Indah Nurnanningsih
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Merumbai puncak di ketinggian
Menatap senyum dari jauhnya pandang
Bagi mata generasi puncak
Bolehkah aku bersua?
Terima kasihku untuk sebulan!
Tangkil, 23 Agustus 2015
Hidup di tengah pegunungan terkadang bukan hal yang mudah
untuk diukir. Berlari dari keramaian kota, merangkul jejak - jejak alas dan
rimba ala orang desa. Memang benar bahwa dimana tempat kita berpijak, maka disitulah
sebuah kisah baru akan diukir. Pengabdian merupakan suatu proses pembiasaan
yang melahirkan sejuta pengalaman. Dan ini terbukti nyata dialami.
Sebelumnya, saya pribadi senantiasa berharap yang terbaik
untuk kegiatan KKM 2015. Doa yang terbaik senantiasa terpanjatkan sebelum
pendaftaran, pengumuman, maupun ketika akan memulai proses. Layaknya sebuah
pernikahan, kegiatan ini merupakan Gold Moment. Tidak menjadi jaminan
bahwa hal ini akan terulang, lantaran hanya sekali seumur hidup selama menjadi
mahasiswa. Begitu pula dengan pengalaman, kenangan dan seluk beluk yang akan dihadapi.
Hal inilah yang seringkali saya koarkan kepada teman – teman KKM 242 agar nantinya
mampu menjalani dengan optimal serta penuh tanggung jawab.
Ditempatkan pada
lokasi yang istimewa merupakan bentuk tantangan tersendiri. Dengan lokasi kecamatan
yang berada paling ujung perbatasan, disusul dengan desa yang begitu luas cakupannya, juga dusun yang
berada paling ujung dari segala dusun, membuat kami agaknya berfikir. Perjalanan
yang ditempuh memakan waktu 2,5 jam untuk sampai di gerbang masuk Desa Pait,
Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang. Belum lagi mengojek naik turun gunung
untuk bisa sampai di lokasi masjid yang dimaksud, memerlukan waktu tempuh
setengah jam dengan jarak 8 kilometer. Ditambah dengan rumah singgah yang bukan
main tingkat kecuramannya. “Benar – benar menguras tenaga!”, gumam salah
seorang teman.
Saat pertama kali tiba, kami bergegas menuju kamar mandi yang
air tampungnya bersuhu es. Ups! sebuah kenyataan lagi dan lagi harus siap kami
terima, bahwasanya kami tidak menemukan salah satu sarana pemenuhan kebutuhan
sehari – hari. Ya, WC lebih tepatnya. Otak kami berputar kembali. Menyadari
ketidakbiasaan ini seakan membuat kami ingin menempati rumah singgah yang lain
saja. Kalau kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak”. Menurut cerita yang
sudah beredar, kami memahami jika setiap rumah singgah para pengabdi masyarakat
jelas memiliki kekurangan dan kelebihan. Bukan pengabdian namanya kalau dalam
hati masih saja terselip unsur pilih – pilih kesenangan pribadi. Namun menyadari
semua itu, sempat bergumam dengan semua kenyataan yang ada, “Apa tidak ada hal
lain yang tidak akan kami keluhkan di Dusun Tangkil ini?”
Perlahan kami mulai terbiasa. Perlahan pula ribuan tawa
berhasil tercipta. Kami mulai lupa dengan hal – hal berat sebelumnya. Kesibukan
lain menjadikan para anggota berhenti memikirkan perkara yang dirasa sudah cukup
untuk dikeluhkan. Kesimpulaannya, “Ah, ya
sudahlah”. Kami mulai fokus pada masalah pendataan dan pemetaan, serta mengenai
bagaimana mengenal dan mempelajari kondisi warga. Berhadapan dengan berbagai elemen masyarakat menjadi
kecenderungan yang mau tidak mau harus dirasakan pada setiap tahapan. Menjalin silaturahmi secara menyeluruh telah
menjadikan modal kami dalam proses penyesuaian dengan masyarakat. Dari kalangan
tua, muda, utamanya usia anak sekolah yang menjadi fokus dalam program kerja. Dengan
segala rasa syukur bahwa masyatrakat Dusun Tangkil sangat mudah untuk
digerakkan. Betapa tidak, jika melihat fenomena yang terjsadi di tempat lain. Keramahan
dan kesahajaawarga membuat gerak kami lebih mudah.
