Sesosok salju, merayu merdu dengan senyumnya
yang malu-malu. Duh, dikau pemilik mata sayu, tatapanmu merayu pundakku tuk
gerakkan tubuh dan mataku padamu. Di sudut pandangan, memaksa tubuh untuk
memutar balik jauh kebelakang tatkala ingin periksa kehadiranmu, rindu. Telah lama
kau tak bertamu di cerug mataku. Selain wajah dan senyum lebarmu, ada tanda
melingkar hitam di atas daun telinga kananmu. Hihihii... kenapa kau melepas
sepatu? Apa karena hawa panas yang menggelitik sela jemarimu?
Ah, hanya meraba rasa sendiri. Berkutat dengan
bayang semu, engkau disana dan aku disini. Meski lantai kita sama, naungan
kitapun sama namun ada yang membisik bahwa kau tak ada. Tentu saja, tak ada
untuk menatapku, jangankan pandangan, sejengkal namapun ku yakin kau tak tau.
Yah, aku hanya dapat memandang dan merasakan kehadiranmu, setelah sekitar dua
bulan tak kuciumi sendumu. Fakultas, ya. Tempat dimana kesan pertama. Saat itu,
terik sengat peraduan selasar fakultas. Sedetik sayup-sayup guraumu menggelitik
relung, aku penasaran kiranya siapakah dia? Kalimatnya pendek penuh makna,
entah apa yang dibicarakan. Yang ku tahu, beliau yang ada disampingmu adalah
dosen jurusan teknik. Satu kesan, sepertinya kau orang punya harga.
Hari berikutnya, kutemui engkau dikantor pengendalian
jaringan sedari tadi pagi hari pukul 6 ku sudah bertatap dengan tubuh kurus
berbalut baju birumu. Penasaran, aku pulang sangat sore hampir maghrib malahan
namun kau masih disini. Berjalan kesana-kemari entah mengurus apa. Batinku, kau
pasti bukan murid biasa. Kali ini, aku mulai punya hobi baru, menatap, selidik
dari kejauhan. Apa kau ada? Apa yang kau lakukan? Aku mulai Kepo. Sempat suatu waktu aku harus pulang lambat, iya pukul 8 malam. Kulangkahkan kaki gontai tanda
penat. Ada yang menelisip, apa itu bayangmu? Oh, astaga! Benar-benar rajin
pikirku, kau masih bekerja sejak pagi hari sampai malam-malam begini. Istimewa,
semua kawanku tak ada yang mau pulang larut-larut begini.
Klakson dari arah depan fakultas buyarkan
lamunku. Sejenak kutengok lengan, sudah pukul setengah 9. Baiklah, kusapa pak
satpam yang sedari tadi sibuk menonton sepak bola dari channel tv kabel ujung
ruangan. Nah, itu dia pahlawanku. Lelaki gagah, bertubuh gempal dengan dada
datar six pack nampak manyun, bibirnya maju 2 cm. Lucu.
“lama banget, udah lama tau aku nunggu. Ayo
pulang”
“iya... maaf Nii-chan” lagi, di cubit lenganku
Orang bilang, semua orang pasti punya teman.
Allah benar-benar sayang padaku, aku tak pernah sendiri. Sejak di alam
kandungan, aku tak sendiri. Iya, kami
terlahir kembar. Hanya saja, kami sangat berbeda karena fraternal, dia
laki-laki dan aku perempuan. Seluruh keluarga sangat bersyukur, merasa
beruntung semua begitu lancar. Ibu melahirkan dengan normal dan mudah, jika aku
tanya “apakah melahirkan itu sakit bu?” ibu selalu menjawab sama sekali tidak,
karena kami baik jadi tidak menyusahkan ibu untuk melahirkan kami. Kami anak
pertama sekaligus cucu pertama di keluarga ayah maupun ibu.
Semua nampak indah, sampai pada suatu masa saat
kami mulai memasuki TK. Temanku, membuatku sebal lantaran crayon bagusku
diambil. Entahlah, aku tidak begitu ingat namun kata guruku, saat itu aku
menangis sampai akhirnya tak sadarkan diri. Sejak saat itu, ada larangan yang berlaku di
keluargaku. “aku tak boleh emosi berlebihan”.
