Amanatul mubtadiah

Tempatnya pas dipojokan jalan, bunganya lebat pasti buahnya
nanti juga akan banyak. Entah milik siapa
pohon alpukat cantik ini, pohonnya tidak terlalu besar namun benar
adanya begitu berbuah, buahnya tak terkira banyaknya. Hampir setiap sudut
ranting nampak butir-butir sebesar bola ksti bergelayut mengingatkan bentuk tempat
arak di film-film shaolin, hanya saja warna hijau. Beberapa burung nampak
berlalu lalang kesana kemari, bermain di sela dedaunan pohon hijau. Setiap yang
lewat jalan in, pasti terkagum-kagum dengan kelebatan buahnya.
“entah sampai kapan dia akan memberikan nutrisi untuk kita”
“hahahaa... alpukat punya orang itu”
“gak papa mbak”
Setiap pagi dan sore, apabila ada buah yang jatuh bukan
kelelawar atau hewan apapun yang mengambil buah manis itu melainkan para santri
yang senantiasa semangat. Setiap pulang sholat berjama’ah subuh, maghrib, atau
isya’. Sebetulnya tidak semua santri cukup nyali untuk memungut buah alpukat
yang tercecer begitu saja dijalan, terjatuh sejak semalam. Ada, sosok nan indah
membuncah dua orang santri... iya, itu mereka. “ah... akhirnya mereka datang
juga, kenapa mereka terlambat? Bukannya sudah iqamat? Semoga mereka melihat,
aku sudah bersusah payah berebut dengan kelelawar agar mereka mendapat buah
terbaikku”. Kelelawar pemilih, hanya mengambil yang terbaik dan yang cukup
matang untuk dimakan. “pak tua, kuharap kau ikhlas dengan buahku”.
“mbak, ada lagi... ini... ini...”
“wah... bagus ya, ayo taruh sana dulu”
“iya mbak...”
Sesampainya di pesantren “yeyeyeee... dapet banyak”, “bisa
mateng tah?”, “oh bisa... satu persatu pasti mateng”. Akhirnya... semalam
menunggu di jalan yang dingin, mereka akhirnya membawa buah tercinta, meski
hanya ditaruh di atas meja sudah berarti segalanya bagi buah hati pohon alpukat
disana. “ingat ya, ibu akan menjatuhkan kalian dari sini, kalian harus tetap
bagus”, “bagaimana caranya bu? Tubuh ibu sangat tinggi”, “begitu ibu melepas
genggaman, bergulinglah biar tubuh kalian tidak hancur dan tercecer, ingat cari
tempat di tepi agar tidak ada kendaraan mengijak kalian”, “ibu... aku takut...”,
“tenanglah, ingatlah bahwa Allah menciptakan kita untuk manusia, untuk memberi
manfaat kepada mereka”, “baiklah bu... aku berani sekarang!!”, “bagus, ibu akan
melepas kalian mulai sekarang ya... Bubu, kau yang pertama. Satu... dua...
tiga!”. Gedebuk! Suara buah alpukat mendarat diatas tanah malam pekat. Krak!! “ibu...
aku pecah..”, tidak apa-apa sayang, semoga mereka masih melihatmu,
bersabarlah... sebentar lagi subuh”. Nggreeng... Nggreeng... ciiit!! Kraak!! “ibu...
ibu...”. “jangan menangis sayang, biarpun begitu bijimu masih bisa tumbuh...”
Perjuangan untuk menunaikan kewajiban tidaklah mudah kawan,
berusahalah... meski telah kehilangan banyak buah, karena pecah terlindas
motor, terijak kaki para pejalan. Tak apa, pada akhirnya, pohon alpukat bisa
memberikan buah yang terbaik untuk para santri. Benar adanya, prasangka baik
sang santri indah rupanya.
Terkisah dari Buah di Pojok Jalan
Pondok Pesantren Darun NunBukit Cemara Tidar Karangbesuki Sukun Malang
0 komentar:
Posting Komentar