Di dusun yang dihuni oleh tiga elemen kepercayaan yang
berbeda – beda ini kami melakukan beragam aktifitas kepengajaran. Mengajar ketika
pagi dan sore, tentu didalamnya kami menemukan sesuatu yang baru. Keakrabanpun juga
yang nampaknya kian terjalin. Di setiap harinya, rumah singgah sudah pasti
ramai dengan suara – suara mereka. Gustaf, Maman, Effa, Iid, Irvan, Ivada,
Risma, Farkhan, Dita dan Shinta, deretan nama yang sudah melekat di benak
mereka. Tahap demi tahap saya dan teman – teman mencoba mendekati mereka,
begitu juga dengan yang dilakukan teman – teman lain. Mencoba memahami segala
fenomena termasuk gejala sosial yang terjadi. Lebih mendekat agar diri mampu
menangkap problematika. Masih teringat di benak ini saat awal mula kedatangan
para anggota KKM di sekolah dasar yang jumlah total muridnya tidak lebih dari
40. Nyatanya memang terdapat banyak hal mencengangkan jika dibandingkan dengan
apa yang biasa saya temukan dalam keseharian. Rata – rata mereka akan berhenti
bersekolah ketika mereka telah mencapai kelulusan di tingkat Sekolah Dasar. Mereka
akan hidup untuk membantu mata pencahariaan orang tuanya sebagai petani, atau
bisa jadi sebagai peternak sapi. Sebagai Berbagai pertanyaan pun meluncur, “Kak
sampai kapan?”, “Kakak jangan pulang!”.
Saat hari berjalan di hitungan ke empat, kami masih melakukan
aktifitas seperti biasa, bercengkerama dengan mereka di siang hari disamping
mengurus keperluan program. Namun ada yang tidak biasa di hari itu. Sekelompok
anak perempuan datang dengan rasa sungkan dan agaknya ingin menyodorkan
sesuatu. Mereka adalah Tika, Winda dan Mitha, siswi kelas 6 yang kerap kali
berinteraksi dengan anggotan perempuan di kelompok 242. Sontak saja, mereka ternyata membawakan kami
hadiah sebuah boneka beserta sebuah buku bertema hello kitty. “I LOVE
YOU”, begitulah yang tertera dalam dada boneka beruang hijau yang mereka beri.
Disiis lain kamipun membuka beberapa halaman dari isi buku yang diberikan. Terlihat
gambar dan kata – kata yang tidak biasa. Seperti inilah bunyinya:
Lebih baik berpendidikan seperti KKN, daripada
berpendidikan tetapi tidak pernah shalat. Yase, Soni dan Dimas Love KKN.
Saya tidak percaya setelah menerima bukti – bukti tersebut. “Dino
iki dino kepiro yo, rek?” (Hari ini hari Ini hari ke berapa rek?) pungkas salah
seorang kawan saya. Hal yang tidak kami
duga sebelumnya ternyata bisa saja terjadi. Mengapa bisa secepat itu untuk
merasakan kasih sayang kepada sosok yang belum genap seminggu mereka kenal?
Benar – benar membuat kepala bergeleng – geleng. Bahkan hari demi hari hadiah
lainpun kami menerima kenang – kenangan berupa buku cerita, photo frame, juga
yang bagi mereka hal tersebut begitu wow. Mendekati hari – hari terakhir, bahkan adapun salah
satu dari mereka yang memberikan hadiah kenang – kenangan berupa buku pedoman
kitab suci yang ia yakini. Benar – benar sesuatu!
Mengetahui hal ini, saya berfikir bahwa setidaknya mereka brpotensi
untuk dapat dibimbing menjadi lebih baik lagi. Hmm.. jika sudah begini, saya
rasa minat yang ada dalam diri mereka bukan berarti tidak dapat ditingkatkan. Ditambah
lagi, kebiasaan mereka yang akan menjemput kami jika para peserta KKM tak
kunjung datang di tempat mereka belajar.
Inilah yang dinamakan kemungkinan besar untuk suatu hal dapat
diwujudkan. Mengadakan lomba, memberikan mereka bimbingan menjelang lomba yang
akan dihadapi, menjadi bagian dari langkah dari eksekusi yang satu ini.