Itu menyakitkan, bagaimana tidak sejak saat itu pula aku tak pernah
dapat lagi bersekolah sebagaimana anak-anak normal. Pilihan satu-satunya adalah
Home schooling. Hingga masuk usia SMA dan dirasa cukup aman, barulah aku
diperbolehkan sekolah di SMA umum.
***
Satu tahun. Iya, satu tahun tak pernah cukup
untukku mengagumimu dari kejauhan. Duhai Rindu, kau sungguh indah. Seorang
gadis tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangan “dek... stop! Tunggu
disitu” ini kakak tingkatku dari jurusan matematika. Dia cantik dan ceria, namun
terkadang suka betindak seenaknya.
“eh dek, proposal penelitianku diterima lho...”
“alhamdulillah kak, pean sudah berusaha
keras... selamat ya mbak” kupeluk erat sahabatku ini
“dek, siapa dia? Misterius....”
“gak tau namanya mbak, kayaknya anak teknik”
“lho, satu atap kok gak tau namanya sih...
gimana kamu ini”
“iya kak, atap fakultas... mana bisa aku hapal
semua anak disini”
“hihihiii... hayo! Kamu suka dia ya dek”
“apaan sih kak, bisa-bisanya lho pean tanya
gituan”
“udahlah, dari kejauhan kakak udah perhatikan
kamu diam-diam curi-curi pandang sama anak itu”
“Apaan sih kak, aku ke lab. Lagi ya Assalamu’alaikum”
“iya, Wa’alaikumsalam... pesennya Rio,
jangan malam-malam kamu keluarnya”
“iya kak...” senyum kakak menyimpan sesuatu
Aku takut. Degup jantungku lancang berlarian
tanpa malu. Tanpa ragaku boleh ikut berseru, aku takut. Aku limbung.
***
“nak, sayang... bisa dengar suara ibu?
Sayang... bangunlah, ini ayah sudah pulang” ada perasaan hangat menetes ke
lenganku, ibu... jangan khawatir, aku baik-baik saja.
“nak, ini ayah... ayo, coba anggukkan kepalamu.
Oke! Ini dia putriku, pintar...” ayah,
aku merindukanmu, ingin ku peluk erat dan kuciumi bau badanmu sepuasku. Selang
oksigen ini menggangguku, aku tak tau bau ayah seperti apa hari ini, bisa jadi
berbeda. Mungkinkah harum mawar? Atau kasturi? Aku masam keringat? Aku rinduimu
ayah.
Satu bulan berlalu, tak lagi kutemui bayangmu.
Apakah semua baik-baik saja? Apa kau baik? Entah kau pergi kemana. Rindu...
penasaran semakin gencar menikam hariku, menusuk tidurku, mengusik waktuku.
Bbrreeett... brrrtt.. ada sms dari kak Tsani, “adek cantik... kakak
punya cerita ne, tapi jangan penasaran ya” dengan pesan semacam ini, mana ada
orang yang tidak penasaran dan ingin mencari tahu kebenaran? Gumamku. “baik,
siap ya...” iya, aku selalu siap untuk mendengar apapun racauan kak Tsani ini.
“eh dek, kemarin dua hari setelah kamu masuk RS, kakak ketemu dia lho... kakak
ajak kenalan aj, habisnya dia sok cuek sih” Dek, Apa? Kak Tsani ketemu dia? Apa
yang dia katakan? “pengen tau ndag, namanya siapa? Hahahaaa... rahasia!” “oh
iya, maaf kakak sempet ngomongin kamu di depan dia” ya Allah... apa-apaan kak
Tsani ini.
Belaian angin tak lagi terasa ramah, mereka
mengusik batinku. Ada yang membuatku tak nyaman, Astaghfirullah... Ya
Allah, aku mohon jangan sekarang... dadaku sakit, sangat sakit. Jangan
sekarang, tak ada orang dirumah. Kursi belajarku terasa goyang, mejaku menjauh,
semua terserak berantakan. Kutarik nafasku, kujulurkan lengan ke arah handphone
yang sedari tadi meraung, terjatuh ke lantai. Begitupula denganku, tubuhku
layu, tanganku kelu. Jantungku serasa mau meledak! Nafasku tinggal satu-dua,
sakit! ya Allah...!! aku mohon jangan sekarang... Sejurus kemudian, tanganku
berhasil menekan tombol angkat. “Nak, ibu pulang agak terlambat, nanti kamu...”
