SUKARDI
Oleh : Miftachul Chusnia\
Aku bagaikan anak pohon yang tak berbuah...
bagaikan burung kecil yang tak bisa terbang....
seperti manusia cacat meski ragaku sempurna....
Karena malas aku
kehilangan senyuman. Karena malas aku tak bisa membalas, dan karena malas hari
ku semakin terperas. Aku benci dengan kata malas. Aku bosan menjadi pemalas.
Karena malas hidupku semakin memelas.
Andai ku dapat
memutar waktu. Akan ku putar hidupku. Ketika menikmati masa kecil, dan
ketika duduk di bangku sekolah. Ingin ku
ubah hidupku menjadi sempurna. Tak sudi berkenalan dengan “malas” yang kini
menjadi musuh terbesarku. Aku kan menutup kencang ketika kata “malas” mendarat
di telingaku. Aku kan pukul tubuhku jika malas mulai menyerangku.
Aku adalah salah
satu korban dari kemalasan. Yang harus menerima kenyataan yang tak dapat di
ulang. Dan menanggung segunung kerinduan yang tak mungkin tersampaikan.
***
Kata-kata di atas
merupakan penggalan kalimat yang ditulis Mas Kardi di bukunya yang berjudul “
Please Don’t Speak Lazy”. Sukardi adalah sahabat kami yang paling beruntung nasibnya bisa dikatakan paling bejo. Karena di Desa Sumberporong, tempat
tinggal kami dia lah yang paling sukses dalam berkarier. Ia kini tinggal di
kota dengan penghasilan yang cukup “wow” bagi penduduk sumber porong. Sukardi
sudah membuktikan bahwa dirinya mampu
keluar dari kemiskinan yang membelenggu di masa mudanya. Tiap kali pulang ia
selalu berpakaian seragam rapi dan disegani
oleh masyarakat sini. Meskipun keluarganya sudah tidak ada yang tinggal di
sini, namun ia tak pernah lupa dengan kampung halamannya. Ia pun tak segan
segan membagikan uang untuk masyarakat setempat.
Pernah suatu
ketika aku membutuhkan bantuan untuk pengobatan bapak yang cukup banyak. Karena
pada saat itu bapak harus benar benar di rawat di rumah sakit karena penyakit
yang dideritanya. Aku bingung harus mencari uang kemana. Ku kunjungi tiap tiap
pintu namun tak juga ada yang mau meminjamkan uang yang cukup besar kepadaku.
Karena memang mayoritas warga disini adalah bertani dan menanam kebun bahkan
tak sedikit yang berprofesi sebagai
pemulung. Akhirnya pintu yang terakhir aku kunjungi adalah rumah pak RT. Namun,
harapanku tak juga terpenuhi. Pak RT
juga tak memiliki uang segitu banyak karena untuk makan tiap hari saja beliau harus mencari uang terlebih dahulu.
Sebelum berpamitan pulang, Pak RT menyarankanku untuk pergi menemui Sukardi di
Kota mungkin saja ia mau meminjamkan uang yang aku perlukan. Beliaupun juga
memberiku alamat tempat tinggal yang ditinggali Sukardi saat ini.
Tanpa berpikir
lama, keesokan harinya aku berpamitan kepada bapak untuk pergi ke kota. Aku
menikmati perjalananku ke kota. Kota sungguh berbeda dengan desa. Apabila di
desa banyak sawah dan ladang, namun berbeda dengan suasana di kota. Di kota
banyak gedung - gedung yang berdiri kokoh dan pusat pusat belanja.
Sekitar 2 jam aku
berada di bus. Sesampai di terminal Kedung Sari, sopir bus menyarankanku untuk
naik angkot “QW” apabila ingin menuju Perumahan Kamboja. Setelah turun dari
bus, segera aku menaiki angkot yang menuju Perumahan Kamboja. Perjalanan menuju
perumahan cukup berbelok belok karena melewati berbagai perumahan perumahan
mewah. Ku lihat satu persatu rumah yang ada, hampir seluruhnya tidak ada yang
berlantai satu. Keseluruhan rumanya berlantai dua dan memiliki mobil di garasinya.
Tak lama kemudian,
pak sopir yang sedari tadi bertanya tentang asal asul ku berkata bahwa kita
sudah sampai di perumahan Kamboja. Sesampainya disana, spontan aku terbelalak
karena rumah di perumahan Kamboja lebih besar dan lebih elite dibanding perumahan
– perumahan sebelumnya. Ku telusuri tiap – tiap rumah hingga aku menemukan
sebuah rumah di blok F yang tak lain adalah rumah Sukardi. Rumah Sukardi begitu
besar dan mewah. Melihat rumah yang begitu besar, aku hanya dapat mengucapkan
“subhanallah...subhanalllahhh” di dalam
hati.
