Oleh: Ninis Nofelia
“Dul, gimana? Lamaranku beres?”, tanya Om Salman
menggelegar dari balik pintu kamarku membuyarkan lamunan indahku. “Om Salman…,
kaget aku! Ganggu orang lagi seneng aja nih…”, jawabku agak sewot. “Ngelamun
aja kerjaannya akhir-akhir ini, gak baik buat kesehatan, ntar kesambet tuyul gondrong
lo, haha…”, lanjut Om Salman berusaha membayar rasa kesalku. Om Salman,
seperti itulah biasa aku memanggil adik bungsu ayahku yang baru saja tiba dari
Bandung. Dikala aku masih kecil, kami sering bermain bersama, maklum saja
karena usia kami tak terpaut terlalu jauh. Kami hanya berbeda 5 tahun saja, dan
itu tak nampak begitu mencolok sekarang. Bahkan, jika kami pergi
bersama, kami bagaikan dua
pria muda seumuran.
Om Salman adalah mahasiwa Universitas
Pendidikan Indonesia semester akhir dari Jurusan Pendidikan Matematika. Urusan
skripsinya sudah selesai, hanya menunggu wisuda saja. Seminggu yang lalu ia
memintaku untuk mengirimkan surat lamarannya ke sekolahku. Ia tak betah untuk
menganggur di kampus. Karenanya ia
segera terbang ke Banyuwangi untuk mencari pengalaman mengajar di sekolah SMA
Unggulan 1 yang tak lain adalah sekolah tempatku menimba ilmu sekarang.
“Beres
kapten, besok kapten bisa langsung interview di kantor kepala sekolahku
jam 8 pagi tepat, gak boleh molor loh ya…”, ucapku pada Om Salman
menindaklanjuti pertanyaannya yang penuh dengan harapan itu. “Oke, besok aku
dandan yang guanteeng…, biar semua murid cewek disana klepek-klepek
lihat guru Matematikanya yang keren ini”, sambung Om Salman dengan wajah
narsisnya sambil mengangkat kedua alisnya dan berlalu meninggalkan meja belajar
kamarku. “Inget sama niat Om… “, sambungku berusaha meredam sedikit tingkat
kenarsisannya yang sedang meninggi.
Alhamdulillah, Om Salman akhirnya diterima
mengajar di sekolah tempat aku belajar sekarang, bahkan ia mengajar di kelasku,
kelas XI IPA 2 tepatnya. Memang kebetulan guru Matematika kelas XI IPA sedang
cuti untuk melanjutkan studi S2nya di Australia, sehingga kehadiran Om Salman
bagaikan pucuk dicinta ulampun tiba. Semoga saja Om Salman bisa berbagi ilmu
yang bisa dengan mudah untuk kami memahaminya.
“Assalamualaikum,
adik-adik semuanya… perkenalkan, nama saya adalah Salman Ismuni, biasa
dipanggil Salman, mulai hari ini saya yang akan menggantikan Pak Zen yang
sekarang melanjutkan studinya lagi ke Australia”, Sapaan hangat Om Salman
mengawali kegiatan hari pertama mengajarnya di kelas kami. Tak kusangka, memang
benar, semua pasang mata seolah menyimpan kekaguman di awal pertemuan
dengannya. Selama ini aku tak pernah menyadari bahwa Om Salman menyimpan daya
pikat yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Dia sosok lelaki yang
menurutku biasa saja dan tidak terlalu tinggi juga, namun entahlah, kata-kata
motivasi dan kejeniusannya dalam memberi pemahaman kepada kami seakan melunturkan
segala yang kurang darinya. Kami sangat menikmati pelajaran Matematika yang
sebelumnya sangatlah mengerikan. Ia mengajar tak hanya dengan materi konsep
dalam Matematika, namun juga mengajarkan Matematika yang ada dalam dunia nyata kami.
Luar biasa sekali! Tertiup rasa bangga dalam dada bahwa aku memiliki paman yang
benar-benar sekeren dia.
“Abdul, Abdul, tunggu!”, terdengar suara
seorang perempuan memanggil-manggil dari arah lapangan sekolah. Seketika saja
aku berbalik ke belakang memberi respon padanya. Tak kusangka akan bertemu
dengannya, semakin tak kuasa aku mengatur degup jantung yang tiba-tiba berdetak
lebih kencang dari biasanya. Perempuan itu bernama Renata, teman sekelasku yang
telah mencuri hatiku sejak awal pertama aku mengenalnya ketika masa orientasi
sekolah dulu. “A…a… Ada apa, Ren?”, jawabku dengan sedikit terbata-bata. Meskipun
sudah hampir dua tahun aku sekelas dengannya, penyakit canggung mendadak seolah
tak pernah usai bila berhadapan langsung dengannya. Aku berharap perasaanku
padanya tidak ketahuan, karena aku sangat malu sekali dengan perasaan cintaku
ini. Aku selalu berusaha menepis rasa ini, karena aku merasa belum pantas untuk
mengutarakan perasaan cintaku padanya. Aku masih XI SMA yang belum mapan dari
berbagai hal, namun aku berharap suatu saat Renatalah yang akan menjadi
pendamping hidupku kelak. Sungguh pikiran yang terlalu visioner untuk
bocah seumuranku ini, tapi ya begitulah aku mulai menyusun prinsip untuk tidak
menyentuh gaya hidup yang menurutku negatif pada remaja masa kini, yaitu pacaran.