“Bu... Buu...” suara lirihku dan deru napasku memaksa ibu menghentikan kalimatnya
“nak... tenang ya, sabar... ibu segera pulang sekarang”.
Denting jantung ini mengusik pendengaran,
suaranya terasa sungguh tajam. Semua terasa terang, putih dan dingin, Inikah
alam barzah?
***
Satu bulan. Iya, genap satu bulan aku absen
dari bangku perkuliahan dan praktikum. Sebenarnya aku sudah tidak punya jadwal
pelajaran lagi, tinggal kegiatan laboratorium yang menyita waktuku. Satu
persatu kuperiksa kotak masuk pesan, banyak dari adik-adik praktikan yang
lainnya dari teman-teman dan saudara di kampung, rupanya mereka mendengar
berita tentangku. Beginilah hidup yang harus kujalani, setiap detik setiap
menit setiap nafas sungguh harus disyukuri. Bagiku dan bagi seluruh keluargaku.
Mereka semua sangat mencitai kami, si kembar yang di dambakan semua orang.
Pamanku tidak memiliki anak, dan bibikku baru bisa punya anak setelah melewati
15 tahun masa pernikahan.
Namun kebahagiaan itu tidak berjalan
sebagaimana kisah hidup yang sempurna. Dokter menetapkan vonis kepadaku
mengidap Hypertrophic cardiomyopathy yakni penebalan otot jantung,
penyebabnya tidak diketahui dengan pasti. Bisa jadi karena faktor keturunan
atau kesalahan replikasi sewaktu masa embrio. Bagian bilik kiri jantungku
mengalami penebalan, akibatnya terjadi aritmia atau denyut jantung tidak
beraturan. Penyakit ini sangat berbahaya, karena dapat membunuh sewaktu-waktu,
kapanpun. Karena kapasitas jantung yang terbatas, membuat kulitku nampak pucat.
Semenjak mengerti resiko yang akan terjadi dengan jantungku, aku mulai belajar
mengontrol emosi. Karena ketika gugup, marah, bahagia yang berlebihan akan
membuat jantungku kolaps. Inilah yang membuatku nampak sebagai gadis dingin,
tenang tanpa emosi. Dokter bilang, aku tidak akan bertahan sampai usia 20
tahun, namun nyatanya? Maha pemilik hidup dan kehidupan masih mengizinkanku
tersenyum sampai kini usiaku menginjak 22 tahun.
Aku terpaksa home schooling sampai usia
SMP, namun karena ternyata aku hanya sanggup bertahan di sekolah selama 1
minggu, maka aku harus kembali kerumah dengan segala kenyamanan. Meskipun itu
semua tidak menjamin keselamatanku. Kala itu aku berubah menjadi gadis
sensitif, yang suka marah sehingga membuat waktuku bersama keluargaku banyak
terpakai di rumah sakit. Bagaimana tidak? Satu minggu sehat, dua minggu sakit.
Begitulah seterusnya. Hingga akhirnya aku bertemu psikiater yang mengajarkan
bagaimana seharusnya hidup ini dijalani. Disinilah titik mula aku berani.
SMA, tidak banyak yang berubah selain seragam
baru, kelas baru, yang paling menyenangkan selain rumah, rumah sakit, aku
memiliki tempat lain yakni sekolahan ini. Aku tak pernah mengikuti olahraga
apapun, tidak ikut ekstrakurikuler apapun. Demi nafas yang harus terus
berhembus. Sampai pada akhir tahun, saat selesai ujian nasional saking
bahagianya aku lupa diri. Aku ikut teman-temanku lomba lari, bukan karena
tantangan mereka sebenarnya karena akupun bosan. Akibatnya, sebelumnya aku
tidak harus operasi by pass, yakni melakukan pengikisan otot jantung.
Kali ini tak dapat lagi ku lari. Sampai sekarang, aku merasa tidak nyaman
dengan tanda membujur di dadaku. Serasa aneh.
“dek, sudah sehat? Hari sabtu ayo main ke
taman. Kakak punya teman baru lho... pasti kamu gak bisa nolak kakak cantik ini
kan? Oke, kita ketemu jam 7 pagi sekalian olahraga”
Hemm... begitulah kak Tsani, selalu bertindak
semaunya dan yang menyebalkan aku tak pernah bisa menolaknya, mungkin karena
hanya dia teman baik yang ku punya.
