Saat
senja mulai menampakan diri, kita – kira jam menunjukan 16.44 WIB. Di sebuah
kamar kos yang setiap hari kudatangi. Dreeett getar HP ku, satu pesan. Segera
jemariku menekan tulisan Lihat, distu tertulis pondok Nila, yah sms itu dari
dek Nila salah satu patner masakku.
“mbk, pean ada
dimana? G pulang ke pondok ta??”
Dengan segera
kubalas sms itu “plang nanati. Kenapa dek?? Dek Indah gak ada ta??” ku mengerti
maksud dari sms itu, yah hari ini bertepatan dengan hari Jum’atn, hari diman
aku, dek Nila dan dek Indah masak.
Beberapa menit
kemudian, kulihat kembali si hitam yang selalu tidak ketinggalan kemanapun ku
pergi. Namun tak ada balasan, dengan segera ku langsung balik ke pondok.
Sesampainya
dipondok, langsung kutaruh tas di best room in pondok, hehe ya di kamarku.
Disitu ada mbk Izza.
“mbk dek Indah
pulang ta??” langsung kulontarkan pertanyaan itu padanya.
Tanpa
bertanya lagi ku menuju ruangan yang kira – kira berukuran 2 x 2 meter itu. Di
meja itu, ternyata sudah siap bahan – bahan sekaligus bumbunya. Yang mungkin
sudah disiapkan dek Indah sebelum dia pergi. Maklumlah di antara kita bertiga
yang paling mahr memasak ya dek Indah meski dia yang paling muda diantara kita.
“syukurlah
desisku”. Tanpa lagi membuang waktu segera kulakukan apa yang aku bisa, menanak
nasi buat oseng – oseng dari bahan yang telah tersedia.
“dek, kakak
bantuin apa ini??” Tanya mbk Izza
“itu mbk, lihatkan
bumbunya apa sudah siap dimasukan bahan - bahannya” sambil mencuci beras.
Tak lama Adzan di
Baiturrahman berkumandang, Risa dan dek Nila datang, entah dari mana.
Ku merasa bersaah
pada Risa, waktunya berbuka nasi tinggal sisa tadi pagi itupun gosong sebagian.
Sedang lauk belum ada.
“ya Alloh, maafkan
aku ris”. Dalam hatiku.
Beberapa
saat kemudian oseng – oseng yang sekaligus lauk itu sudah mateng meski rasanya
aga aneh, mungkin karena yang masak juga aneh hehe
“mbk koq aneh ya
rasanya??” tanyaku ke mbk Izza.
“enak koq dek,
mungkin kasih kecap.” Menghiburku.
Setelah dikasih
kecap “koq tetep aneh ya mbk??”. Tanyaku lagi.
“gpp, enak koq
dek”. Jawabnya lagi
Yah pikiran sama
tingkah juga tak menentu, kesusu ke masjid karena waktu magrib juga cumin
sebentar tapi masakan rasanya yah aneh.
“Ris, ini oseng –
osengnya uadh mateng koq”. Panggilku ke Risa
Risa menuju dapur
dan mengambil makanan aneh itu, seblum dia merasakannya terlebih dahulu
kuperingatkan. “tapi rasanya aneh Ris”.
Risa segera
mencicipi, “enak koq fik” dengan senyum khasnya. Yah dia mencoba meyakinkanku
kalau dia menyukai itu karena mungkin dialah satu – satunya teman pondok yang
mungkin paling mengerti aku. Mengerti bahwa aku cewe tomboy yang alergi dapur,
tak mengrti alat dan bahan – bahan utuk memasak.
“yah sudahlah”.
Celetus ku.
Dengan
segera ku kekamar mandi untuk berwudhu’, saat keluar dari kamar mandi ku lihat
Risa makan di depan kamarku dengan menikmati masakan aneh itu. Hatiku semakin
tersayat – sayat, maafkan sahabatmu yang takbertanggungjawab ini.
“Ris, maaf ya”
spontan kukatakan itu.
“labaksa fik”.
Tetap dengan senyumannya.
Aku hanya membalas
dengan senyuman juga, dan langsung meninggalkannya untuk berangkan ke masjid.
Sesampai
dimasjid, benar aku memang telat. Mungkin bukan hanya telur yang aku dapatkan
tapi kulit telurnya soalnya perada di sof yang sudah mau bubar. Tapi tak
apalah, mending telat daripada tidak sama sekali.
Kusholat, dirokaat
terakhir, ada yang menepuk pundakku. Yah tanpa menoleh ku yakin itu Risa.
Karena hanya dia yang biasanya meski telat tetap ke Masjid.
Kembali
ku teringat kejadian sore tadi, tapi aku hanya bisa merenungi. Kenapa saat dulu
aku memiliki amanah dalam organisasi itra kampus aku menjadi tauladan paling
bertanggungjawab namun saat aku ditempatkan diposisi sebagai kodratnya wanita,
aku merasa tertekan dan terbebani. Yah, mungkin karena didikan orang tuaku yang
tidak pernahmembiarkan ku didapur, bahkan aku lebih sering ikut aba ke sawah.
Disawah aku lebih senang meski panas – panas dari pada di dapur yang setiap
kali masak pasti hancur endingnya.
Suara
adzan kembali berdering, tanda alarm waktu Isyak telah tiba. Yah, aku dan Risa
terbiasa mungunggu adzan dimasjid. Tanpa tegur sapa, bahkan malam itu aku
enggan menoleh padanya. Karena aku merasakan rasa bersalah pada dia sahabatku.
Selasai sholat
kami santri Darun Nun, kembali kepondok dan menjalankan aktivitas sendiri –
sendiri. Sampai dikamar, ternyata dek Indah sudah balik.
“mbk, tadi siapa yang masak?” Tanya dek Indah
“mbk, tadi siapa yang masak?” Tanya dek Indah
“saya, dek.”
Jawabku.
“tadi sudah di
kasih bawang dan brambang ta mbak bumbunya?” Tanya dia lagi.
Wajahku tersontak
kaget “haha pantesan aneh, jadi tuh bumbu gak ada bawang dan brambange togh
dek??” tanyaku balik.
“lhoh belum mbk,
blab la bla” jawaban dek Indah seperti biasanya, menjelaskan meski tidak
diminta.
Haha aku cekikian
sendiri, ya Alloh beginilah orang yang anti dapur, bumbu yang paling vital aja
gak tahu. Astagfirlloh, bagaimana suami dan anak-anak ku nanti.
“Ris, patesan
rasanya aneh. Katanya dek Indah tuh bumbu memang belum ada bawang dan
brambangnya” ceritaku padanya.
“tapi enak koq
fik”. Jawaban yang dibuat untuk menyenangkan hatiku.
“yah, soalnya gak
ada pilihan lain”. Sanggahku
“hehe iya mungkin,
atau karena aku laper paling”. Akhirnya dia jujur juga.
Waktu
sedah larut, aku satu – satunya santri yang paling tidak bisa diajak mele’an.
Akhirnya ku kembali ketempat tidurku dan siap – siap tidur meski sesekali ku
tertawa sendiri karena masak tanpa bumbu penting itu. Dan kepikiran
tanggungjawab yang aku embanpun tak bisa kuselsaikan dengan baik hari itu,
bahkan terkesan mendholimi mbak – mbak pondok, terutama sahabat sendiri. Ya
Alloh jadikanlah hari itu pelajaran yang bisa membuatku menjadi wanita yang
lebih baik dan bisa menerima kotratnya sebagai wanita yang bukan hanya
mementingkan karir tapi juga calon ibu.
Sulung Zain
(Fika)
0 komentar:
Posting Komentar