Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Malam
menghitam, pagi pekat, siang penat, sore pun semakin kelam menggeliat. Duniaku
menjadi suram, tatkala lonceng pernikahan berdentang. Tetangga berbahagia,
rakyat bersuka. Namun hanya angkara yang menelisip sudut ruangku. Rumah cat
merah disudut jalan. Ayahku berkulit hitam legam, tak lagi punya keramahan
manusia. Semua jadi kelam.
- Empat
bulan kemudian, dua bulan setelah ibuku terenggut dari dunia -
“aduh!
Gila! Sudah jam berapa ini...”
“TING
TONG... JAM MENUNJUKKAN PUKUL SEPULUH, JAM PELAJARAN AKAN DIMULAI SEPULUH MENIT
LAGI, KEPADA SEGENAP SISWA DAN GURU HARAP SEGERA MEMASUKI KELAS”
“Nahloh,
belnya dah bunyi”
Derap
langkah Santi layaknya badai di pagi hari yang siap menerkam waktu, berlari,
membumi nafsu agar cepat sampai di kelas. Kelas baru, dengan bau khas cat
pelitur yang masih belum sepenuhnya kering. Kelas yang baru selesai di bangun 2
minggu lalu untuk ditempati anak-anak kelas dua berseragam abu-abu putih. Hari
ini, hari pertama masuk setelah liburan kenaikan kelas yang telah lama
diidam-idamkan setiap murid. Hari ini, lonceng dan bel kembali berdering riang
disahut dengan teriakan gegap gempita para siswa. Semua bunyi lonceng mereka
sukai, kecuali lonceng masuk kelas, pasti kata-kata yang keluar adalah “uuh!
Kenapa udah masuk sih”, “Aduh! Males ketemu pak guru itu”, “lagi-lagi
matematika... huft!”. Kalimat yang sangat biasa.
Santi
memasuki kelas dengan gelak napasnya yang memburu buta, seragam putih abu-abu nya telah melekat erat
ditubuh membentuk gumpalan-gumpalan lebar akibat keringat yang memandikan kulit
putihnya. Beginilah akibatnya, bila mendapatkan kelas di lantai dua, dengan
letak persis di ujung lorong, berdampingan dengan kamar mandi kumal. Membuat
jarak semakin menghampar luas, melumat segenap tenaga yang tersisa mengejar waktu
untuk berlari. Genap dua perumahan Santi tempuh dengan berlari. Tidak lebih
jauh daripada memilih sekolah favorit di samping stasiun, yang jaraknya dua
kali lipat dari gedung ini. Namun, jarak ini telah cukup membuatnya kehilangan
napas dengan luar biasa cepat.
“Fiuh!!
Syukurlah, sampai juga... untung aku bisa manjat tebing berduri itu, jadinya...
hahahaaa... dasar satpam bodoh!” sambil
menjinjing tas menuju kelas
seringai
Santi terhenti seketika, saat menyadari tak ada lagi bangku kosong tersisa di
ruang kelas yang baru itu.
“Asem!
Mereka kemanain bangku jatahku? Masak ada tempat kosong gak ada kursinya... Shit!”
Dengan
gerutu yang bergejolak merdeka di lubuk Santi, terpaksa dia putar kepala, pergi
ke gudang penyimpanan untuk mengambil kursi dan meja yang masih tersisa. Dia
tarik sekuat tenaga kursi yang bertumpuk di depannya dengan debu setebal bulu
Denis, kucing persianya di rumah.
Prak!!
Ternyata
ada orang lain di gudang ini,
“Hei!
Sorry, gelap...”
“ooh...
orang, it’s okay”
Santi
pun, melenggang santai menyeret kursi dan mejanya ke ruang kelas tanpa
mengabaikan manusia yang baru ditemuinya. Setelah siap dengan kursi dan
mejanya, santi meletakkan tas ransel biru tua dengan sobekan sebesar 5 cm di
bagian depan, tepat di samping resleting yang terbuka separuh lantaran telah
rusak itu ke loker mejanya. Sreek... Sreek... Sreek.. nampak laki-laki
yang dia temui digudang tadi memasuki kelas.
“boleh
ya, aku naruh bangku di sini, disamping kamu. Emm... Santi?”
