Pondok Pesantren Darun Nun Malang
Evi
Mega merah tertata sangat rapi nan indah, serta abangnya
sangat jelas di netraku. Gelembung-gelembung
awan tak mau kalah mencuri perhatianku, ia berbaris rampak di sekitar mega
abang itu. Tak lama kemudian waktu shalat maghrib tiba. Suara takmir Masjid
Baiturrahman tengah mengalunkan kalimat adzan. Mahasantri Darun Nun pun dengan
malu menengadahkan kedua tangan disusul doa lirih setelah usainya adzan
dikumandangkan. Selesai mengusapkan kedua tangan di romannya, beberapa dari
kami bersahut kata antri secara bergantian untuk mengambil air wudlu.
Nila : ana
fil hamam amam.
Izzati :
ba’daki…….
Beginilah
keadaan hirup pikuk pondok pesantren Darun Nun, mahasantri terlihat sangat bersemangat
ketika hendak menghadapNya pada waktu shalat tiba.
Selesai
mengambil wudlu, kami berbondong-bondong mendatangi masjid untuk menyahuti
panggilan dariNya.
Allahu
akbar… shalat maghrib dimulai. Selesai membaca QS. Al-Fatihah, imam masjid
lanjut membaca surat. Pada ayat ke-5 terbaca oleh sang imam, pikiranku mulai
membuka awing-awang. Sejenak cerita dua hari yang lalu teringat olehku. Ya, iya
itu adalah ceritaku dan Farla.
Dua
hari yang lalu, tepatnya tanggal 11 hari sabtu. Farla ingin membeli sebuah flashdisk,
aku tahu itu dari Fitri, teman sepondok kami.
Evi : Fit, I need a flashdisk, I want to
buy it.
Fitri : hmmm.. I hear that Farla want to buy it
ba’da atsar. I think you can buy it with
Farla.
Evi : Are you sure?
Fitri :Yes, I’m sure dear…
Evi : ok. Thanks for your information. I
will ask to Mss. Farla
Fitri
melanjutkan melahap bakso yang baru saja dibeli di Bakso Bintang Kota,
tentangga kami. Kami baru saja sampai di pondok setelah sepanjang siang kami
kelilingi Pasar Besar untuk mencari sarung yang sesuai selera kami. Iya, sarung
khusus perempuan yang digunakan untuk bawahan mukenah. Kami merasa sangat lapar
dan sebagai jalan keluar, kami membeli bakso di tetangga kami.
Selesai
makan, ku bersihkan mangkok beserta sendok dan garpu yang selesai ku gunakan.
Ku letakkan kembali peralatan makan itu ke tempat semula. Kemudian kudatangi
Farla yang tengah asyik tertawa seorang diri di depan laptopnya.
Evi : Farla…
Farla :…….
Farla
hanya terdiam dan memandangi layar laptop seraya memegangi telinganya. Baru
kusadari terdapat headset di keduan telinganya. Ku berniat memanggilnya
kembali dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
Evi : Farla…..
Farla : Hah… (Dia tersentak kaget, pandangannya
beralih kepadaku.)
Why????
Evi :Far, I hear from Fitri that you will
buy a flashdisk ba’da atsar. Won’t you?
Farla :Yes, I ‘ll. Why?
Evi : How do you think if I follow you? I
need a flashdisk too.
Farla :Arasso.
Kabut senja berjejer rapi menutupi sang mentari. Berbalut warna abu-abu menghadirkan rasa
gentar di kalbu. Jagat raya pun mulai enggan berbagi binar birunya, berkompromi
apik bersama sang surya. Pun pepohonan di sekitar komplek Tidar menyusul
riuh, menahan goncangan angin yang
menyambar dedaunnya. Nada di lingkungan BCT semakin jauh dari irama keteduhan.
Tak lama kemudian adzan astar berkumandang.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar….”