Sudah sedari tadi
aku berada di depan rumah Sukardi namun tak juga ada yang keluar. Sampai –
sampai , orang yang lewat mengira bahwa aku seorang pengemis bahkan mereka
sampai memanggil satpam untuk mengusirku. Mendengar keributan yang terjadi
diluar, akhirnya seseorang di rumah megah itu pun keluar. Dan ...
“Astaghfirullah
bonaaaar” kaget Sukardi karena melihatku berada di sekitar kompleksnya.
“Mas sukardi...
tolong saya mas... bapak satpam ini mengira saya pengemis” jawabku
“sudah sudah pak,
dia kawanku di desa dan tolong apabila ada seseorang yang menurut bapak asing,
bapak terlebih dahulu bertanya apa keperluannya sebelum menghakimi” lanjut
Sukardi membelaku
Sukardi yang telah
lama tak berjumpa denganku, segera merangkulku dan mengakatakan bahwa ia sangat
rindu kepadaku dan teman teman yang lain. Dan ia juga meminta maaf karena tak
sempat berkunjung ke desa Sumber porong karena ia harus bekerja di luar kota.
Ketika di dalam
rumah, dengan segera Sukardi memanggil istri dan anak anaknya. Mereka tampak
sangat rukun dan harmonis. Bahkan mereka juga sangat sopan terhadap tamu.
Mereka tidak pernah menunjukkan perbedaan di antara kami. Aku memandangi isi di
dalam rumah. Di ruang tamu mereka banyak terpampang penghargaan, buku – buku,
lukisan dan foto foto. Foto Pak Sarwan, bapak sukardi pun terpampang di dinding
yang dihias walpaper bunga.
Istri Mas Sukardi
yang cantik, yang bernama Bella anak pengusaha tekstil di kota menyuguhkanku
makanan yang istimewa layaknya seperti tamu agung. Setelah menyeruput es sirup,
aku mencoba mengatakan maksud kedatanganku kepada Mas Sukardi.
“ Mas,... Bonar
minta maaf kalau kedatangan bonar kesini tanpa seizin Mas Kardi,”
“ Ya Ampuun Bonar,
engkau itu sudah kuanggap saudara ku sendiri, jadi kau tak usah sungkan bermain kesini” Jawab Mas Kardi
dengan santai dan bersahabat.
“emmmmhh...begini
maksud kedatangan saya ke sini mas, Bapak saya sudah lama mengidap penyakit paru paru dan saya
ingin membawanya kerumah sakit karena kondisinya
yang sudah sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, bolehkah saya meminjam uang untuk pengobatan bapak. Nanti saya cicil uangnya
ketika panen padi di desa.
Tanpa berfikir
lama, Mas Kardi memanggil sopirnya, Mas budi, untuk segera mempersiapkan mobil.
Bella pun yang sedari tadi mendengarkan maksud permintaanku pun mengikuti
isyarat Sukardi.
“ Bonar, dengarkan
aku baik-baik. Apabila kejadian seperti ini terulang lagi, jangan sungkan sungkan meminta bantuan kepadaku.
Nanti Insyaalllah aku bantu semampuku”
Nasihat Mas Kardi Kepadaku
“ Nah sekarang
kita harus cepat – cepat membawa bapakmu ke Rumah Sakit karena aku takut terjadi apa apa pada Bapakmu”
lanjut Mas Kardi.
Akhirnya, waktu
itu juga kami meluncur ke desa untuk membawa
bapak ke rumah sakit. Namun, tepat depan rumah, ku melihat ada peralatan
– peralatan untuk memandikan mayit. Dan terdengar pula tangisan adik – adikku
seperti orang yang kehilangan. Spontan ku menjatuhkan tas dan berlari menuju
rumah. Didalam rumah, ku dapati bapak yang sudah berbaring terkujur kaku di
atas ranjang dekat jendela.
“Innalillahi Wa
inna ilaihi roji’un” ucapku dalam hati yang disertai tetesan air mata
Tiba – tiba
adikku, aminah yang melihat kedatanganku, memukulku sebal sambil menangis.
“ Abang kemana
saja?? Apa kau tak tahu bagaimana bingungnya aku mencarimu ketika bapak memanggil manggil namamu??” sebal
Aminah kepadaku
Aku hanya bisa
terdiam tak berdaya mendengar Aminah marah – marah. Tetangga– tetangga kami pun
melerai kami dan berusaha menenangkan kami untuk ikhlas menghadapi cobaan ini. Aminah yang sudah tak kuat, berkali kali pingsan
tiap kali melihat mayat bapak. Prosesi pemakaman bapak pun tak memakan waktu
lama karena Mas Kardi dengan sigap mengurus seluruh proses pemakaman bapak.