Kemanapun mereka diminta untuk berkompetisi, kamipun senantiasa membimbing dan
mendampingi demi hasil terbaik. Memang tidak mudah dalam melatih mereka untuk
memiliki jiwa berkompetisi. “Kak capek!” itulah bunyi yang sering kali saya
dapati bersama teman saya, Effa saat membimbing dalam perlombaan. Namun tidak
ada yang tidak mungkin, kami bahagia karena mereka berhasil membuktikan meski
dengan segala keterbatasan yang ada.
Menjelang hari perpisaahan tiba, maka jangan ditanya dengan
apa yang terjadi. Pada saat itu saya berkesempatan menyampaikan pidato
perpisahan yang berisi pesan dan kesan terkhusus bagi mereka. Air mata dari
guru – guru yang selama ini ikut membimbing kamipun ikut menetes. Bagi murid –
murid? Sontak tiada henti mereka mengeluarrkan tangisan. Hal – hal inilah yang
menjadikan kami merasa berharga.
Nyatanya saat ditelusuri, kondisi psikologislah yang
melatarbelakangi mereka cenderung demikian. Haus akan kasih sayang dan arahan
dari yang lebih tua. Peran orang tua begitu diperlukan dalam mendukung mereka
menjadi bersemangat dalam bersekolah. Selama ini terkadang orang tua begitu fokus
dengan duni kerja masing – masing. Hal ini mengarah pada contoh yang kami
temukan, seorang anak dalam kesehariannya menjadi sorotan dalam keseharian kami
di Tangkil. Mahmud namanya, seorang anak yang agaknya brutal di mata teman –
temannya. Akan tetapi ketika sudah bersinggungan dengan kami, ia lantas
berubah. Sedikit bertanya – tannya, namun memang inilah yang terjadi adaya.
Kepada kami, ia berperilaku hangat dan penuh dengan rasa manja. Butuh perhatian
dan kelembutan dalam mendidik anak – anak.
Disisi lain, sekian dari sejuta alasan yang ada mengarah pada
taraf pendidikan yang dimiliki. Ya, dalam kartu keluarga satu persatu dari
kartu keluarga yang ada, sayapun tak
menemukan anak remaja seusia kami yang menetap disana. Rasanya menjadi kurang
seimbang dengan tidak adanya sosok yang dapat mereka jadikan rujukan dalm
beajar di area rumah. Kalau adapun, dipastikan mereka sudah berkeluarga hingga
memiliki momongan. Pantas bila mereka
begitu lekat dengan kehadiran orang baru. Sedangkan menjadi mahasiswa berarti
menjadi sosok yang paling bertanggung jawab akan pendidikan. Dan saya sangat
sepakat akan hal ini. Saya merasa bahwa di pundak ini terdapat tanggung jawab
moral untuk memberikan kontribusi bagi mereka, para generasi penerus kelak.
Generasi yang menghabiskan wakuya di puncak dan akan meraih kesuksesan hingga
puncaknya. Hingga detik ini, komunikasipun tak mampu putus karena kamipun benar
– benar menyayangi dan berharap besar kepada mereka. Sikap toleransi antar
beragamapun kami pelajari dari keseharian yang terjadi. Bagi saya, inilah
bahagia yang sesungguhnya.
Dari serangkaian proses pengabdian ini dapat diambil
pelajaran bahwa ada saat dimana Sang Maha Kuasa memberikan jalan yang penuh
coba, adakalanya pula jalan itu mulus tanpa terjal dan aral. Inna ma’al usri
yusro, bukan karuniaNya apabila Ia tidak menyelipkan tawa dalam suatu problematika.
Bahagia dalam menjalani proses hidup, itulah kuncinya. Ada saat dimana hikmah
itu hanya dapat dirasakan “ada” bagi segelintir orang saja. Karena manusia
dianggap mahir dalam memaknai kehidupan bukan pada saat ia mampu mengambil rasa
manisnya saja, namun ketika ia mampu menelaah hikmah dari segala yang terjadi
sekalipun ia rasakan getirnya. Lakukanlah pengabdian dengan seluruh rasa cinta,
maka engkau juga akan memetik buah yang sama. Selamat mengabdi! J
0 komentar:
Posting Komentar