Gambar : Setangkai simbol cinta yang kelopaknya kian habis tercecar
Di sisa perjemuanku, menantiku tak berimbang lagi. Kutunggu dering ini
berdetak kembali. Deret Minggu tlah berlalu, tiada bisa kan terakun. Menantiku tak
serupa, tak sedia kala. Entah kemana. Entah sebab apa yang berkuasa. Manalah
cinta.
Hey? Kamu kemana. Tanyaku kan tetap sama. Tlah nyata, rentang kita takkan
kurang dari sekian depa. Namun tak bisa serukan tuk slalu ada dan nyata di
muka. Yang menggantikanpun tiada saja. Maunya tak pernah ada. Sebelum jawab kan
terurai, kan kunjung tersampai.
Eksakta, kulalui dengan kaku. Dengan redam, kulalui bingkai goresan seni.
Sekian langkah terlindungi, tanpa torehan kanan. Dengan memikul tanya, terlampaulah
semua. Sekian masa berlangsung sama. Takkan berikan beda, maupun jeda. Kuranglah
cinta.
Deretan papan seakan peringatkan. Sekian jendela menyoroti muka ruang.
Berseru tuk ajak berlari. Peringatkan pribadi. Jangan berpaku diri. Juga bagimu,
sang musisi hati.
Dunia masih teracik dalam satu bilik. Terpampang hamparan di ulasan nyata.
Namun akupun sama, juga ikut tak bersua. Kiranya batinmu yang mestinya bergegana. Maka berurailah. Kan kuseksamakan hati. Juga intuisi.
Dalam dentangnya perpisahan. Kuhampiri, bergegas menjadi penengah diri
sendiri. Antar dua raga yang tak kian berucap. Demi tangguhnya diri, demi
terhamparnya dua isi hati. Hingga meja kursi menjadi saksi. Habislah cinta.
Kau bilang so far away, bagiku so deep away
Hanya langkah nan bergegas tindak, ataupun tidak
Katamu tak apa, bagiku slalu mengapa
Kau bilang tak bisa slalu ada? nyatanya slamanya kan tetap tiada
Tak kurasa apa, namun hanya bongkahan besertakan tanya. Yang tak
sepenuhnya terbuyarkan olehnya.
Seakan lepaskan dengan sutra. Hingga tak rasa, sampai habis cintaku.
Oleh:
Indah Nurnanningsih
0 komentar:
Posting Komentar