“boleh,
emm... Dali?” sambil
menunjuk papan nama di dada lelaki di depannya
“makasih,
salam kenal... aku Dali” sambil mengulurkan
tangan menyambut pertemanan
“Oh
iya, salam kenal. Aku Santi”
mengabaikan tangan Dali
“kamu
anak baru ya? Aku kok gak pernah lihat kamu ya...”
“emm...
iya, aku pindah dari sekolah samping stasiun”
“sayang
banget... itu kan sekolah favorit, berarti kamu pinter ya”
dan
obrolan mereka pun semakin berkembang, hingga tanpa di sadari lonceng masukpun
berbunyi. Disekolah ini, untuk jam istirahat digunakan lonceng besar sedangkan
untuk menandai jam masuk dan habisnya jam pelajaran digunakan bel yang
menggunakan aliran listrik untuk berteriak. SMA swasta, di ujung kota yang
menjadi tempat pembuangan anak-anak Madesu –masa depan suram – setidaknya
begitulah para guru dan orang tua menjuluki mereka. Mereka anak-anak yang sama
sekali tidak suka belajar, pandai berkelahi, pecandu game sejati, atau
anak-anak yang luar biasa jenius sehingga sekolah biasa tak akan mampu
menampung kejeniusan anak-anak ini. Kalau ada yang mencari gudangnya pelari
tercepat, atlet tinju, atau bahkan sampah masyarakat maka ini adalah tempat
yang sangat tepat.
***
Tengah hari, di bulan Juni dengan hujannya yang berderai.
Mengabarkan debaran jantung yang menggeliat, menusuk niat. Cipratan darah
disudut-sudut tembok bengis di bawah jembatan pinggir kota, aliran sungai
menderai ramai mengiringi helaan napas tergesa para muka bopeng bersimbah peluh
dan luka. Dentum hantaman keras, menusuk tembok dengan ganas, hawa dingin
menjadi saksi bisu kepiluan dua pemuda yang saling menatap garang. Haus darah,
buta akan nafsu, semua ingin menang, semua tak mau terpisah dari harga dirinya.
Byuur!
Tak pelak hantaman ke arah kepala, menjadikan pemuda itu tersungkur berderai
imbas air dingin sungai Angin. Tak mampu lagi dia mengelak, robekan baju
putihnya yang telah berubah menghitam ternoda tanah liat, nampak tergenggam
erat ditangan sendu lawannya.
“Cukup!
Aku lelah. Kamu kalah!”
menyambar
ransel biru tua dengan robekan sepanjang 5 cm tepat di samping reseleting yang
terbuka separuh. Dia melenggang meninggalkan medan laga dengan dada yang masih
menderu merdu. Berlari, menghilang ditelan senja yang semakin padam. Pemuda
itu, ditinggal sendiri ditengah sungai yang tak lagi dalam, karena tumpukan
kerikil dan sampah yang ditanggung warga pinggir kota.
Tak
mampu lagi dia berdiri, dengan sisa tenaga yang masih ada diraihnya ransel yang
sebagiannya telah tergenang air sungai, lantaran semakin meluap akibat hujan
bulan Juni.
“Halo
bro, aku di bawah jembatan, aku kalah... tolong kesinilah, aku gak bisa gerak”
Tuut...
tuut... tuut... telefon ditutup.
Di
sudut lorong, di depan kamar mandi nampak hawa muram. Seakan seluruh langit
mendung, menghitam, bergumpal di sudut itu. Ada sesosok anak perawan, sesegukan
menggugu menanggung tangis pilu. Butiran air matanya tak dapat membohongi
dunia, bahwa ada yang salah dengan gadis ayu keturunan cina-jawa itu. Gadis
pintar, yang dikeluarkan sekolah karena pergaulan, bukan karena kebodohan.
“kamu
kenapa Santi? Ada yang sakit? Kamu baik-baik saja?”
Tatapan
gadis itu, mengarah tepat ke dalam mata kak Nia, gadis tertua seangkatannya.
Jauh, jauh ke dalam, pandangannya ingin bercerita banyak namun mata sayunya tak
mampu berkata. Bibirnya bergetar kelu menahan rasa sakit teramat sangat. Rasa malu
memaksanya tuk menjauhi daya, perasaannya begitu... sungguh, tak ada yang tau
apa sebabnya, semua teman perempuan tak ada yang berani mendekat, hanya kak
Nia. Rengkuhan kak Nia, meluluhkan keegoan Santi kala itu, bumi runtuh
seketika.
“Santi...
