
Ukhti, dua hari lagi ana akan kembali ke ma’had. Pesan singkat itu
terkirim ke ponsel ku tepat setelah aku selesai sholat isya. Nama seorang
ikhwan terpampang di atas pesan itu. Dari dia. Teman satu kajian ku. Aku
mengeryitkan dahi. Untuk apa dia sampai memberitahukan hal yang tak penting
menurut ku.
”Iya, semoga di sana berkah, amiin.” Ku balas pesan
itu. Singkat, tak berembel-embel. Setelah itu ku letakkan HP di atas ranjang,
bersebelahan dengan tempat duduk ku. Ku ambil buku yang tadi sempat terputus
membacanya karena jeda sholat. Buku bercover ungu kebiruan dengan judul buku
berjenis huruf comic sans MS. Dalam waktu singkat, aku telah kembali berlayar
menyusuri kata per kata yang membuai dalam buku itu. Kisah Cinta Ali Kepada
Fatimah.
Jalan mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan
tanggung jawab. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti Ali. Ia
mempersilahkan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian. Bagi para pecinta sejati, selalu ada yang manis
dalam mencecap keduanya.
Aah,
begitu indah sang penulis meliuk-liukkan kata-katanya
hingga terlihat kisah ini semakin membahana. Aku takjub dengan Ali. Begitu
indah beliau melukiskan bentuk cintanya. Sebuah pesona keikhlasan yang agung
tersemat dari pengorbanannya. Pula sebuah konsekuensi yang berat dari
keberaniannya. Tak jauh berbeda dengan Fatimah. Ungkapan cinta yang hanya Allah
saja yang tahu. Keindahan cinta dalam diam mampu menjadikan dia sosok muslimah
tangguh yang menawan. Kekokohan menyimpan isi hatinya membuat sejarahnya elok
dikenang jaman. Masih adakah orang-orang seperti keduanya? Si Ali yang gagah
menawan. Dan Fatimah yang elok rupawan. Bila ada. Alangkah bahagia pasangannya.
Aku tersenyum geli menyadari apa yang baru saja aku
pikirkan. Ada-ada saja. Namun hal ini tak bisa aku menafikan, ikhwan mana yang
tak mau beristri Fatimah? Dan akhwat mana tidak ingin bersuamikan Ali?
Sedang asyiknya bergumul dengan pikiran ku. Ponsel ku
kembali berbunyi. Tanda satu pesan diterima. Kembali dari dia.
”Tapi, ana masih ingin di sini. Entah kenapa ana ingat
dengan anti.” Aku melongo membaca pesan singkat darinya. Apa maksud dia
mengirimi ku kalimat seperti itu? Ku
rasa dia tahu, bahkan ku yakin dia sangat faham. Betapa sensitif dan rentannya kalimat yang baru saja dia
kirim. Aku menarik
napas perlahan. Khilaf. Sangat wajar bila mungkin dia sedang khilaf. Meskipun
dia seorang yang ‘alim. Aku sadar dia adalah manusia biasa.
“Apa yang sedang antum pikirkan?” Aku bermaksud
menanyakan makna tersurat dari maksud tersirat kalimatnya. Aku sangat berharap
dia segera memahami kekeliruannya. Lama ku tunggu tak juga ada balasan. Aku
berusaha menenangkan hati dengan melanjutkan membaca buku. Sayangnya, isi
ceritanya ku rasa tak semenarik tadi. Pikiran ku tak fokus lagi. Terpecah
karena pesan singkat yang dikirim olehnya.
Lima belas menit berlalu. Pesan balasan ku terima. Dengan
sigap aku membukanya.
”Afwan Ukhti”, begitu dia mengawali kalimat dalam SMS
itu. ”Setelah muroja’ah selepas maghrib tadi. Ana tiba-tiba ingat dengan anti.
Ana tidak berpikir apa-apa. Sungguh ana juga tidak tahu mengapa bisa seperti
ini. Ana belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.”
Sekali lagi, aku menarik napas panjang. Belum sempat aku membalas pesan untuknya. Kembali
ponsel ku berbunyi. Satu pesan lagi
masuk. “Ukhti, ana akan bicara dengan Ustad ana juga orang tua ana. Ana akan
mengkhitbah anti. Itu pun jika anti besedia. Bagaimana Ukh?”
Langsung lemas tubuh ku membacanya. Rasanya badan ku
menjadi ringan. Di sekelilingku seakan berputar. Pusing. Ku rebahkan badan ku
perlahan. Allahu Akbar. Lirih. Ucapan takbir mengalun lemah dari lisan ku.
Aku harus menjawab apa? Sejujurnya, tiada alasan untuk
menolak ikhwan sesoleh dia. Akhlaknya pun tak perlu diragukan lagi. Tapi entah
mengapa, hati ku masih diselimuti keraguan. Terbayang kata-katanya tempo dulu.
Aku harus belajar yang fokus. Umat sedang menunggu ku. Begitu dengan tegas dia
mengatakannya. Iya, dia adalah harapan umat. Amanah besar ada dalam
genggamannya. Apakah aku akan menghancurkan cita-cita mulianya?
Jika setelah proses khitbah, kami langsung menikah, aku
takut konsentrasinya akan terpecah. Antara menuntut ilmu dan menafkahi keluarga.
Kondisi ini pun dipersulit dengan statusku yang masih menjadi mahasiswa. Kedua
orang tua ku akan menyatakan keberatannya bila ku ungkapkan keinginanku untuk
menikah. Tak ingin ku lihat ada raut kecewa dari wajah keduanya. Aku tidak mau
itu terjadi. Dan bila pernikahan kami ditunda sampai kami menyelesaikan studi.
