Oleh: Farla Aunun Siha
Pendidikan merupakan faktor determinan dalam menentukan kemajuan bangsa. Hampir
semua bangsa atau negara selalu menengok kepada pendidikan manakala terjadi
masalah yang melanda negara tersebut. Pendidikan hingga kini masih dipercaya
sebagai alat yang dapat membentuk kepribadian, memberikan kecerdasan yang lebih
baik. Indonesia melalui UU Sistem Pendidikan Nasionalnya secara terus menerus
mengkonstruksi dan mengembangkan agar dari proses pendidikan tersebut terbentuk
generasi yang diharapkan bangsa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pendidikan menjadi the key of future karena melalui pendidikan inilah
manusia dididik, dibina, dibimbing menjadi penerus estafet perjuangan bangsa.
Pasca era reformasi yang ditandai dengan perubahan dari berbagai sendi
kehidupan melahirkan zaman globalisasi yang terus menerus menunjukkan
eksistensinya. Dominasi globalisasi nampaknya bukan sesuatu yang bisa
dihentikan tapi harus dihadapi dengan pikiran yang matang dan bijak.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mempermudah informasi
keluar masuk yang kemungkinan menjadi bumerang tersendiri bagi bangsa.
Perubahan gaya hidup sedikit demi sedikit melunturkan kultur lokal yang juga
dapat menjadi ancaman bangsa. Arus perubahan dan masuknya budaya baru dari luar
dalam dimensi kehidupan yang beragam.
Ledakan perubahan di segala sendi kehidupan ini menjadi tantangan bagi
semua kalangan khususnya institusi pendidikan. Arus globalisasi menjadi
tantangan tersendiri bagi institusi pendidikan dalam kiprahnya mendidik bangsa.
Dalam hal ini pendidikan mencakup pendidikan formal, informal, maupun
nonformal. Pendidikan sebagai institusi penting dalam sebuah negara kiranya
menjadi hal wajib untuk segera bertindak menghadapi era globalisasi ini. Pendidikan
dituntut untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada di masyarakat.
Salah satu lembaga pendidikan yang saat ini tengah menjadi sorotan
masyarakat adalah lembaga pendidikan pesantren. Eksistensi pesantren sebagai
lembaga pendidikan islam di tengah kemaruknya permasalahan masyarakat memang
patut diperhitungkan. Terlebih lagi mayoritas masyarakat Indonesia beragama
Islam menjadi salah satu modal untuk keberadaan pesantren tersebut. Menurut
laporan Kementerian Agama, pada tahun 2012, telah tercatat lebih dari 27.000
pesantren yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pendidikan pesantren sangat tinggi.
Sebagaimana yang telah disampaikan bahwa insitutsi pendidikan hendaknya
kritis terhadap perubahan yang ada di masyarakat tak terkecuali dengan lembaga
pendidikan pesantren. Seiring dengan
perkembangan yang tengah melanda masyarakat baik itu dari segi ekonomi,
politik, sosial budaya, maka pesantren sebagai lembaga pendidikan turut
mengalami dinamika dan perubahan sejalan dengan dengan perubahan yang ada. Hal
tersebut dilakukan agar pesantren tetap dapat memberikan kontribusinya sesuai
dengan tuntutan perubahan yang ada. Oleh karena itu, lembaga pesantren harus
sedikit demi sedikit mengadakan perubahan, membenahi apa yang telah ada agar
tetap sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pendekatan
Tematik Integratif
Salah satu solusi yang dapat dilakukan oleh lembaga pesantren dalam
menghadapi perubahan adalah dengan membenahi kurikulum pesantren. Sebagaimana
kurikulum pendidikan tahun 2013, bahwa pembelajaran yang tepat untuk saat ini
adalah pembelajaran tematik integratif. Melalui pendekatan tematik integratif
ini, para siswa di pesantren dapat mengaktualisasikan daya kritis mereka,
menciptakan susana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, melatih
kreatifitas siswa, memungkinkan mereka belajar dalam kelompok, dan menggali
konsep-konsep keilmuan.
Sejauh ini masih banyak pesantren yang menerapkan metode menghafal dan
pendekatan teacher centered, sekalipun juga telah ada banyak pesantren
yang menerapkan perubahan yang lebih modern. Metode menghafal dengan
pembelajaran berpusat pada guru kiranya menjadi hambatan dalam menumbuhkan
kreatifitas sisa dan daya kritis siswa-siswanya.
Seorang psikologi bernama Gestalt penemu teori pembeajaran tematik
mengatakan bahwa, pembelajaran itu hendaknya berorientasi pada kebutuhan dan
perkembangan siswanya. Pendekatan tematik integratif ini lebih menekankan pada
pengalaman kangsung terhadap konsep-konsep keilmuan yang telah didapatkan
siswa. Mereka bebas berkreasi dan menemukan konsep belajar dengan melakukan sesuatu
atau pengalaman di lingkungannya (learnng by doing). Melalui pendekatan
tematik integratif ini, siswa secara langsung dapat menghubungkan materi yang
diajarkan dengan mengalaminya secara nyata dan dihubungkan dengan materi
lainnya.
Dari pendekatan tematik integratif tersebut, pendidikan di pesantren dapat
beradaptasi dengan era modern yang mana masyarakat sedang membutuhkan
insan-insan kreatif dan inovatif serta cerdas dalam segi kognitif, afektif, dan
psikomotoriknya. Asumsinya melalui pendekatan tematik integratif, para siswa
yang mengenyam pendidikannya di lembaga pesantren tidak kolot atau ketinggalan
zaman dan mampu mengikuti perubahan yang terjadi. Misalnya dengan menerapkan
pembelajaran teknologi, kewirausahaan, dan ketrampilan-ketrampilan lainnya.
Sebagai contohnya, jika di dalam pesantren para santri mempelajari tentang
muamalah, maka mereka dapat menerapkannya dengan belajar berwirausaha atau
menjadi salah satu pengurus koperasi pesantren.
Namun demikian ada beberapa pesantren yang eksis dengan tetap mempertahan
sistem tradisionalnya. Hal itu mungkin karena pengaruh kyai sebagai pengasuh
pesantren tersebut. Atau karena dari segi historisnya yang tidak bisa mudah
meninggalkan keoriginalan sistem pesantren lama. Oleh karenanya perlu adanya
paradigma atau cara pandang yang baru bagi pesantren di tengah arus perubahan.
Karena menurut hemat penulis, ada beberapa pesantren yang tidak mampu
mempertahankan keberadaan pesantrennya di era globalisasi ini.
Paradigma Think
Globally Act Locally
Konsep Think Globally Act Locally ini merupakan konsep yang mau
menerima perubahan secara global yang ada di masyarakat dengan tidak
menghilangkan kultul asli yang telah lama ada. Hal ini jelas sangat dibutuhkan
oleh masyarakat Indonesia yang sarat akan kultur-sosialnya dan sulit dipisahkan
dengan sejarahnya.
Melalui paradigma ini, pesantren tidak dituntut merombak total sistem yang
telah ada. Tetapi mereka hanya dituntut untuk membenahi sistem yang ada agar
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan tetap mempertahankan identitas
pesantren sebagai warisan leluhur bangsa dan turut serta berkontribusi dan
beradaptasi dengan perubahan zaman. Pembaruan harus hendaknya selalu tetap
dilakukan secara berangsur-angsur dengan membekali para siswa (santri)nya
dengan berbagai keilmuan dan ketrampilan dengan tetap berpegang teguh terhadap
pondasi sipritual, syariat-syariat agama.
0 komentar:
Posting Komentar