Santi... Tolong teman-teman... dia kenapa?”
Pukul
01.00 siang
Gadis
muram itu telah menemukan kembali nyawanya, menyambut pelajaran terakhir.
Diulurkannya lengan ke dalam loker mejanya, berharap menemukan pena dan buku.
Jemarinya meraba sebuah bentuk yang tidak asing, namun dia sama sekali tak
ingat pernah meletakkan bentukan itu di dalam lokernya. Di tarik jemarinya yang
telah memegang kertas kumal, “apa ini?” gumamnya, dengan tergesa
dibukanya kertas kumal berbau kesal.
Hei kamu! Jangan sok jago kamu
disini, kalau berani temui kami d lapangan setelah pulang sekolah. INGAT! Pukul
3 tepat!. Tunjukkan nyalimu Brengsek!
Semacam
ada yang menelisik, mengurai mengusik kedamaian yang baru saja dia temukan,
memecahnya menjadi kepingan, kemudian tersulut dan terbakar musnah.
“kalian
kira aku takut. Shit!!”
Pukul
3 sore
Hamparan
rumput yang mulai mengering itu, mengabarkan kebencian, kebengisan, emosi yang
meluber memenuhi tahta keberanian, menciptakan simfoni hitam bernada kelam.
Langit kala itu, yang sedari tadi cerah ceria bergelak merah padam dengan nada
suram. Mengikuti derap langkah gadis sayu, dengan tekad beradu tak mampu
membuat nuraninya membisu. Angin menjadi kelu seketika itu.
Nampak
dari kejauhan 3 orang pemuda telah menunggu, tangan mereka nampak memegang
pusaka. Pusaka sakti layaknya keris empu gandring yang siap menerkam siapa saja
yang menyapa. Gelak tawa mereka tehenti seketika, manakala tatapan mereka
menangkap sekelebat bayangan orang terhujat.
“Heissshh...
cecurut itu punya nyali rupanya”
“Hei
Kampret! Tangkap ini... gue gak mau ngelawan orang gak punya senjata”
sambil melempar sebilah potongan pipa air sepanjang dua meter berwarna putih,
diameternya hanya 1 senti saja.
Serangan
seketika itu langsung melesat, menyergap pandangan gadis belia itu. Tak pelak
darah segar mengucur dari pelipis kirinya. Rambutnya yang sedari tadi terikat
rapi, kini meronta dari empunya. “Bluuk...!” badannya tak sanggup
meregang kuat tanah yang dipijak.
“Hwahahahaaa...!!!
cewek lemah! Cuuihh...!”
Ada
yang berderap kencang dari arah dalam dada kirinya, adrenalinnya kuat menyergap
kesadaran, membuatnya hilang akal, deru napas menjadi saksi kebangkitan iblis
sanubari.
Satu,
dua, tiga, dengan senjata potongan pipa Santi buta menyergap mereka yang ada
disana, terkapar layu satu persatu. Bukan, bukan satu. Perlahan semakin
bertambah mereka yang gemar mengusik ketentraman jiwa Santi.
2
jam kemudian
Gelak
napasnya memburu, memicing, mengintip berapa orang disana dan ada beberapa yang
masih tersisa. Satu. Iya, satu orang yang masih tegak berdiri. Dia datang
seorang diri, disaat terakhir pertempuran. Pemuda yang tak pernah ikut kelas
olahraga, ini cukup mengherankan. Kenapa dia disini? Diantara mereka? Bukankah
dia lelaki lemah?
Tanpa
diduga, pemuda itu mendekati arena pertempuran, mengulurkan senjata atau lebih
tepatnya disebut perangkat dapur yang disulap menjadi senjata. Sebuah
penggorengan telur, anti lengket, dengan gagang yang terbuat dari besi. Berat? Iya,
penggorengan itu cukup berat. Pemuda itu menatap lekat jauh ke arah kedalaman
mata Santi, seakan mau menyerahkan hidupnya. Benar-benar sebuah pengharapan
atas pertolongan seorang kawan.
Perlahan
derap langkahnya semakin mendekat, namun apa yang terjadi? Dia berhenti! Dia
berhenti, dan justru menyerahkan penggorengan di tangannya ke tangan para berengsek
di hadapan mata Santi. Bukan untuk Santi!
“Apa?!!
Kamu! Penghianat...” pemuda itu,
seketika itu juga membalik arah dan mencabut pisau yang tertancap di tembok koyak,
bersimbah luka dan darah nampak semburat merah.