Sabtu pagi, setelah subuh kusempatkan untuk
memuja Rabb-ku dengan lantunan mesra ayat-ayat cinta-Nya. Kunikmati hawa kamar
hijauku yang cukup luas, iya kamar ini merupakan kamar paling luas di rumah,
karena ibu ingin aku bernafas lega. Alhamdulillah, terimakasih Allah,
terimakasih ayah, ibu, kakak yang telah menjagaku dengan segalanya. Setelah
sarapan, kucium harum pipi ibu dan kakakku meminta izin untuk bermain.
“gak papa nak, berangkat sendirian? Ditemani
kakak ya...”
“ndak usah bu, kakak juga mau main sendiri tuh”
“kak, temani sana!”
“aku ada janji bu... nanti ya, kakak jemput
langsung tepat waktu” sambil mengacungkan keempat
jempol miliknya
“kamu ini, ya udah... hat-hati ya, salam
buat kak Tsani”
“iya bu, Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam... ini obatnya ketinggalan”
“ndag usah bu, saya gak lama kok. Lagi pula
barusan sudah minum” sambil kulemparkan senyum
semanis-manisnya untuk bunda tercinta
Aku tak ingin membuat semua khawatir, namun aku
juga sudah bosan dengan segala cara hidup macam ini. Toh, hasilnya sama saja...
aku masih tak dapat merasakan cinta. Kejadian terakhir membuatku sadar,
kata-kata ibu memang benar adanya. Aku tak boleh jatuh cinta. Namun hati ini
milik siapa?
Lima belas menit merasakan belaian lembut angin
jendela angkot, membuatku sampai di taman kota nan sederhana. Iya, ini bukan
taman pusat yang serba ada ini hanya taman sederhana yang dibangun khusus untuk
penikmat langkah. Kutebar tatapan keberbagai penjuru arah, kanan, kiri, depan,
belakang, akhirnya nampak gadis cantik berkerudung merah melambai dari selasar
ujung taman. Itu kak Tsani.
“sini dek, huft! Ternyata capek juga ya
jogging pake kaki” sambil mengelap ujung alisnya yang tipis dengan handuk
merah kecil buatan China.
Obrolan kami pun mengarah kemana-mana, mulai
dari masalah kuliah sampai nasi goreng dan penjual pecel di pasar. Kak Tsani
ini memang selalu menyenangkan.
“oh iya dek, ada yang pengen bertemu
denganmu” apa? Bertemu? Ah... kak Tsani ini, pasti lagi-lagi orang yang
aneh seperti tukang sol sepatu tempo hari yang pandai merayu dengan sulap yang
lucu.
“sebentar ya, dia masih otw mungkin lima belas menit lagi”.
Setengah jam berlalu, tak nampak sosok itu, batinku mulai didera penasaran.
Siapakah orang itu? Tidak biasanya kak Tsani setia menunggu orang.
“Assalamu’alaikum...”
Astaghfirullah, ada yang mengagetkanku dari belakang dan
suara itu... suara itu... aku mengenalnya, sangat akrab. Hatiku menjadi tidak
karuan, siapa dia? Kuberanikan menoleh kebelakang. Dan benar adanya, itu dia...
sekarang berada di depanku... Allah, jantungku mulai tak karuan, berdebam
dengan riang.
“Saya Arif, kita satu fakultas kan... salam
kenal” dia mengulurkan tangannya, mengajak salaman. Bagaimana ini? Ada
syahwat di diriku. Adu persepsi sangat sengit mengisi batinku, kucoba berdamai
namun tak bisa, mereka saling membunuh antara kanan dan kiri, iya dan tidak.
Akhirnya, Iya lah yang menang. Lima detik baru kusambut ulurannya. Tangannya
hangat... nyaman... tak ingin kulepas. Astaghfirullah... kulepas
genggamannya. Kugamit bibirku penuh malu, malu pada diriku. Inikah yang kau
lakukan atas semua kebaikan yang telah Allah berikan padamu? Mengkhianati-Nya
atas rasa yang kau sebut cinta? Kubenamkan pandanganku, jauh-jauh darinya,
Rindu ku yang selama ini bersemayam rapi di tepi peraduan sunyi.