Aku dan adik-adik pun
mencoba sabar menghadapi cobaan ini. Aminah juga begitu, ia sudah tak lagi
pingsan dan ia mampu mengontrol emosinya. Pengajian 7 hari kematian bapakpun
juga tak ada yang dipermasalahkan.karena lagi – lagi Mas Sukardi yang
menanggung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk 7 hari bapak.
Tepat 10 hari
kematian bapak, aku meminta izin kepada adik- adik dan saudara untuk menemui Mas Sukardi di Kota untuk
mengucapkan terima kasih. Wak bejo, pak de ku menitipkan oleh oleh singkong,
jagung dan beras untuk diberikan kepada Mas Sukardi sebagai tanda terima kasih
karena sudah berbaik hati mengurus dan membiayai kematian bapak. Keluarga kami
juga sangat berhutang budi kepada Jasa Mas Sukardi.
Ketika sudah
sampai di perumahan Sukardi, pak satpam yang waktu itu sempat hendak
mengusirku, mengucapkan rasa permintaan maafnya kepadaku dan mengantarkanku ku rumah Mas Kardi menggunakan
motor. Sopir mas Kardi yang kebetulan sedang mencuci mobil di luar
mempersilahkan aku masuk dan memanggil majikannya. Lalu..
“ Ehh, bonar...”
Sapa Mas Kardi yang sedang menuruni tangga lantai dua menuju ke arahku
“ Iyya mas”
jawabku
“ Aku turut
berduka cita atas kematian bapakmu, sungguh aku ikut merasakan kesedihan yang mendalam karena aku tak
dapat menolong bapakmu sewaktu belaiu sakit”
Lanjut Mas Sukardi.
“ iyya Mas Kardi, tak apa...Ini memang sudah
kehendak Allah. Dan kita juga harus rela
apabila Allah sudah memintanya” jawabkku berusaha tegar.
“Mas Kardi, saya
datang kesini bermaksud ingin mengucapkan terima kasih kepada Mas Kardi dan keluarga karena sudah
sudi membantu keluarga saya dan ini ada sedikit
oleh-oleh dari Wak bejo. Kebetulan
kemaren wak bejo lagi musim panen”
“Ya Ampuuunnn Mas
Bonar, tak perlu repot repot. Sebenarnya
kami membantu itu ikhlas kok...”
Timpal Mbak Bella yang baru saja keluar dari kamar
“ Keluarga kami
juga ikhlas Mbak Bella ngasih ini, tolong di terima” lannjutku penuh harapan agar di terima.
“ Alhamdulillah,
Kita dapat rezeki dari desa, Pa” kata Mbak Bella kepada Mas Kardi.
Lama kita
bernostalgia. Mulai dari mencuri mangga Wak Zaenal, maen di sawah dan hal hal
indah lainnya. Hal seperti inilah yang
kita rindukan bersama. Ketika kita menikmati masa muda yang indah. Tak lama kemudian
aku teringat oleh buku Mas Kardi yang pernah aku baca sewaktu bermain di rumah
pak RT. Judulnya “ Pleasse Don’t Speak
Lazy”.
“ Mas, Buku
sampean bagus banget. Bisa menginspirasi banyak orang untuk tetap semangat dan tidak boleh malas. Kok bisa sih
mas bikin buku sebagus itu?” Puji ku kepada
Mas Kardi.
Mendengar
pujianku, tiba – tiba Mas Kardi terdiam dan tampak berkaca – kaca. Kemudian Mas
Kardi meraih foto Wak Sarwan yang terpampang di dinding. Lama mas Sardi
memandang foto bapaknya. Ia bagaikan seseorang yang baru saja kehilangan sosok bapak
dalam hidupnya. Tak lama kemudian mas
Kardi memulai ceritanya.
“Buku itu berlatar
belakang kehidupanku, nar. Aku masih terringat betul apa keinginan bapak
sebelum meninggal. Bapak rela mati matian menyekolahkanku hingga ke perguruan
tinggi”.
Pada saat itu,
ekonomi keluargaku sedang rendah. Namun hal itu tak mengurangi niat bapak untuk
menyekolahkanku. Ia rela mati – matian di usia tuanya mencarikan uang untukku
agar kelak ia dapat melihatku menggunakan seragam sebagai seorang guru. Bapak
sangat menjunjung tinggi seorang guru. ia ingin aku menjadi orang pertama yang
menjadi seorang guru di keluarga kami. Aku kira saat itu bapak hanya bercanda.
