Mereka
bilang aku GILA
“Apa sih ris
yang ada di fikiranmu?” dia mendudukanku dibangku panjang tepat di bawah langit
mendung yang mewakili hatiku saat ini.
“Apa yang kamu
fikirkan?”tanyanya lagi dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya. Ingin
rasanya aku memberontak, membentak dia yang ada dihadapanku. Ingin kumuntahkan
semua rasa sesak yang ada dihatiku ini. Dia kira siapa yang paling merasa sakit disini? Hatiku memberontak dan
menangis geram tapi mulut dan mata ini hanya tertutup dan tertunduk dalam. Tak
mampu lagi kata mewakili perasaanku.
“Kamu tahu apa
yang kamu lakukan tadi malam, huh?” Sekali lagi dia memicingkan matanya padaku.
“Entahlah kak, “
jawabku pasrah. Kucoba sembunyikan rasa malu dan kecewa yang bercampur jadi
satu. Tapi sepertinya gagal. Kakak terduduk layu. Air matanya menetes begitu
pula aku.
“Kamu tahu ris,
bukan hanya kakak yang merasa malu atas perbuatanmu, tapi ayah, ibu dan
keluarga besar. Semua merasa itu.” Suaranya mulai bergetar. Aku tahu dia tak
dapat menyembunyikan tangisnya. Ingin kuucap maaf, namun yang ada hanyalah
bibir yang terdiam getir. Tak kuat lagi burucap sepatah kata. Hanya air mata
yang mewakilinya.
Dalam diam
memoriku melayang pada kejadian kemarin malam. Ingin rasanya kuulang dan tak
lakukan kesalahan. Malam kemarin, yang
membuatku tak lagi punya muka untuk sekedar berbicara pada keluarga apalagi
tetangga. Malam yang memangkas habis harapan kebahagiaan hidupku esok.
Malam itu, aku
yang baru saja menyelesaikan sholat isya’ dikagetkan oleh bisikan kalimat dari
ibu
“Ada tamu
laki-laki didepan” kulihat mata ibu yang begitu berbinar, senyumnya mengembang
bak bunga mekar.
“tamu?”gumamku
dalam hati, aku tak merasa ada seorang yang kuundang malam ini. Sejenak kutepis
rasa penasaran. Kukenakan kerudung dan tinggalkan mukenah di cantolan paku
kamar, melangkah menuju balik selambu
yang menyekat antara ruang tamu dan ruang tengah.
“Allah” hanya
itu yang terucap dengan deguban jantung yang berangsur capat. Seorang lelaki
berbaju koko hitam yang selalu hadir dalam mimpi sedang duduk di depan ayah.
ada apa gerangan
dia datang tanpa mengirim pesan?
Sayup kucoba
dengarkan suaranya.
“Jadi begini
pak, maksud kedatangan kami ke sini.” Dia mulai berkata. Jeda, yang membuatku
begitu penasaran.
“ini tentang
arista”
Entah mengapa
ketika namaku disebut. Denyut jantung serasa saling bersahut. Dibalik itu
tersimpan harap yang besar ingin segera disambut.
“Kami di sini
untuk mengajukan lamaran kepada anak bapak”
Apa? Apa tas
salah yang aku dengar? Kumohon ulangi sekali lagi. Apakah ini bukan hanya
halusinasi. Tapi aku yakin ini bukan halusinasi. Ibu menyambutku dengan
senyuman dan menenggelamkanku dalam pelukan. Apa ini? Apa ini ya Allah..
kurasakan degup jantungku kian kencang, senyumku semakin mengembang. Namun mata
ini entah mengapa menitikkan satu- satu air matanya. Allah.. ibuku menataoku
lekat. Tiada kata yang terucap tapi makna jelas tersirat padanya. Seakan dia
berkata “nah anakku, ibu turut bahagia atas kebahagiaanmu.” Bagaimana tidak,
selama ini hanya kepada beliaulah rasa ini bermuara, beliaulah satu-satunya
yang tahu bahwa aku mendamba pria berbaju koko itu.
Hilal
namanya. Tiada harta dimiliki, tak begitu tampan juga, tapi akhlaknya
subhanallah sungguh aku tak dapat mencerita. Dialah orang pertama yang
kuimpikan jadi imamku. Maka malam itu, betapa tidak bahagia jika hati bersambut
dengan yang didamba. Sungguh rasa syukur tak henti kuucapkan, begitu pula ibu.