Itu pun tidak aku inginkan. Tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui masa
depan kecuali Allah. Dan lagi pula aku tidak ingin hati kami berpenyakit dalam
masa penantian.
Sungguh berat. Hati ku galau. Pikiran ku tak karuan. Tapi
aku harus memberikan jawaban cepat. Perlahan, aku mulia menekan tuts-tuts HP.
Merangkai kata-kata menjadi kalimat. Mengetik sebuah jawaban yang kurasa paling
tepat. Paling tidak, tepat dalam pandangan ku.
”Afwan Akh.” Aku mulai merangkai huruf per huruf. Aah,
benar-benar sulit untuk melanjutkan kata-kata. Tapi ini harus!
”Ana yakin, cinta antum kepada ana tidak melebihi cinta
antum kepada-Nya. Dua hari lagi antum akan pergi ke ma’had. Jangan perberat
langkah antum menuntut ilmu dengan cinta antum kepada ana. Ana ingin antum
fokus belajar tanpa memikirkan apa-apa. Umat sedang menunggu kiprah antum dalam
berdakwah. Jadilah penolong agama Allah. Hingga nanti, siapa pun yang menjadi
bidadari antum akan bangga diperistri seorang jundillah yang berjuang
menegakkan agama Allah.”
Selesai mengetik. Tanpa ragu langsung ku pilih send di
option pilihan. Loading.
Pengiriman pesan sedang berlangsung. Tak lama kemudian, pesan terkirim. Dada ku
sesak. Rasanya paru-paru ku kering tanpa oksigen. Ku hirup udara
sebanyak-banyaknya. Dan mengeluarkannya perlahan. Ku ulangi beberapa kali.
Tak sampai sepuluh menit, ada SMS balasan. ”Iyaa Ukh, ana
akan coba terima dan berpikir lagi. Afwan, ana terlalu jujur tentang hati ana.
Mungkin ini adalah tipu daya syetan yang hendak melemahkan niat dan cita-cita
ana. Ana berlindung dari hal-hal yang semacam ini. Lagi pula, apalah arti cinta
tanpa sahutan yang pasti.”
Aku terhenyak dengan kalimat terakhirnya. Harus bagaimana
lagi aku menjelaskan. Ku rasa dia lebih faham akan hal ini. ”Mudah bagi Allah untuk menyatukan sesuatu jika Dia telah
berkehendak. Simpan cinta
antum. Ada yang hal yang lebih besar yang harus antum capai, yaitu cita-cita
antum. Afwan, ana juga
tidak bisa memberikan kepastian karena ana tidak mengetahui masa depan.”
Hening. Tak ada tanda-tanda adanya pesan balasan. Mungkin
dia sedang berpikir. Mungkin juga bersedih. Apakah kata-kata ku terlalu keras? Maafkan aku yaa
Allah, aku tidak tahu mana yang terbaik menurut Engkau. Aku hanya melakukan apa
yang menurut ku baik. Air mata ku perlahan jatuh. Ada perasaan bersalah yang
menghinggapi hati. Menusuk-nusuk perih. Aah.
Setelah malam itu. Hari-hari ku lalui seperti biasa.
Sesekali aku mengingatnya. Maju mundur perasaan masih menghantui ku. Dari segala
hal aku memang merasa belum siap. Tapi pada hal lain. Aku merasa aku ..... aah
entahlah, hanya Allah yang tahu pasti apa yang aku rasakan saat ini. Hingga di
suatu pagi yang sedikit berawan. Sebuah pesan masuk ke ponsel ku. Darinya.
”Assalamu’alaikum. Ukh, terima kasih atas nasehat anti
tempo dulu. Ana sekarang sadar umat sedang membutuhkan ana. Keinginan pribadi
harus ana kesampingkan demi kepentingan umat. Ana akan menikah. Dengan akhwat
pilihan ustad ana. Dia sekarang sedang ma’had di jakarta.”
Bagaimana perasaan ku saat itu? Aku merasa menjadi akhwat paling rugi sedunia. Rugi
karena telah menyia-nyiakan seorang ikhwan sesoleh dia hingga ”direbut” oleh
akhwat lain. Aku sedih. Mengapa aku tidak mengambil kesempatan ketika Allah
memberikan peluang pada ku? Aah, ini adalah takdir Allah. Aku berusaha tegar.
Akhwat itu memang lebih cocok dengannya. Padanannya serasi. Mereka sekufu dalam
hal agama. Dan aku harus menerimanya. Bukankah setiap pilihan ada
konsekuensi. Mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Dan aku telah mengambil
pilihan kedua. Mempersilahkan. Konsekuensi ku adalah sebuah pengorbanan.
Pesan itu kembali kubaca.
”Ukh, ini sekaligus undangan untuk anti. Akad nikah akan
dilaksanakan dua minggu lagi di masjid Ar-Rahman jam 11 setelah pengajian.
Doakan ana ya.”
Lama ku terdiam. Setelah menarik napas panjang
beberapa kali. Ku beranjak sholat. Menenangkan pikiran dan hati. Ku yakin ini
adalah takdir Allah yang paling baik untuk ku. Akan ada hikmah yang bisa ku
ambil setelahnya. Selesai sholat ku
balas pesan itu. Alhamdulillah, barokallah. insyaAllah jika tidak ada kendala
ana akan datang.
Cinta memang sebuah pilihan. Mengambil kesempatan atau
mempersilahkan. Yang pertama adalah keberanian. Yang kedua adalah pengorbanan. KARENA CINTA TAK PERNAH MEMINTA
UNTUK MENANTI.
**SELESAI**
By: Catur Mukti Wiani
Bukit Cemara Tidar, Karang Besuki Malang
Cerita nya terlalu panjang, capek bacanya hehe maaf ia
BalasHapusOh iya,,, terimakasih masukannya:)
BalasHapus