Namun masih teringat jelas di ruang tamu kami bapak memberiku setumpuk uang
untuk menyekolahkanku. Aku tak tahu dari mana uang itu berasal. Ku terima saja
permintaan bapak dengan senang hati, hal itu merupakan suatu kebanggaan karena
di desa kita hanya akulah yang pertama kali masuk perguruan tinggi dan menjadi
anak kuliahan. Sanak saudara pun juga
tak suka dengan niat bapak yang hendak menyekolahkanku. Mereka selalu
merendahkan kami. Katanya “ alaaaahhhhhhhh kerja Cuma tukang becak aja
segitunya menyekolahkan anak. Paling paling si Kardi cuma jadi pengangguran di
kota dan kembali ke desa” begitulah cemooh cemooh yang selalu di lemparkan kepada bapak. Mendengar
hal itu aku mempunyai tekat untuk membuktikan bahwa aku mampu mewujudkan
cita-cita bapak. Sebulan kemudian aku dinyatakan lolos ujian tes masuk
perguruan tinggi dan kuliah disana. Bapak sangat bangga kepada ku. “ bapak
berkata bahwa bapak pasti akan senang kalau melihat anak bapak memakai seragam
sebagai seorang guru”.
Namun, ketika
sudah sampai di kota dan belajar disana. Keadaan di sana berbeda sekali. Banyak
hal yang belum pernah aku rasakan di kota selama aku tinggal di desa. Di kota
banyak sekali godaan godaan. Awalnya, aku seperti seseorang culun yang tak
mengerti tren saat ini. Namun lama kelamaan aku mulai berubah secara drastis.
Aku sering membuang buang waktu, meninggalkan kelas, menghambur hamburkan uang
dan pergi bermain dengan teman – teman
hingga mabuk mabukkan. Sering sekali aku mendapatkan nilai D di KHS ku dan
banyak sekali pelajaran pelajaran yang harus aku ulang. Aku terus bermain main
dengan kemalasanku. Sejenak aku melupakan bapak yang mulai subuh hingga malam
mengerjakan berbagai pekerjaan di usia tuanya. Aku seperti ini hingga aku
semester 12 sebelum aku di DO.
Aku mulai sadar
ketika salah seorang temanku menonton televisi di Handphonenya. Aku yang
disampingnya hanya dapat melihat apa yang temanku lihat. Namun tiba – tiba ada
sekilas berita yang menayangkan bahwa baru saja ada seorang bapak bapak berprofesi sebagai tukang becak mati tertabrak kereta ketika hendak menyebrang
rel kereta api menuju arah ke kota. Aku yang melihat kejadian itu tertawa
karena begitu bodohnya si kakek sampai sampai tidak mendengar ada kereta yang melintas.
Aku menyuruh temanku untuk mengganti channel karena berita itu tidak penting
menurutku. Ketika pulang ke kosan, saat itu sekitar pukul 17.00 WIB, tiba tiba
Wak bejo datang bersama Wak zaenal menggunakan motor menyuruhku pulang karena
ada suatu urusan yang mendadak. Tanpa aku menyadari apa yang terjadi di rumah.
Ketika sesampai di rumah. Aku sudah tidak dapat menemui sosok bapakku. Karena
ternyata orang yang diberitakan di telivisi tadi siang adalah bapakku yang
hendak mengirimiku singkong dari desa. Aku menangis menjadi jadi. Semua orang
tak ada yang mau menunjukkan di mana jasad bapakku. Karena ternyata bapakku
dikubur cepat cepat karena kondisinya yang cukup mengenaskan. Aku sadar aku tak
dapat melukis senyuman di bibir bapak dan tak dapat mewujudkan keinginannya.
Saat itu aku berjanji kepada diriku untuk benar benar mewujudkan cita cita
bapak. Aku mulai rajin belajar dan bekerja untuk menanggung hutang hutang bapak
untuk menyekolahkanku. Hingga saat ini aku menjadi seorang doktor.
Aku cukup terharu
mendengar kisah yang di ceritakan Mas Kardi. Meski awalnya tak mungkin namun ia
mampu mewujudkan sesautu yang tak mungkin itu. Hal ini laih yang membuatku
sadar mengapa terdapat lukisan bertuliskan Don.t Be Lazy di dekat tangga rumah
Mas kardi. Cerita mas kardi sungguh menggugahku bahwa kemalasan dapat membuat
kita membuang buang masa muda kita.
k
|
0 komentar:
Posting Komentar