oleh
Nur Sholikhah
Saya selalu teringat tentang peristiwa
itu, sebuah peristiwa yang memulai perjalanan ini. Peristiwa yang membuktikan
bahwa kasih dan sayangnya selalu ada sepanjang masa. Cinta kedua orang tua
kepada anaknya, cinta abadi yang kan selalu bercahaya dalam hidupku, cinta yang
menguatkanku dalam keadaan sesulit apapun, cinta yang membuatku sadar bahwa
kehadirannya memang sangat berarti untukku.
Peristiwa
itu terjadi sudah setahun yang lalu saat aku menjadi mahasiswa baru pada salah
satu universitas negeri di kota Malang ini. Waktu itu aku melakukan registrasi
di kampusku dengan diantar oleh ayahku. Kami menyiapkan semua keperluan dan
berkas-berkas yang dibutuhkan untuk proses registrasi. Kami berangkat pagi dan
sampai di kampus sekitar pukul 9, saat itu cuaca di kota Malang sangat panas.
Sesampainya di kampus kami mencari sebuah gedung tempat registrasi, aku dan
ayahku berkeliling kampus, bertanya kesana kemari dan akhirnya menemukannya.
Aku begitu lelah karna berjalan kaki mengitari kampus yang luas ini, kulihat
wajah ayahku, ia tampak letih ,keringatnya membasahi kulit wajahnya yang
keriput karna usianya yang sudah lebih dari setengah abad.
Aku
bertanya kepadanya ,”Ayah lelah?”.
“Tidak
nak. Ayah tidak lelah.” Jawabnya sambil
tersenyum.
Aku
tahu ayah berbohong kepadaku, aku tahu dia sangat lelah karna berjalan kaki
begitu jauh. Dari situ aku mengerti maksud kebohongan ayah, ia tak ingin
membuatku gelisah, ia menyembunyikan rasa letihnya di hadapanku. Sesaat
kemudian aku masuk ke dalam gedung, ayah menungguku di luar. Beberapa jam
lamanya ia menantiku dengan sabar, bahkan ia tak beranjak sedikitpun dari
tempat duduknya hanya karna takut jika aku akan susah untuk mencarinya.
Sekitar
pukul 11 siang, aku sudah menyelesaikan proses registrasi. Aku keluar gedung
dan mencari ayahku, dari kejauhan nampak olehku wajah yang penuh dengan kasih sayang
menyambut kedatanganku. Ia terlihat begitu bahagia, senyumnya mengembang di
sudut bibirnya.
“sudah
selesai nak?”
“sudah
ayah. Ayo kita pulang !”
Kami
pun kembali ke kota asal kami, dalam perjalanan naik bis aku mabuk. Selama perjalanan
itu aku bersandar di pundak ayahku dan saat itu pula aku merasakan kasih
sayangnya yang begitu hangat. Aku bisa mendengarkan setiap hembusan nafasnya
,aku bisa merasakan beban di pundaknya yang begitu berat sebagai seorang ayah. Pundak
yang begitu kuat dan kokoh yang selama ini mengayomi keluarga, memberikan
nafkah sepanjang hidupku selama ini.
Kini
sudah setahun aku lampaui peristiwa itu, setiap kali rasa malas menjelma di
tubuhku saat itu pula aku selalu mengingat peristiwa itu. Pengorbanan yang
selama ini dikorbankan oleh kedua orang tuaku takkan bisa ku sia-siakan, jerih
payahnya selama merawatku tak kan bisa kubalas dengan apapun juga. Hanya ini
yang bisa kuberikan di sisa-sisa hidupku, sebuah cinta, penghormatan dan
pengabdianku.
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
BUKIT CEMARA TIDAR
0 komentar:
Posting Komentar