Engkau disini Rindu, menatap merdu dengan
matamu yang sayu
Sayu, disitu kutemukan diriku sebagai satu
Kita satu, punya yang Satu
Kemarilah, biar kugamit dirimu erat Rindu
Duhai engkau Rinduku, yang ku puja sepanjang
waktu
Berawal dari titik membukit, menggaris mengikat
diri jadi gambar mesra wajah sendumu penuh rayu
Duhai
pemilik mata sayu
Tanpa sadar, kakinya
bersentuhan dengan kakiku. Sakit! Ini mulai sakit... serasa ada yang kurang
ajar menembak dadaku. Ya Allah... bagaimanapun, ku tak bisa membuatnya melihat
diriku seperti ini. Ingin ku beranjak pergi dari semua kesakitan ini.
“kak, aku duluan gak papa
ya... kakak sudah menjemputku disana”
“kenapa buru-buru? Inikan
baru sebentar, Arif juga baru datang”
“kak, tolong... lepaskan
lengan kakak, aku harus pergi”
“oh, maaf dek... iya, kamu
boleh pergi”
Tanpa ku ucap salam,
kupalingkan mukaku dari mereka. Ya Allah... sakit sekali, aku tak tahan. Kakiku
menolak untuk melangkah. Ku jatuh terduduk dalam perjalanan, sungguh ini
menyakitkan. Allah, Ya Rabbi... tolong saya, aku mohon ya Allah... tubuhku
rebah, mataku nanar kehilangan hingar. Semua ini, dunia ini tak ada arti hanya
ada bayang mati. Apakah aku akan mati sekarang? Tidak! Tidak boleh... aku belum
bertobat, barusan telah kulakukan dosa besar. Deru derap kaki serasa mendekat,
dari jauh kulihat bayangan kakak menjatuhkan motornya dan berlari menghampiri
diri. Ada yang memelukku dari belakang, serasa hangat... suara panik mereka terasa mengusik.
Dingin... tangan ini, iya...
ini tangan dingin kakakku. Perlahan kupastikan siapa itu. Benar, kakak tertidur
di tepi ranjang. Pasti dia lelah. Derit mesin EKG ini membuatku tidak nyaman.
Entahlah, seharusnya aku sudah terbiasa dengan semua suara ini, dengan semua
selang ini. Namun tidak. Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Dari kejauhan ku dengar
suara tangis perempuan, aku tahu itu ibu. Ibu yang tak pernah siap untuk
kehilangan putrinya. Ibu, ya... itu ibuku, ibu kebanggaannku. Kuraba dadaku,
dan benar... mereka telah membedahku. Entahlah.
Derit pintu membangunkan
tidurku. Ada bayangan Rindu disana, di ruanganku, dia berbincang kak Tsani dan
keluargaku. Oh, astaga... dia kemari dengan matanya yang sayu. Ingin ku pergi,
namun tak berdaya tubuh ini.
“Shifa... tolong buka matamu, sebentar saja.
Untukku, kumohon... aku ingin berbicara denganmu, mungkin kau bertanya-tanya
apa yang terjadi Sabtu itu. Baiklah, aku akan bercerita, aku disana melihatmu
dari kejauhan. Melihatmu kesakitan karena sentuhan tanganku, membuatku sakit
Shifa. Maafkan aku, seharusnya aku faham resiko apa yang akan terjadi atas
tindakanku. Seharusnya aku sadar, alasan kenapa kau selalu menghindar, menjauh
setiap kali aku berusaha mendekati kursimu. Shifa, aku tahu semua... berapa
banyak cinta kau tuangkan pada cangkir rindumu. Ini aku Rindumu yang kelabu.
Kak Tsani menegaskan prasangkaku sejak setahun yang lalu. Sejak kita bertemu di
selasar fakultas waktu itu. Baiklah, mari kita menikah saja... kalau kau setuju
tolong anggukkan kepalamu”
“terimakasih Shifa...”
Wajahmu tak lagi sendu, matamu tak lagi sayu
yang ada hanya rindu. Andai aku dapat berucap padamu, betapa indah dirimu
Rindu. ku kan melagu, merayu semua semu agar tak bawa engkau kasihku.
Aku Mencintamu, Terimakasih Rindu.
Tergores dari Asa gadis tak ber-rupa
Amanatul Mubtadiah
Pondok Pesantren Darun Nun Malang
0 komentar:
Posting Komentar