Namun, tetap dalam dekapan ibu sayup kudengar perkataanya. Satu kata. Satu kata
yang mengobrak-abrik semua fantasi. Membombardir diri.
“inilah pak, Fahmi
namanya”
Segera kulepaskan pelukan ibu.
Aku kembali menengok keluar. Apa maksudnya??. Lalu seakan Lututku lunglai
seketika. Aku terduduk tak kuasa menopang diri. Dia ternyata tidaklah sendiri. Ada
pria yang sedari tadi duduk disampingnya. Yah. Dan aku sama sekali tak
menyadarinya.
“ini fahmi pak,
teman yang sudah kenal dengan rista beberapa bulan yang lalu. Dialah yang
meminta kepada saya untuk menemani dalam rangka mengkhitbah arista. Saya sangat
senang pula. Saya kenal beik dengannya di masa kami sama-sama di universitas.
Sekarang beliau sudah menjadi dosen di salah satu universitas negeri di
Jakarta. Bukan orang asli jawa pak, sebab itusaya membantunya menyampaikan maksud
dengan sesuai adat dan etika di sini ”
Aku
tertunduk semakin dalam tak kuat merasakan perihnya kekecewaan Yah tepat sekali
dugaan dalam hatiku. Dialah fahmi, temannya yang beberapa bulan terakhir
menghubungiku. Namun tak pernah terbesit dalam hatiku jika dia bermaksud
mempersuntingku.
Ibuku
ikut duduk, memelukku dengan lembut. Ingin kuberkata padanya. Ibu, aku harus
apa? Katakana padaku bu. Bukan ini yang kuharapkan. Sungguh bukan ini. Mana
mungkin aku bias menikah dengan seorang yang merupakan sahabat dari orang yang
kucinta sedari dulu?. Mana bisa hati ini menanggung gejolak tak menentu setiap
detiknya nanti. Mana boleh seperti itu? Bagaimana perihnya hatiku? Dan
bagaimana nelangsanya hati fahmi?
“Hilal, Fahmi. Untuk masalah ini
bapak serahkan keputusan pada arista sendiri. Bapak percaya dialah yang lebih
faham akan keputusan yang diambilnya nanti.”
Kulepas pelukan ibu. Aku tak
tahu apa jawaban yang harus kuberikan. Namun hanya satu inginku, tak menyakiti
hati banyak orang nantinya. Mungkin ibu tahu apa kata yang akan terucap.
Dipegangnya tanganku erat seakan berucap jangan. Namun tak tahu kekuatan dan
keberanian dari manakah ini. Atau kelancangan bibirku sendiri.
“Bapak maaf, mas
hilal dan mas fahmi maafkan saya. Saya hanya tak dapat menjawab pertanyaan yang
bergelayut dalam diri. Bagaimana saya dapat menerima pinangan mas fahmi, jika di
setiap shalat dan saat ini pun yang ada dalam hati dan doaku adalah orang yang
mengantar mas fahmi dating ke sini?”
Ibu mencengkeram
tanganku dengan keras. Lalu dihempaskannya di udara. Beliau seakan begitu kecewa
dengan keterburuanku. Beliau marah dengan jawabanku yang pasti akan membuat
malu mas fahmi sang pelamar, apalagi bapakku yang menerima tamu. Namun apa
daya, tidak dapat kubohongi lagi. Tak dapat kuteruskan lagi.
Hatiku
semakin sesak seiring tangisan yang semakin terisak. Semua diam, senyap. Seakan
setiap orang sedang beradu dialog dengan dirinya sendiri. Bapak tak terdengar
lagi suaranya, maupun tamu berdua. Ibu berjalan lunglai dan terduduk kembali di
depan pintu kamarnya. Entah apa yang terjadi, hanya selanjutnya kudengar mas
hilal mengucap maaf dan selanjutnya mereka pergi. Suara kata maafnya saat itu
masih terngiang sampai sekarang. Dia mengucap maaf. Bukan yang lain. Dan
perihnya mendengar jawaban itu tak bisa kutemukan obatnya. Mungkin inilah ganjaran
agar aku merasakan betapa pedih perasaan mas fahmi ketika aku memberikan
jawaban itu. Dan kesalahan ini akhirnya membawa hukuman berat bagi hidupku.
………………………………………….. To Be Continued. Insyaallah.
Dyah Ayu Fitriana
Bukit Cemara Tidar
0 komentar:
Posting Komentar