Pemuda
itu, mengacungkan pisau yang berhasil ditariknya pada Santi
“Kalian
jahat! Kalian semua brengsek...! pengecut! Aku benci kalian, Sialan!”
Kekecewaan
yang menghujam, menarik kaki-kaki Santi untuk berlari. Jauh. Menjauhi warna
pasi dari arah lapangan. Lari... lari... sejauh-jauhnya. Jauhi mati.
***
“Santi,
kamu darimana? Kenapa kotor sekali? Ini, matamu?”
“oh,
kak Nia. Bukan apa-apa. Apa ini kak?”
“ini,
kegiatan sosial kami membagikan makanan untuk orang puasa yang lewat jembatan”
“oh...” kembali melenggang, acuh
“emm...
kak, boleh minta? Aku juga puasa ini”
“iya
Santi, tapi... kertas pembungkusnya sudah habis, lauknya juga”
“tak
apa kak, pake ini saja...”
“apa?
Tempat nasi sebesar ini?”
“iya
kak, penuhi saja, pake kerupuk aja gak papa kak”
“Baiklah...
ini, makan yang banyak ya... nanti kalau kurang, kembali aja ya... masih ada
banyak kalau Cuma nasi”
“makasih
kak...”
setelah
menerima apa yang dimintanya, Santi berjalan ke arah jembatan membawa luka dan
nasinya yang masih mengepul hangat. Dari kejauhan, nampak seorang lelaki
dengan sepeda birunya melesat dengan kecepatan super, tergesa berlari ke arah
kak Nia, sesaat kemudian berlari ke arah jembatan. Jaket merahnya tampak
berkibar-kibar.
“Santi,
Are you allright?”
“huh...”
“Santi,
lihat aku... kamu gak papa kan?”
sambil, menyerondol, menyenggol jasad Santi yang masih memegang tempat nasi
besar.
“oke,
kalo kamu mau aku pergi. Aku pergi” tak
sabar, dalam hitungan detik lelaki ini melepas cengkeraman tangannya dari bahu
Santi, dan membalik tubuhnya. Mengalihkan pandangan, jatuh tertunduk pilu.
Hanya
berselang lima detik sejak lelaki itu mengalihkan muka. Terdengar suara “Byuuurr..!”
tubuh santi tak bergerak, jatuh ke sungai di bawah kaki mereka.
“Santi!!” Byuuurrr...
Setelah
bersusah payah kemudian...
“Dali...”
“Santi,
kamu gak papa?”
“iya...”
“iya...”
“maafkan
aku... baiklah kuberikan harga diriku buat kamu”
***
Namaku
Dalimunte, bisa dipanggil Dali atau Munte. Sebetulnya orangtuaku tidak begitu
tau arti namaku. Orang tuaku tidak punya kerabat dari Minangkabau ataupun sebuah
nama spesial. Namaku diambil dari tempat kelahiranku. Gang Doli, iya disanalah
tangisan pertamaku pecah. Kata nenek, Munte adalah plesetan dari kata “Aldente”
yang sering terucap dari chef di iklan saos spageti ala Italia. Kesukaan Ayah.
Hari
ini, aku mendapat surat panggilan dari Munchen University di Jerman sebagai
balasan atas pengajuan beasiswa sarjanaku. Syaratnya, aku harus segera berkemas
dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas di sana. Sebuah pilihan yang sulit,
mengingat aku harus meninggalkan kekasihku. Santi Eka Wulandari. Dia lebih
layak mendapat beasiswa ini, daripada aku.
Perangainya
kasar, tak ada bedanya dengan preman pasar. Secantik Ken Dedes, Sepandai
Einstein. Benar-benar gadis yang luar biasa menarik. Luka yang bersarang di
sekujur tubuhku kini. Masih terasa perih, sisa pertikaian kami kemarin. Dia
membuatku benar-benar tak dapat bergerak. Dia berkelahi layaknya laki-laki
tangguh lainnya. Akibat keputusanku lebih memilih dirinya daripada masa
depanku. Impian kita.
Amanatul Mubtadiah
Malang, 18 Sep.
15
PonPes Darun
Nun-Bukit Cemara Tidar F3/4, Karang besuki, Malang
terserak dari buaian angin dunia, seorang gadis buta akan cinta sementara
0 komentar:
Posting Komentar