Farla : Vi,
don’t take a long time,,,
Evi :
Arasso…
Adzan berkumandang, iqamah di perdengarkan dan
kemudian shalat jama’ah dilaksanakan di Masjid Baiturrahman. Tak luput Farla
dan aku pun berjama’ah seusai iqamah menggumam di dinding tempat kami nyantri. Kami
berdua berjama’ah di pondok Darunnun.
Sembahyang telah usai kita dirikan. Masing-masing
lantas mempersiapkan diri untuk keluar membeli flashdisk di depan kampus UIN.
Farla pun menghidupkan mesin motornya, perlahan
tangannya menarik gas dan menguranginya secara berulang-ulang, hingga 3 menit
baru ia injakkan kakinya di gigi 1, tanda bahwa dia sudah siap untuk berangkat.
Akupun sudah duduk di belakangnya. Meskipun mendung hitam masih setia memayungi
jagat raya, kami tak gentar untuk melangkah demi sebuah flashdisk untuk setor
tugas ke sang kiai. Waktu di jam tangaknu menunjukkan bahwa saat ini pukul 16.30
WIB dan kami sampai di belakang UIN jalan terobosan menuju depan kampus ijo
itu. Namun tak ku sangka, sore itu, langit tak mampu membendung rindunya. Ia labuhkan
derasnya hujan di dasar bumi. Halilintar menjadi saksi, gemuruh angin
memaniskan rona cintanya. Kami pun sontak berhenti di Masjid, meneduhkan diri
kami yang telah basah oleh air hujan. Begitu deras hingga basah kuyub kami dapati
ketika sampai di depan masjid As-Salam.
Evi : Do
you bring a raincoat?
Farla : (hanya diam dan menoleh ke arahku, ia
kedipkan matanya perlahan sekitar dua kedipan, kemudian ia menggeleng dengan
pelan)
Evi :
hemmm.. oke la baksa,
Far,
lebih baik kita tunggu sampai jam 5, jika hujan tak kunjung berhenti maka kita
harus pulang sebelum malam tiba.
Farla :
Arasso…
Meski arlojiku anteng di tangan kananku, namun
tak bisa ku kendalikan mataku yang tak mampu menahan tahu seberapa cepat waktu
berlalu.
Farla : Vi,
lebih baik pulang sekarang, mumpung hujan reda. Lagi pula sudah jam 5
Vi.
Evi :
oke Far.
Sekarang adalah giliranku di depan untuk mengendari Revo
kuning kepunyaan Farla. Perlahan ku naiki, ku putar kunci ke arah kanan sampai
sepeempat lingkaran, serta ku pencet tombol kuning di sebelah kanan stir. Namun
tak kunjung starter itu nyala. Hingga kami hidupkan mesin dengan cara yang
berbeda.
Sekitar 20 menit berlalu, mesin motor tak kunjung
hidup. Baru kami sadari bahwa selama kami berteduh, mesin motor terguyur rata
oleh derasnya hujan, hingga starter tak mampu menghidupkan mesin dengan
beberapa kali percobaan.
Tak
seorang pun terlihat di sekitar kami. Jagat raya semakin terlihat hitam pekat. Ketakutan
mulai menggelayuti pikiran. Pondok kami lumayan jauh dari tempat berteduh,
apalagi jika ditempuh hanya dengan mengapal kaki. Jalanan menuju kesana cukup menakutkan, pegunungan
di barengi beberapa belokan tajam dengan tanjakan.
Semakin
petang, malam akan segera datang, akhirnya kami putuskan untuk pulang sambil
menjalankan motor di sebelah kanan kami. Ingin kami hubungi santri di pondok,
namun apalah daya keadann hp kami sudah tak mampu menghidupkan daya oleh karena
rembesan hujan yang masuk melewati saku-saku kami. Akhirnya kami pasrah, hanya
kepadaNya kami minta perlindungan.