Biarlah Tuhan saja yang tahu bahwa rasa cinta ini untuknya. Aku bukanlah
seorang santri pondokan, tapi aku benar-benar ingin menjalani fitrah hidup
dengan tuntunan Tuhan. Tak ingin kulalui hidup yang hanya sekali ini untuk melanggar
larangan-Nya. “Ya Allah…. Pegangilah aku!”, gumamku dalam hati sambil menarik
napas panjang.
“Dengar-dengar
kamu dan Pak Salman masih sodaraan ya?”, tanyanya padaku dengan mata berbinar.
“I, iya benar. kenapa, Ren?”, jawabku sedikit terbata lagi. “Pak Salman keren
juga ya? Pantesan aja kamu juga jago Matematika, sodaranya sih.. Boleh gak
aku minta nomor HP dan alamat rumah beliau? Aku suka sama Pak Salman.”,
jawabnya dengan rona wajah yang semakin berbinar. Mendengar itu semua, ditambah
lagi melihat cahaya wajahnya yang bersinar, rasanya bagaikan tersambar petir di
siang bolong. Hatiku terasa terbakar
kecewa. Mengapa Renata yang kupuja menaruh hati pada Om Salman? Timbul rasa
cemburuku merengkuh pilu tak menentu. Aku menjawab seadanya dengan nada yang
tak biasa, lemah, dengan rasa yang hilang arah. “Oh, begitu. Iya, Pak Salman
adalah pamanku, sekarang tinggal bersamaku di Perumahan Cemara Glowong Indah,
dan ini nomor HPnya.”, timbalku padanya, pasrah, sambil menyodorkan selembar
kertas yang berisi nomor HP Om Salman. Jantungku serasa berhenti sejenak
disaksikan pintu kelas yang melambai tertiup angin dari arah lapangan. “Thanks
ya, Dul…”, ucapnya sambil berlalu meninggalkan senyuman indah yang semakin
membuat hatiku kecewa semakin parah.
“Dul, ayok bareng! Mau kemana pulang
naik angkot? Mau maen PS yah?? Hayoo… nanti Om bilangin sama ayahmu lo…haha”,
sapa Om Salman mengajakku pulang bareng seperti biasanya. Namun hari itu hatiku
sedang mendung, gelap, dan tak semangat. Aku tetap berjalan lurus tanpa
menghiraukan ajakan Om Salman. “Yowes…Dul, Om duluan aja, selak laper
ini perutku.”, menimpali bungkamnya mulutku dengan nada canda seperti biasanya
yang ia harapkan dapat mengajakku pulang bersamanya.
Sekarang
badmood melanda ketika aku mendengar nama Om Salman di telingaku,
apalagi jika harus berjumpa dengannya. Senyuman dan binar wajah Renata karena
mendapat nomor HP Om Salman masih terngiang-ngiang di kepalaku. “Mengapa kau
tak sebahagia itu ketika mendengar namaku, Ren?”, tanyaku dalam gumaman semu.
Muncullah ilusi kisah cintaku bagaikan di film India, seseorang yang mencintai seorang
yang malah mencintai saudara seseorang itu yang ia kasihi. Aku merasa menjadi
makhluk malang itu. Tapi, aku sedikit
menyesal karena telah merasa kesal pada Om Salman, jangan sampai cintaku pada
Renata membuatku menjadi tidak adil pada Om Salman. Ya mungkin itulah cinta,
tak bisa dipaksakan, suatu saat pasti ada seseorang yang bisa melihat cintaku
dengan sempurna di mata hatinya. Aku menghibur diri dalam sepi. Sore ini aku melamun
lagi untuk menghibur diri. Aku ingin menenangkan rasa kecewaku karena cintaku
yang bertepuk sebelah tangan.
“Assalamualaikum…”, terdengar suara
perempuan dari luar sana. “Walaikumsalam..”, jawabku sambil berjalan ke arah
pintu. Penyakit canggungku kumat lagi, bidadari hatiku, Renata Cahyani,
tiba-tiba muncul di depan mataku ketika aku membuka pintu rumahku. “Pak Salmannya
ada, Dul?”, pertanyaan semacam itu muncul lagi meluluhlantahkan kejut gembira karena
berjumpa lagi dengannya. Dengan nada yang agak sedikit loyo aku
menjawab, “Iya, ada Ren, tunggu sebentar ya! Aku panggilin dulu, tadi kayaknya Om
Salman ada di teras belakang”.
“Om,
ada yang nyariin tuh, cewek cantik di kelasku sama pamannya juga”.
