Oleh:
Indah N
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia memiliki kecenderungan untuk ingin
mendapatkan segala pelayanan yang terbaik. Dimulai dari yang paling kecil,
hingga menyangkut urusan yang paling kompleks. Esensi ini tidak akan mampu
dipisahkan dari kenyataan hubungan timbal balik yang secara langsung dijalani dan
dialami manusia dalam kehidupan sehari - hari. Manusia akan senantiasa
mendapatkan pelayanan, dan sebaliknya juga dituntut memberikan pelayanan kepada
sesama. Sehingga dari hal ini muncullah konsep tolong-menolong dan tumbuhlah
itikad yang dinamakan saling mengenal. Pada akhirnya, istilah makhluk sosialpun
senantiasa melekat pada setiap individu, dengan dibuktikan bahwa seseorang akan
membutuhkan kontribusi dari pribadi yang lain. Hal inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal karakter seseorang tertanam dalam dirinya.
Merujuk pada sisi dunia pendidikan berbasis keagamaan, pesantren tidak
dapat dipisahkan begitu saja dalam kontribusinya membentuk karakter anak
bangsa. Kepribadian yang tumbuh dalam diri santri akan terlihat seiring
pertumbuhan individu baik ketika berada
pada lingkup pertemanan, keluarga, maupun masyarakat di sekitar tempat tinggal.
Dalam pokok bahasan ini, Aris Adi Laksono memiliki gagasan bahwa:
“Karakter terbentuk atas kebiasaan dan pembiasaan tertentu, dapat
diamati dalam sebuah prilaku yang ajeg, istiqomah, terus menerus. Tentu banyak
faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter tertentu, mulai dari nilai
intrinsik dan ekstrinsik. Lingkungan tentu faktor yang sangat besar
mempengaruhi karekter tersebut. Santri identik dengan lingkungan pesantren,
maka kehidupan pesantren adalah karakter yang melekat pada santri. Jiwa yang
religius, sikap sosial yang akomodatif adalah bagian dari karakteristik
lingkungan pesantren.”[1]
Pendapat diatas seakan mengiyakan bahwa lingkungan merupakan sumber
penentu besar bagi terbetuknya karakter seseorang, termasuk santri. Kepribadian
yang tumbuh dapat dikatakan bagian dari proses yang berlangsung dalam
masyarakat apabila merekapun melakukan interaksi satu dengan yang lain. Semakin
luas cakupan masyarakatnya, maka kemungkinan berkembangnya karakterpun juga semakin
tinggi. Dengan ini, pendidikan kemasyarakatan dirasa perlu untuk digagas, sebab
dari sanalah seorang santri mampu memunculkan karakternya, melihaikan tata cara
bagaimana ia harus berhadapan dengan khalayak, menggunakan jiwa sosialnya untuk
keperluan umat, dan sebagainya. Lebih-lebih mengenai cara bagaimana ia mampu agar
dapat diterima dalam masyarakat, juga dalam rangka problem solving manakala
terdapat permasalahan di dalam area yang besar.Disinilah letak keurgentan dari
suatu hidden curriculum bila sebuah golongan menerapkan pendidikan
kemasyarakatan.
Mengingat kembali bahwasanya
pesantren dinilai akan memiliki keluaran yang banyak memiliki pengaruh di
tengah masyarakat. Satu persatu peran dalam masyarakat akan dipikul juga oleh sosok santri. Dalam Tri
Darma Pondok Pesantren dipaparkan bahwa:[2]
1.
Peningkatan
keimanan dan ketakwaan pada Allah,
2.
Pengembangan
ilmu yang bermanfaat, dan
3.
Pengabdian
kepada masyarakat
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia
muliakan tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)
Seruan untuk memuliakanpun telah terpampang dalam kandungan hadits di
atas. Konsep memuliakan inipun Maka
bagaimanapun bentuk tetangga yang dipunya,
Namun sayangnya, pemaksimalan prinsip di atas belum begitu mampu
terealiasasi secara sempurna, utamanya dalam aspek pengabdian masyarakat. Dalam
beberapa tipikal pesantren tertentu, Secara realita, pesantren selama ini
memiliki ruang pembatas/sekat yang menjadikannya sebagai dinding pembatas
antara lingkup mastyarakat sekitar pesantren. Santri memiliki batasan ruang
lingkup yang terbatas, sehingga daya untuk melakukan interaksi, sosialisasi dan
segala bentuk aktifitas dengan masyarakatpun belum mampu terlihat sebagai suatu
hal yang besar. Hal ini layak menjadi sorotan.
Sehingga pada akhirnya pesantren ideal yang sesuai dengan yang ada
pada Tri Dhara Pesantren mampu diwujudkan secara realistis dan berkepanjangan. Nantinya
dalam pendidikan kemasyarakatan inipun diharapkan tidak hanya dilaksanakan
secara teoritis, akan tetapi juga secara praktis di lapangan.. Sehingga, dalam hal ini jawaban akhir dari penulis ialah
perlu, untuk diberlakukannya pendidikan kemasyarakatan. Pola yang diberikan
dalam proses pendidikan ini tentunya tidak sekedar teoritis semata, namun dapat
diwujudkan melalui hal-hal berikut:
1.
Pemberlakuan
kegiatan abdi mengajar bagi masyarakat sekitar pondok pesantren
Mengingat bahwa seorang santri tidak hanya
dituntut untuk mengambil manfaat dari ilmu yang telah diajarkan oleh sang guru,
namun seyogyanya ia mampu menularkan kembali kepada masyarakat, demi nilai
kemanfaatan yang l kemanfaatan yang lebig=h meluas.
2.
Pelibatan santri
melalui kegiatan gotong royong
Dalam hal lingkungan,sudah seayaknya
antara sanntri dan masyarakat lingkup pesantren memiliki kesadaran untuk
menjaga dan memelihara lingkungannya. Ini merupakan salah satu kunci dimana
proses bekerja sama dan saling tolong
menolong dapat terbentuk.
Dengan bebebtapa jalan di atas, maka usaha untuk
terbentuknya hubungan yang sinkron dan harmonis antara santri dan masyarakat
sekitar pondok pesantren.
http://dki2.kemenag.go.id/artikel/33919/revitalisasi-karakter-santri-refleksi-hari-santri-22-oktober-2015-oleh-aris-adi-leksono Diakses pada 25 Mei 2016, 17:19 WIB.
[1]http://dki2.kemenag.go.id/artikel/33919/revitalisasi-karakter-santri-refleksi-hari-santri-22-oktober-2015-oleh-aris-adi-leksono Diakses pada 25 Mei 2016, 17:19 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar