. Bodo amat dengan gelar pendidikan. Toh itu bukan acuan untuk bagusnya
kepribadian seseorang, dan kedalaman hati persahabatan.
Amanah Al Mubtada, 10.33 Wib, Senin, 15 Agustus 2016
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar