Pondok Pesantren Darun Nun Malang
“Ada kemauan, pasti ada jalan.” Slogan inilah yang memicu diriku
untuk tetap semangat mewujudkan mimpi-mipiku.
Sebentar lagi aku lulus, ujian akhir nasional telah usai, pikiranku
kini disibukkan dengan pilihan-pilihan akan kemana perjalanan hidupku setelah
lulus Sekolah Menengah Atas ini. Kebetulan aku bersekolah di Sekolah Menengah
Kejuruan I Boyolangu Tulungagung. Jurusan Akuntansi adalah pilihanku saat aku
lulus SMP. Alhamdulillah Allah mewujudkan doaku dan nilai UAN ku berada pada
posisi ke-6 dari kurang lebih 120 siswa sebagai siswa yang diterima di Jurusan
Akuntansi SMK tersebut. Alasanku memilih sekolah kejurusan adalah ingin segera
dapat membantu ekonomi keluarga. Aku sangat sadar, keluargaku masih tergolong
ke dalam kategori belum serba berkecukupan. Namun, Alhamdulillah setiap ada
kebutuhan, Allah selalu memberikan pertolongan, meskipun kita harus meminjam
kemudian mengganti di kemudian hari. Awal aku masuk sekolah, aku sangat
bersemangat karena ingin segera beralih ke dunia kerja. Semester satu, dua,
tiga dan empat, oke aku berhasil menjuarai kelas meskipun hanya pada semester
empat aku menjadi juara pertama, namun aku selalu masuk 5 besar pada semester
lainnya. Namun, beralih ke semester lima, semuanya berbeda. Aku terlalu enjoy
dengan dunia mainku. Bersama sahabat-sahabatku menghabiskan waktu bersama untuk
sibuk mengikuti lomba menulis cerpen. Pemikiranku pun mulai berubah. Kokohnya
keinginanku ingin segera bekerja setelah lulus sekolah perlahan mulai runtuh,
semangat sahabat-sahabatku yang ingin melanjutkan kuliah ikut menular ke dalam
diriku hingga keyakinan aku bisa
kuliah menjadi sangat mengakar. Aku masih tidak lupa akan ekonomi keluarga yang sangat tidak mendukung jika aku harus melanjutkan mengeruk ilmu di bangku kuliah. Namun sahabat-sahabatku tak menyerah untuk mendukungku. “Masih ada banyak beasiswa jika kamu ingin kuliah, toh nilaimu juga selama ini bagus kok. Ada beasiswa bidikmisi juga untuk yang ingin kuliah namun kemampuan ekonominya kurang. Sudah nanti kamu daftar bidikmisi saja.” tutur Devi, salah satu sahabatku. Ditambah lagi dawuhnya guru agama ketika bercerita di dalam kelas. Beliau memiliki teman dengan kedua orangnya adalah penjual gorengan, namun mereka mampu menguliahkan anaknya. Dengan cerita sederhana iku, aku semakin yakin bahwa Allah pasti akan membantuku. Di tambah lagi keputusan kedua orang tua yang tidak mengizinkan aku untuk kuliah kecuali jika mendapat beasiswa semakin menguatkan semangatku.
kuliah menjadi sangat mengakar. Aku masih tidak lupa akan ekonomi keluarga yang sangat tidak mendukung jika aku harus melanjutkan mengeruk ilmu di bangku kuliah. Namun sahabat-sahabatku tak menyerah untuk mendukungku. “Masih ada banyak beasiswa jika kamu ingin kuliah, toh nilaimu juga selama ini bagus kok. Ada beasiswa bidikmisi juga untuk yang ingin kuliah namun kemampuan ekonominya kurang. Sudah nanti kamu daftar bidikmisi saja.” tutur Devi, salah satu sahabatku. Ditambah lagi dawuhnya guru agama ketika bercerita di dalam kelas. Beliau memiliki teman dengan kedua orangnya adalah penjual gorengan, namun mereka mampu menguliahkan anaknya. Dengan cerita sederhana iku, aku semakin yakin bahwa Allah pasti akan membantuku. Di tambah lagi keputusan kedua orang tua yang tidak mengizinkan aku untuk kuliah kecuali jika mendapat beasiswa semakin menguatkan semangatku.
Biidznillah, pada semester
lima, nilaiku anjlok total. Setelah menjadi juara pertama pada semester
empat, aku menjadi juara ke-14 pada semester ini. Aku semakin khawatir dengan
diriku. Namun masih mampu kuredam emosiku sebab masih ada semester enam yang
kuharapkan dapat mendongkrak nilaiku agar dapat lolos bidikmisi jalur undangan.
Kenyataannya, semester enam pun nilai yang ku dapatkan tak seindah semester
empat, namun lebih baik dari semester 5, ya juara ke-9 dari 42 siswa.
Hasil UNAS pun telah diumumkan, Alhamdulillah siswa di sekolahku
semuanya mendapat predikat lulus.
Meskipun nilaiku bagus, namun percuma, tak dapat sedikit pun membantuku untuk
masuk ke universitas.
Beralih ke universitas, jalur pertama yang di buka adalah jalur
undangan. Aku sangat berharap mendapat kesempatan di jalur ini, namun Allah
berkehendak lain, nilaiku di semester lima menjadi penyebab hilangnya
kesempatan itu. Perasaan ketakutan semakin memenuhu pikiran, aku harus ikut tes
untuk dapat menembus jalur beasiswa bidikmisi. Pelajaran selama aku di SMK
tentulah sangat berbeda dengan pelajaran yang diajarkan di sekolah SMA.
Sehingga dibutuhkan kerja keras untuk belajar dan dapat lolos dalam tes SNMPTN
ataupun sejenisnya.
Beberapa sahabatku telah lolos jalur undangan. Lisa mendapat
beasiswa bidikmisi Jurusan Akuntansi di UNNES, Dyah pun demikian, mendapat beasiswa bidikmisi Jurusan Akuntansi di UM,
begitu pun Amanda, mendapat beasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan UNNES.
Keberuntungan dari sahabatku ini memompa semangatku untuk terus berusaha.
Selain itu, beberapa teman yang lain juga masih belum beruntung lolos di jalur
undangan ini. Devi, Dita, Ary, dan Elis, mereka akan menempuh jalur tes
bersamaku. Beberapa dari mereka mengikuti bimbingan belajar khusus memasuki
jalur tes. Saat itu, keluargaku tak punya cukup uang untuk kugunakan gabung
bersama mereka. Sehingga aku harus belajar sendiri di rumah.
Sejak keputusan kuliah menguasai keinginanku, hanya jurusan
Akuntansi yang menjadi tujuanku, karena ku pikir akan lebih mudah menjalani
jika jurusan tersebut telah sesuai dengan yang ku pelajari di bangku sekolah.
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) adalah kampus idamanku, serta
Universitas Airlangga (UNAIR) pun menjadi pilihan ke-2 setelahnya. Namun,
pendaftaran STAN dibuka lebih lama dari pada kampus-kampus pada umumnya. Jika pendaftaran
pada kampus umumnya dibuka bulan Agustus, di kampus STAN bisa saja pendaftaran
di buka bulan September. Sehingga ku putuskan untuk mendaftar di UNAIR untuk
menjadi cadangan sebelum aku mendaftar di STAN.
Fokusku pada Jurusan Akuntansi, sehingga mata pelajaran yang
berkutat pada itulah yang ku pelajari. Miris sekali rasanya, sangat ingin
belajar namun apalah daya tak ada banyak buku yang ku miliki. Berkat bantuan
beberapa teman, aku mendapat pinjaman buku untuk belajar. Setelah uang
pendaftaran ku bayarkan dan pendaftaran online telah ku lakukan, kini saatnya
untuk berusaha dan berdoa. Semakin mendekati tes, hampir setiap malam ku
sediakan segelas kopi agar dapat bertahan lebih lama untuk belajar. Hal-hal
yang ku angggap penting ku tulis kembali kemudian ku tempel di dinding kamar
agar aku mudah mengingatnya, hingga ibu sempat berkata “itu apa nak, kok sampai
penuh dengan tempelan-tempelan”. Kurang lebih tiga minggu aku mengurung diri,
fokus dengan belajar agar dapat masuk ke universitas yang ku inginkan.
Akhirnya tes SNMPTN pun telah berhasil ku lalui, meskipun tak semua
dapat ku kerjakan, namun aku telah pasrah kepada Allah untuk apapun hasilnya.
Tak sampai disini, pulang tes dari Surabaya, aku teringat tuturnya guru agamaku
“cobalah daftar di kampus UIN Malang, satu-satunya kampus Islam yang terdapat
jurusan akuntansi ya di sana”, entah mengapa aku ingin sekali mencoba dan
akhirnya aku ikuti tes SBMPTAIN, yaitu tes khusus pendaftaran kampus Islam di
Indonesia. Lagi-lagi aku harus giat berusaha menambah ilmu agama, sebab sejak
kecil aku sekolah di sekolah umum, SD menuju SMP kemudian SMK. Sehingga
pelajaran seperti Bahasa Arab sangat asing bagiku. Beliau juga mengingatkan
supaya menjaga dhuha dan tahajjud sebagai salah satu bentuk ikhtiar selain
belajar.
Malam ini adalah malam penentuan siapa saja yang diterima di di
universitas melalui jalur SNMPTN. Karena tidak ada jaringan internet yang dapat
digunakan untuk membuka hasil tes, maka ku putuskan untuk pergi ke rumah paman.
Bersama temanku Ani ku menghadap laptop paman untuk melihat hasil SNMPTN.
“Anda Belum Diterima.”
Inilah tulisan yang tepat berada di depan layar laptop saat ini.
Hatiku semakin tak kuasa menahan tangis dan kecewa. Ku sampaikan
dengan pelan bahwa Allah belum mengizinkanku untuk masuk UNAIR. Beberapa menit
setelah aku menutup laptop, Elis dan Devi memberitahu melalui pesan sms bahwa
mereka telah di terima di Jurusan Sastra Jerman UM. Hatiku semakin bergetar keras menyuarakan
rasa antara bahagia karena sahabat-sahabatku telah diterima atau sedih dan
kecewa dengan alasan aku tidak diterima di kampus kedua yang sangat ingin ku
tempati.
“Sabar Vi, masih ada satu minggu lagi, pengumuman hasil tes
SBMPTAIN, semoga kamu diterima disana.” Bisik lirih dari Ani sambil mengelus
pelan pundakku.
Aku hanya mengangguk kemudian kita pulang dari rumah paman.
Kuberitahu orang tua di rumah, mereka pun memintaku untuk bersabar dan tetap
berharap, jika sudah ada kemauan pasti Allah selalu memberi jalan. Meskipun
begitu, aku tetap berharap bisa mengikuti tes mandiri di UNAIR, namun lagi lagi
karena biaya, kuurungkan kemauanku, akhirnya ku pasrahkan kepada Allah dimana
pun tempatnya yang terpenting aku bisa lanjut belajar, meskipun di UIN Malang
sekalipun tidak apa-apa.
Berharap memang tetap ku lakukan, namun ragu juga masih ku rasakan.
Alasannya, tes kedua ini ku rasa sulit sebab aku belum terlalu paham masalah
agama apalagi bukan hanya materi IPS yang diujikan melainkan juga IPA yang sebelumnya
tak pernah ku persiapkan. Namun Alhamdulillah, Allah berkehendak dengan
kekuasaanNya. Aku diloloskan beasiswa bidikmisi di kampus UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang Jurusan Akuntansi sesuai dengan pilihan pertamaku.
Aku yakin pasti si setiap universitas memiliki mahasiswa yang
memang ingin belajar di sana dan ada juga mahsiswa yang belajar di sana karena
terpaksa sebab sudah tidak memungkinkan lagi masuk ke universitas lainnya.
Meskipun bukan sepenuhnya pilihanku, namun aku tetap bersyukur karena Allah
telah memberikan nikmat belajar ini kepadaku. Tak seorang pun di kampus ini
yang aku kenal, awal aku ke kampus ini pun tak bersama orang tua, melainkan
ditemaki Lisa sahabatku. Awalnya aku takut beradaptasi di kampus ini sebab
kebanyakan teman-temanku berasal dari pondok yang kebiasaannya memegang kitab
kuning. Namun lama-lama aku terbiasa sharing dengan mereka.
Kalau kita kuliah di kampus hijau alias UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang ini, kita akan dimasukkan ke ma’had (pondokan) selama satu tahun. Ini
yang membuatku terasa terkekang karena sebelumnya belum pernah ku rasakan. Namun
dari sinilah aku mulai mengerti arti dari kehidupan. Semakin lama di kampus UIN
Malang ini, semakin banyak orang bijak yang ku temui, aku semakin tertarik
dengan pondok. Akhirnya setahun setelah aku di ma’had, aku memutuskan untuk
tinggal di Pondok Pesantren Darun Nun. Ini adalah Pondok Bahasa dan Berkarya.
Pembina kita disini selalu mengingatkan kepada semua santri Darun Nun, “bukan
kuliah sambil mondok, tapi mondok sambil kuliah”. Aku tak mengerti sebelumnya,
namun sekarang aku paham. Mengapa bahasan pertama dari Hadist Arba’in Nawawi
karangan Imam Nawawi adalah Niat, sebab niat itu sangat penting, dan ruh dari
amal atau perbuatan yang kita lakukan adalah niat dan pengetahuan. Ustadz
berpesan pada santrinya, luruskan niat kita belajar bukan untuk mendapat
pekerjaaan kemudian menumpuk harta supaya dapat dibanggakan warga ataupun
keluarga, namun menuntut ilmu hanyalah kita niatkan untuk menyempurnakan akhlah
supaya kita bisa menjadi insan kamil yang tentunya bermanfaat bagi ummat.
Salah satu dosen di Fakultas Ekonomi pun dawuh kala itu
“Bangunlah dari kebahagiaan nisbi menuju kebahagiaan yang hakiki yakni Allah
SWT, apapun keadaan kita, jika masih ada Allah di dalam hati, maka kita akan
bahagia”, melalui kata-kata ini, syukurku bertambah, aku semakin bangga menjadi
mahasiswa UIN Malang, sebab disinilah aku bisa bertemu orang-orang yang shaleh
yang selalu mengingatkanku untuk kembali padaNya.
Dimana pun kita, di situlah kita dapat belajar dan kita tidak akan
pernah tahu dari jalan mana pun kita bisa menjadi orang sukses baik dunia
maupun akhirat. Oleh karena itu, di kampus mana pun kita di terima, syukur
adalah hal yang sempurna, sebab Allah lebih tahu yang terbaik untuk setiap
hambaNya. Allah adalah sutradara terbaik baik bagi seluruh makhlukNya.
evi
e
apakah mondok sambil kuliah di darun nun ini berbayar? bila iya, berapa?
BalasHapus