“Bang, gorengan singkongnya 3000, dibungkus ya!”, salah seorang pembeli menghampiri gerobak hijau di sudut pasar itu. Tak ada yang spesial dari gorengan singkong milik pak Mamat ini. Hanya saja musim hujan ini mungkin sangat pas untuk makan yang hangat-hangat, seperti singkong goreng misalnya, sehingga dagangan pak Mamat lebih ramai dari biasanya. Hujan seakan mengguyur gerobak pak Mamat dengan rezeki yang melimpah.
“Le, sini! Ini ada rencekan
singkong goreng, buat jajanmu ”, Pak Mamat memanggil salah seorang bocah
lelaki yang sering bermain-main di sekitar gerobaknya ketika sedang berjualan
dan memberikan rencekan singkong goreng yang tak dijual. “Terimakasih
pak, rencekannya enak”, jawab bocah lelaki itu menerima pemberian pak
Mamat sambil berlalu kembali bermain bersama teman-temannya. Tak pernah ia lupa
memberikan rencekan gorengan singkong pada bocah lelaki yang kerap kali bermain
di sekitar gerobak dagangannya. Baginya, ia sangat bersyukur bisa memberi,
menyisipkan kebahagiaan di hati bocah lelaki itu yang tak pernah terlihat membawa jajan seperti teman-temannya yang lain.
Dengan begitu setianya pak
Mamat menyambut rezeki di sudut pasar itu, menjalani hari-harinya untuk
memperjuangkan kelangsungan hidup keluarganya ditengah kerasnya hidup di tanah
perantauan. Jakarta, ibu kota yang telah menjadi saksi perjuangannya hingga
kini 20 tahun lamanya setia menyambut rezeki di sudut pasar itu.
Pada suatu malam, seperti
biasanya pak Mamat tetap menjalani aktifitasnya sebagai penjual singkong
goreng. Malam itu tak seramai biasanya, meski musim hujan datang. Usianya yang
kini tak muda lagi tak menyurutkan langkahnya untuk tetap bersemangat dalam
menyambut rezeki. Sambil menunggu pembeli yang datang, pak Mamat membungkus rencekan
singkong goreng yang akan diberikan kepada tukang parkir yang sering
mengajaknya ngobrol di sela-sela aktifitasnya. Tiba-tiba sebuah mobil mewah
berhenti di depan gerobak dagangannya, seorang pemuda turun dari mobil dan menghampiri gerobak dagangan milik pak
Mamat. “Pak, rencekan singkongnya ada?”, tanya pemuda itu. Pak Mamat
merasa aneh, karena rencekan singkong itu tidak untuk dijual. Itu hanya
sisa-sisa rontokan singkong goreng yang biasa ia berikan anak-anak kecil yang
biasa main di pasar, tukang parkir, atau bahkan dibawa pulang lagi untuk
dimakan sendiri. “Yang masih bagus dan hangat masih banyak kok nak, kenapa
mencari yang rencekan?”, tanya pak Mamat kepada pemuda itu. “Saya rindu rencekan
singkong goreng bapak. Enak sekali. Boleh saya merasakannya lagi?”, jawab
pemuda itu. Pak Mamat merasa bertambah heran dengan kehadiran pemuda bermobil
mewah itu. “Dulu waktu saya kecil, saya sering mendapat rencekan
singkong goreng dari sini, meski saya tak pernah punya uang untuk menjajan,
saya sangat bahagia mendapat rencekan singkong goreng dari bapak. Itu yang
memotivasi saya untuk bisa memberi suatu saat nanti, terimakasih banyak bapak”,
ucap pemuda bercerita tentang masa lalunya itu, meyakinkan, sampai-sampai pak
Mamat tertegun mendengarnya. Tak sepatah kata pun keluar dari bibir pak Mamat,
rasa heran masih menyelimuti benaknya. “Itu hanya rencekan singkong
goreng yang tak dijual”, gumamnya dalam hati. Dengan segera pemuda itu menjabat
tangan pak Mamat sambil berkata, “Pak, maukah bapak menemani saya berhaji tahun
ini?”. Ucapan pemuda itu menambah keterkejutan pak Mamat yang belum mereda rasa
herannya. Seketika pak Mamat memeluk pemuda sambil menepuk-nepuk pundak pemuda
itu tanpa berkata sambil meneteskan air mata penuh haru.
Subhanallah, indahnya berbagi dengan tulus di
hati. Tak merasa memberi, namun terasa berarti. Itu balasan ucapan syukur dari sesama
manusia, apalagi balasan dari Sang Maha Pemberi lagi Maha Mensyukuri.
“Kisah ini merupakan
ilustrasi yang penulis angkat menjadi sebuah cerpen, terispirasi setelah
membaca status FB milik KM Zamahsyari
Yasin pada tanggal 26 Oktober 2013 , beliau bercerita perihal kisah
tersebut. Penulis sangat tertarik untuk membuat cerpen dari kisah tersebut.semoga
bermanfaat…”
Malang, 26 Oktober 2013
Ninis Nofelia
0 komentar:
Posting Komentar