Aku memberi tahu Om Salman yang lagi asyik menyiram bunga anggrek kesayangannya
dengan nada yang agak sedikit sewot. “Ha? Tumben ada cewek cantik nyariin
Om? Lagi mujur nih, asyeek…”, jawabnya yang selalu penuh nada canda
menggodaku dan bergegas menjumpai tamu hatiku hari ini di ruang tamu. “Eeh,
Renata…, bareng Pak Ahmad, maaf geh, seharusnya saya yang ke sana, tapi
saya masih mencari waktu yang tepat untuk ke sana, Pak. Gimana, Ren? Titipanku
sudah sampai ke rumahmu kemarin?”, Sapa Om Salman menjamu dengan sambutan
bahagia pada kedua tamu spesial itu. “Sudah, Pak. Terimaksih ya, semuanya
menjadi terasa sangat spesial”, jawab Renata dengan senyum yang mengembang. Aku
menjadi serasa membeku di ruangan bujur sangkar itu. mendengar perbincangan
hangat mereka yang semakin samar kudengar, karena hatiku tak lagi fokus dalam
ruangan itu. pikiranku terasa kacau melanglang buana ke negeri entah dimana.
“Apakah Om Salman sudah melamar Renata dan menikah setelah kami lulus SMA?”,
sibuknya hatiku memikirkan akhir dari kisah cinta yang mengenaskan ini bagiku.
“Dul, tolong berikan surat ini pada Pak Salman
ya! Tolong segera! Thanks ”, Renata berjalan tergesa-gesa dari arah
gerbang sekolah dan kemudian memberikan sepucuk surat berwarna merah jambu padaku,
lantas bergegas berlalu seakan diburu waktu. Tangan ini terasa tak kuat
mengangkat sepucuk surat merah jambu itu. Hingga muncul niat buruk untuk
pamanku sendiri. Aku hendak membuang sepucuk amanah yang begitu berat untukku.
Ketika hendak membuang sepucuk surat itu ke tong sampah, tiba-tiba ada
tangan yang kuat menahan tanganku yang
berjarak 30 cm cari lubang tong sampah itu. “Apa karena ini, kau
menyimpan wajah masammu pada Ommu yang ganteng ini?”, menyergapku tiba-tiba, namun
tergelitik dengan ungkapan narsis pamanku yang suka sekali menggodaku ini. “Kau
tahu? Betapa berharganya surat merah jambu itu untuk hidupku, untuk kisah
asmaraku. Karena aku hendak mengakhiri masa lajangku dengan keputusan surat di
tanganmu itu.”, Ucapan Om Salman semakin menghancurkan denyut jantungku yang
sebelumnya sudah retak ketika menerima surat merah jambu itu dari tangan Renata.
“Jangan biarkan prasangkamu itu menjadi hijab hitam di antara kita. Aku meminta
keikhlasanmu dan juga keikhlasan Renata”, ucap Om Salman menatapku tajam. ” Apa
maksud Om Salman? “, tanyaku pada Om Salman yang semakin membuatku bingung.
“Aku dan sepupu Renata sudah lama kenal, kami sempat satu sekolah ketika SMP,
tapi selama ini aku takut dan malu mengutarakan isi hatiku, oleh karenanya, aku
meminta bantuan Renata untuk menjadi penyambung jalinan kisah ini, dan aku
menunggu jawaban darinya hari ini, melalui surat itu. Dua hari yang lalu,
Renata dan pamannya datang untuk memintaku segera mempersiapkan segalanya, ya
termasuk acara melamar ke rumahnya bersama ayah ibumu, kamu dan adik-adikmu. Emm…Aku
tahu, kau diam-diam menyimpan rasa pada Renata, kan? Dan kamu berpikir kalau Om
akan merebutnya darimu? Haha… tak akan terjadi itu boy, jantung
hatiku ada dalam surat merah jambu itu”, jawab Om Salman mantap sambil menatap
mataku penuh keseriusan. Aku melongo begitu saja, dengan jantung
berdenyut kejut kemudian normal kembali juga diliputi rasa malu pada Om kesayanganku
itu. “A, anu Om… Emmmm…“, aku berusaha menetralkan rasa maluku yang
begitu besar pada Om Salman. “Sudahlah, sekarang mari kita buka bersama surat
merah jambu itu!”, ajak Om Salman agak sok romantis dengan suasana yang
kebetulan juga mendukung untuk adegan romantis pada sore itu.
Sore itu menjadi sejarah indah dalam hidup kami
masing-masing, kami berdua saling berpandangan dan melempar senyum setelah membaca
isi surat merah jambu itu. Aku bahagia sekali, karena ternyata Renata bukan
jantung hati pamanku dan pamanku tersayang akan menikah dengan perempuan
pujaannya yang sangat jelas bukan Renata. Sehingga aku masih berkesempatan
untuk memenangkan hati Renata. “Untuk keponakanku tersayang, jika kau sudah
siap untuk melamar Renata, aku siap untuk menjadi pak pos cintamu, hehehe…”,
goda Om Salman membuyarkan fokus hatiku yang sedang merasakan gembira
yang tak terkira. Aku merasakan bagaikan bunga sakura yang bermekaran tumbuh
kembali, indah dan mengagumkan.
$$$$
Malang, 15 November 2O13
0 komentar:
Posting Komentar