Begitu
berat terasa ketika kami menuntun motor munggah menaiki tanjakan
melewati pondok Gasek. Adzan magrib berkumandang, sontak Farla berhenti
mendorong motor dan tanganku tak mampu menahan rem. Revo kuning itu mundur,
Farla berada tepat dibelakangnya, tangan kecilnya tak mampu menahan, akhirnya ia
lepaskan pegangan tangannya, aku pun tergelincir mundur menubruk bahu
kanan farla dan kami berdua terjatuh hingga sampai di samping sang kuning. Begitu
rapuh kurasa kala ku terbangun. Semua terasa lemas, tak mampu ku lihat Farla
yang sudah tak sadarkan diri. Semakin kuat rasa takut menyelimuti hati, tak
seorang pun lewat di jalanan sepi penuh dengan bentangan pohon pinus dinggir
jalan itu. Ku coba bangunkan dia, ku
tepuk pipinya perlahan,, namun tak ada sahutan. Aku semakin risau, waktu
menunjukkan pukul 18.15, tak akan lama
adzan isya akan menyusul.
Dari
kejauhan terlihat sinar lampu sangat terang, semakin lama semakin terang. Hingga ku dapati mataku terpejam
perlahan.
Selir-sayu
mataku terbuka, terlihat seorang pemuda mendekati aku dan Farla. Ia berjubah
putih, panjang hingga perempat lutut dengan disambung celana hitam. Terlihat dari
pecinya yang melingkar, ia mungkin baru selesai mendirikan shalat magrib.
Terasa
hujan berhenti sejenak ketika payung merah di tangannya tepat berada di atas kepalaku. Dengan berat usaha ku tegakkan
tubuhku. Farla pun mulai membuka matanya, ia lebih kuat dari yang kuduga. Dengan
lincahnya ia terbangun duduk dan menoleh ke arahku. Namun luka di tangannya
tetap terlihat lumayan parah akibat menahan motor hingga terseret menempel
aspal.
Evi : Mohon maaf mas, bisakah jika antum
menolong kami untuk sampai ke pondok kami?
Pemuda:
Iya mbak, saya akan bantu. Bisa mbak
masuk ke dalam mobil? Atau sya bantu mbak?
Evi : farla, isya hampir tiba, bagaimana
jika kita parkir motor disini, kita ikut mas untuk balik ke pondok? Atau kita
cari bengkel di dekat sini untuk kemudian membawa motor ini kesana?
Pemuda:
Oh, masalah motor, biar saya urus mbak, kebetulan sya punya bengkel di daerah
tidar. Saya akan hubungi beberapa dari mereka untuk kemudian datang mengambil
motor mbak.
Farla : terima kasih mas,, baiknya jika kita
segera ke pondok Vi.
Pemuda:
mari mbak saya antarkan mbak ke pondok. Silahkan masuk ke mobil saya. Dimana tempat
pondoknya mbak?
Sayuh-sayuh
farla membuka pintu mobil, aku pun ikut antri di belakangnya. Kami duduk berdua
di belakang pengemudi. Sambil Farla tunjukkkan arah menuju pondok, aku hanya
diam menyandarkan kepala ke pojok kursi. Pikiranku menerawang dalamnya lautan. Teringat
ketika ustadz kami mengisi kajian rutin di hari rabu dan berulang-ulang beliau
lantunkan “Fa inna ma’al usyry yusyra, Inna ma’al usyry yussyra”. Betapa Allah menepati janjinya. Betapa mudah
pertolongan itu sampai kepada hambanya. Betapa besar nikmat yang ia berikan
melalui ketetapanNya. Serta betapa sempurnanya Ia melukis kisah untuk setiap
hambaNya.
“Allahu
Akbar” ……
Aku
tersenyum mengingat peristiwa 11 April 2015 yang lalu. Astaghfirullah… ighfirly
ya Rabby.. aku tersadar kembali bahwa saai tini aku tengah ikut jam’ah shalat
maghrib di masjid. Ku berusaha menyatukan fokusku untuk suara imam, hingga
salam pun terdengar.
“Assalamu’alaikum
warahmatullah”….
Salam
pun terdengar untuk kedua kalinya..
“Assalamu’alaikum
warahmatullah”..
Aku
pun menoleh ke arah kanan sambil mengucap salam, pertanda shalatku telah usai.
Evi
0 komentar:
Posting Komentar